Mohon tunggu...
WS Thok
WS Thok Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Lahir di Jawa-Timur, besar di Jawa-Tengah, kuliah di DI Yogyakarta, berkeluarga dan tinggal di Jawa-Barat, pernah bekerja di DKI Jakarta. Tak cuma 'nguplek' di Jawa saja, bersama Kompasiana ingin lebih melihat Dunia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cakra Manggilingan

1 Juli 2011   17:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:00 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13095374671490240065

Ibaratnya dunia...

Itu sepertilah roda

Berputar…

Putarlah jalannya…

O... terus berubah

Tiada tentu nanti bagaimana jadinya

Dulu bermegah...

Kini dalam keadaan susah

O.. roda dunia...

Selalu menanti

Adil dan benar...

Akan menang di belakang nanti

(Kr. Roda Dunia - Ciptaan Gesang)

Cakra manggilingan adalah filosofi atau keyakinan berputarnya roda kehidupan baik mikro maupun makro. Demikian pula dengan berputar dan terbatasnya kekuasaan. Dalam dunia pewayangan, Semar dan punokawan lainnya tunduk kepada tuannya, misalnya ksatria Pandawa, Pandawa tunduk kepada Betara Guru (Manikmaya) di kahyangan yang menguasai marcapada (bumi), sedangkan Betara Guru tunduk kepada kakaknya yang membangun kahyangan untuknya, yaitu Batara Ismaya, yang tidak lain adalah Semar yang turun ke bumi.

Anak-anak saat melakukan undian (tos) dalam kegembiraan permainannya sering menggunakan jari-jari tangan. Jempol (simbol dari gajah) mengalahkan telunjuk (manusia), telunjuk mengalahkan kelingking (semut), kelingking mengalahkan jempol (semut masuk telinga gajah).

Presiden Soeharto dengan “penghijauannya”(ABRI) dulu begitu super powernya, nyatanya termehek-mehek dan rontok digoyang mahasiswa. Mahasiwa patuh kepada dosen, dosen tunduk kepada rektor, rektor menurut instruksi menteri pendidikan, sedangkan menteri ini sendiko dawuh dengan atasannya, yaitu presiden.

Trias Politica-nya Baron de Montesquie membagi kekuasaan negara dalam kekuasaan legislatif (lembaga pembuat UU), kekuasaan eksekutif (lembaga pelaksana UU) dan kekuasaan Yudikatif (lembaga interpretasi UU), mengurangi kemungkinan negara dikuasai oleh salah satu lembaga secara absolut.

Bentuk melingkar cakra manggilingan, atau bentuk lain yang tertutup itu membuat keseimbangan. Bila salah satu bagian tidak berfungsi sesuai peran dan atau kecepatan berputarnya, maka keseimbangan itu akan terganggu dan bahkan bisa hancur. Bilamana masihmemungkinkan, akan dilakukan perbaikan (recovery) pada titik kerusakan itu hingga pulihkembali, atau terjadi keseimbangan baru. Para dewa dibuat kalang kabut ketika Prabu Niwatakawaca, raksasa dari bumi mengobrak-abrik kahyangan, karena ditolak lamarannya meminang Dewi Supraba, ratunya bidadari. Kekacauan itu pulih kembali ketika Arjuna turun tangan.Ketika salah satu anak tidak mau dengan sportif menerima kekalahan saat tos, sering terjadi keributan. Presiden Soeharto tidak perlu lengser keprabon secara mendadak, bila menjalankan kekuasaan eksekutif dengan baik.

Saya percaya tiap orang berada pada lingkaran cakra manggilingan masing-masing, hanya saja saya meragukan keberadaan saya sendiri. Di kantor saya tunduk kepada perintah atasan, di rumah sebagai kepala keluarga saya bisa memerintah istri dan anak-anak saya. Namun nyatanya istri dan anak-anaklah yang dominan memerintah saya. Memang perintah itu tidak perlu diucapkan, tetapi sudah ditetapkan oleh kodrat, yang harus saya laksanakan tanpa syarat, misalnya: saya harus terjaga sejak pagi dalam rangka mencari nafkah, mengalahkan rasa malas dan kesenangan menonton final Piala Dunia atau Eropa yang ditayangkan dini hari; saya layaknya ambulan, yang harus standby setiap ada panggilan darurat mengantar anggota keluarga ke rumah sakit; bagaimanapun caranya, saya harus bisa menyediakan uang gedung untuk anak yang berbarengan masuk SD dan SMP; dll.

Sepertinya, pada lingkaran itu saya tidak berada di satu titik, tetapi dua titik atau mungkin lebih dalam waktu yang bersamaan. Meski demikian, saya bersyukur bisa merasakan suka duka perputaran itu, yang masih sesuai dengan irama saya dan masih diberi kekuatan mengimbanginya.

Harapan saya, juga barangkali harapan orang seumur saya pada umumnya adalah bisa berputar mengikuti iramanya, kalaupun menuju ke bawah masih dengan irama yang smooth, bukan sepertipengalaman orang-orang yang terlontar dan terbanting tanpa daya, akibat mengabaikan peran dan tidak sinkronnya ritme putaran, atau sengaja menyimpang dari “jalur” lingkaran cakra manggilingannya. Meski hasil akhirnya sama, yaitu sama-sama di bawah, tetapi tingkat kesakitan, kehormatan diri dan “kebahagiaan” yang dirasakan tentu akan jauh berbeda.

--------------------

Sumber Ilustrasi: http://anangku.blogspot.com/2008/02/roda-itu-berputar.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun