Mohon tunggu...
WS Thok
WS Thok Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Lahir di Jawa-Timur, besar di Jawa-Tengah, kuliah di DI Yogyakarta, berkeluarga dan tinggal di Jawa-Barat, pernah bekerja di DKI Jakarta. Tak cuma 'nguplek' di Jawa saja, bersama Kompasiana ingin lebih melihat Dunia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Syukur Ada Pak Abdul Syukur

14 Oktober 2013   10:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:33 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya paham alasan pemerintah membatasi jamaah haji usia lanjut tahun ini, sehubungan dengan pemugaran Masjidil Haram. Alasan yang rasional, karena demi kenyamanan dan keselamatan. Bagi saya yang pernah bersama-sama dengan jamaah usia lanjut sangat berkesan, membuat hidup saya lebih berwarna.

Niat saya berkesempatan pergi haji tahun lalu adalah berusaha melakukan ibadah semampunya, minimum bisa memenuhi rukun dan wajib haji. Saya ingin melakukan yang terbaik, syukur-syukur bisa menambah pahala dengan melakukan aktivitas lainnya yang bernilai ibadah. Niat yang bisa saja dikatakan sebagai janji kepada Tuhan itu rupanya benar-benar mendapatkan ujian, saya tak tahu lulus tidaknya, diterima tidaknya, mabrur tidaknya, penilaian terserah Allah SWT semata.

Regu kami terdiri 4 pria dan 7 wanita. Dari 4 pria itu saya yang termuda, yang paling tua berusia 80 tahun, namanya Pak Abdul Syukur (AS). Beliau pergi haji sendirian, istrinya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Teman lainnya berusia 68 dan 52 tahun.

[caption id="attachment_294513" align="aligncenter" width="529" caption="Pak Abdul Syukur bersama Ketua Regu, Ketua Rombongan dan Jamaah Lainnya"][/caption]

Di Mekkah, alhamdulillah kloter kami yang berjumlah 450 orang mendapatkan maktab yang paling baik, yaitu di sebuah hotel berbintang, Hotel Al-Tayseer, berjarak 2 km dari Masjidil Haram. Regu kami mendapatkan jatah 2 kamar. Artinya, satu kamar untuk para pria dan kamar lainnya dengan ukuran yang sama untuk para wanita. Para pria bolehlah bersyukur merasakan kenyamanan kamar hotel, namun kasihan para wanita yang harus berdesak-desakan.

[caption id="attachment_294515" align="aligncenter" width="564" caption="Maktab di Hotel Al-Tayseer, Mekkah"]

1381719540978360930
1381719540978360930
[/caption]

Saat pertama kali datang ke Mekkah sore hari. Kami, semua anggota kloter sudah mengambil miqat di Masjid Bir Ali, Madinah dan akan bersama-sama menyempurnakan umrah (thawaf, sai dan tahalul) ke Masjidil Haram setelah shalat isya. Waktu yang masih tersedia digunakan untuk beres-beres menata bawaan di kamar hotel masing-masing.

Saat sedang berbaris siap berangkat di lobby hotel itu, saya menyadari kunci kamar yang berupa kartu magnetik sebesar kartu nama tak bisa berfungsi. Saya berinisiatif mengumpulkan kartu-kartu yang dibagikan dalam regu kami dan mengurus ke bagian customer hotel agar diaktifkan. Sepertinya para jamaah tak terlalu memperhatikan dan hanya mengandalkan satu kunci master yang dibawa oleh salah satu penghuni kamar. Saat menunggu pengaktifan kunci kamar itu, saya sempat kawatir tertinggal rombongan. Akhirnya selesai juga dan langsung saya bagikan kepada masing-masing teman sekamar.

Kloter kami beriringan (seperti anak-anak TK jalan-jalan pagi dipimpin ibu guru) berjalan menuju ke Masjidil Haram. Selama perjalanan berpapasan dengan jemaah yang usai shalat Isya. Saya bersama istri mengawal seorang ibu dari grup lain yang berusia lanjut yang berjalan tertatih-tatih. Sedangkan Pak AS dikawal oleh anggota regu lainnya yang juga sendiri dan lebih muda.

Takjub pertama kali melihat dan memasuki halaman Masjidil Haram yang luas dan terang benderang. Semua anggota kloter berkumpul sejenak mendengarkan pengarahan ketua kloter dan berdoa sebelum masuk masjid. Ibu yang saya kawal selanjutnya diurus oleh ketua regunya dan diserahkan kepada ojek kursi roda yang nantinya langsung diantar ke maktab setelah selesai umrah. Instruksi ketua kloter agar selalu bersama-sama satu kloter (450 orang), jika tak memungkinkan tetap satu rombongan (45 orang), satu regu (11 orang), atau tetap bersama pasangannya suami-istri. Jika terpaksanya terpisah sendiri, harus tahu tempat berkumpul di halaman masjid saat pertama kali datang.

Awalnya bisa kompak beriringan masuk dan sangat terharu melihat kabah, bangunan historis religis yang menjadi pusat orientasi shalat seluruh umat muslim sedunia. Bangunan batu hitam usia ribuan tahun buatan Nabi Ibrahim itu benar-benar di hadapan mata. Berbagai perasaan berkecamuk saat itu.

Benar saja, selama thawaf mengelilingi kabah, rombongan mulai bercerai berai. Saya tetap bersama dengan istri saya dan sesekali mengenali teman dari slayer yang dipakainya. Sepertinya semua konsentrasi pada thawaf masing-masing. Selesai thawah dilanjutkan dengan sai dan tahalul sebagai tanda selesai umrah. Selanjutnya kami berkumpul menuju halaman masjid tempat semula datang.

Sekitar 15 orang sudah selesai juga. Tanpa menunggu lainnya, kami berjalan kaki kembali ke maktab sekitar jam 1.00 dini hari. Sampai ke maktab saya mandi bersih dan sangat lega bisa berganti pakaian biasa melepas pakaian ihram. Saya janjian dengan istri makan malam di restoran hotel itu yang memang khusus menyediakan makanan Indonesia. Sangat nikmat makan gulai sapi hangat pada dini hari itu karena perut sangat lapar akibat kegiatan fisik yang menguras tenaga.

Selesai makan dan saat menuju ke kamar, saya bertemu dengan Pak AS. Kondisi beliau sangat kusut terlihat letih dan masih berpakaian ihram. Melihat saya beliau marah, menanyakan kunci kamar. Rupanya beliau sudah sampai duluan ke hotel karena tidak bisa menyelesaikan thawaf, baru keliling 4 kali, sudah tak kuat menahan pipis. Entah siapa yang mengantarkan ke hotel. Beliau tidak bisa masuk kamar dan hanya berkeliling saja di dalam hotel.

Saya sempat kesal, karena merasa sudah memberikan kuncinya saat akan berangkat. Beliau baru reda marahnya ketika saya tunjukkan kartu magnetik yang ada di tas kecil beliau sendiri. Barulah beliau paham kalau itu kuncinya, tak seperti kunci besi sih. Memang, banyak yang tidak tahu kalau kunci perlu diaktifkan. Malam itu banyak yang menunggu di luar kamar, karena kuncinya tidak bisa untuk membuka kamar, menunggu yang membawa kunci master.

Hanya Pak Abdul Syukur saja di regu kami yang belum menyelesaikan umrah. Beliau masih Harus memakai pakaian ihram. Kami prihatin dan akan mengantarkan beliau besok hari. Terlihat kekuatan fisik Pak AS mulai menurun.

Hari kedua di Mekkah itu kami pergi ke Masjidil Haram menggunakan taksi. Setelah selesai melaksanakan shalat dhuhur berjamaah, saya mencari persewaan kursi roda di lantai dua untuk Pak AS melakukan thawaf dan sai, ongkosnya 220 real. Kami mengawasi dan memonitor dari kejauhan. Akhirnya selesai juga, spontan saya cium pipi Pak AS, kami terharu dan lega rasanya.

[caption id="attachment_294638" align="aligncenter" width="395" caption="Thawaf di Lantai 2 Masjidil Haram dengan Kursi Roda"]

1381730942217367801
1381730942217367801
[/caption]

Selama menunggu wuquf di arafah tanggal 9 Dzulhijah, kami sesekali melakukan umrah dengan miqat di Masjid Tan'im. Juga berusaha shalat berjamaah di Masjidil Haram. Keutamaan shalat di Masjidil Haram pahalanya sebesar 100.000 kali dibanding dengan masjid lainnya. Saya berusaha tidak menyia-nyiakan kesempatan yang langka itu. Memang ada saatnya karena sesuatu hal, kami shalat berjamaah di masjid sekitar maktab, di kamar atau di tempat khusus yang sudah disediakan di Hotel.

Pak AS jarang ke Masjidil Haram, karena fisiknya mulai lemah. Awal-awal di Madinah beliau masih kuat berjalan, bisa menyelesaikan shalat arbain. Beliau bercerita hampir 4 tahun terakhir tiap pagi selalu berjalan kaki sejauh sekitar 4 km di sekitar komplek perumahannya.

Saat di Mina, beberapa jamaah yang sudah lanjut usia tidak bisa melakukan lempar jumrah karena harus berjalan sejauh kurang lebih 5 km melalui terowongan Mina, berangkat dan pulang hingga ke tempat maktab. Sudah diputuskan juga oleh ketua rombongan agar yang usia lanjut diwakilkan saja lempar jumrah-nya, termasuk Pak AS yang diwakilkan kepada ketua regu kami. Tentang hal ini saya sangat menyesal di kemudian hari.

Pulang dari Mina, semua harus melakukan thawaf Ifadhah. Kami baru melaksanakan setelah menunggu beberapa waktu, karena melihat kepadatan masjid di layar TV. Beberapa jamaah yang tak kuat fisiknya, termasuk Pak AS disewakan jasa pendorong kursi roda, berangkat dari hotel dan kembali ke hotel lagi, ongkosnya 350 real per orang.

[caption id="attachment_294639" align="aligncenter" width="564" caption="Para Pendorong Kursi Roda Siap Mengantar Jamaah Thawaf Ifadhah dari Hotel"]

13817312622090896176
13817312622090896176
[/caption]

Rasanya makin lega saja, karena sebagian besar rukun haji sudah kami lakukan, tinggal menunggu kepulangan ke tanah air dan thawaf wada’ sebagai thawaf terakhir. Dalam menunggu selama 10 hari itu, kami kembali beraktifitas seperti ketika menunggu wukuf di Arafah. Hari-hari yang membosankan bagi jemaah yang rindu keluarga.

Saya dan lainnya masih rutin shalat berjamaah di Masjidil Haram, waktu asar biasanya saya absen. Suatu hari saat pulang shalat subuh, saya melihat seorang kakek berjalan terbongkok-bongkok dengan tongkatnya. Kakek itu dari penampilan terkesan lebih lemah ketimbang Pak AS, namun masih kuat berjalan meski perlahan.

[caption id="attachment_294516" align="aligncenter" width="395" caption="Kakek yang Luar Biasa"]

13817198991316450491
13817198991316450491
[/caption]

Melihat kakek itu, saya terpikir untuk mengajak Pak AS shalat di Masjidil Haram. Alhamdulillah beliau bersedia. Teman satu regu lainnya menyerahkan kepada saya dan jika terjadi sesuatu terhadap beliau menjadi tanggung jawab saya. Jadilah saya subuh itu bersama Pak AS pergi ke Masjidil Haram.

Waktu shubuh masih lama, Pak AS saya ajak ke lantai satu dan masih leluasa memilih tempat shalat yang bisa langsung melihat Ka’bah. Selanjutnya kami shalat sunat. Ketika menunggu shalat subuh itu, Pak AS mengungkapkan perasaannya. Beliau merasa bahagia sekali bisa menikmati suasana sekeliling, termasuk interior masjid yang indah. Saya paham perasaan beliau, karena kali itu sebagai pengalaman pertamanya.

[caption id="attachment_294517" align="aligncenter" width="564" caption="Bahagianya Pak Abdul Syukur Menikmati Keindahan Interior Masjidil Haram"]

13817201191017102694
13817201191017102694
[/caption]

Dari masjid, berbaur dengan ribuan jamaah lainnya kami berjalan kaki pulang ke maktab. Saya menyarankan kepada Pak AS agar berhenti untuk istirahat jika kelelahan. Nyatanya beliau bisa kuat berjalan tanpa henti, bahkan saya kepontal-pontal mengikuti langkah beliau yang panjang.

Sebelum sampai ke maktab, beliau saya ajak mampir sarapan ke warung makan madura. Kami pesan masing-masing seporsi sop kaki kambing. Beliau sangat menikmati sop kaki kambing itu, heran betapa enak dan empuk dagingnya, dengan menggunakan sendok saja daging itu terkelupas dengan mudahnya dari tulang-tulangnya. Beliau masih ingin mengulang shalat subuh di Masjidil Haram dan sarapan sop kaki kambing lagi. Tentang yang terakhir tidak saya turuti, kawatir mengganggu kesehatannya.

[caption id="attachment_294641" align="aligncenter" width="564" caption="Sop Kaki Kambing yang Maknyusss di Warung Makan Madura, Mekkah"]

1381731546805463493
1381731546805463493
[/caption]

Shubuh berikutnya, bersama dengan istri saya juga, kembali Pak AS bisa shalat di Masjidil Haram. Kali ini saya ajak ke lantai dua, agar bisa merasakan suasana yang berbeda. Lagi-lagi beliau sangat senang dan mengungkapkan kepuasannya.

[caption id="attachment_294519" align="aligncenter" width="203" caption="Pak Abdul Syukur Bersama Penulis"]

1381720772491889054
1381720772491889054
[/caption]

Subuh ketiga, saya ajak shalat di lantai tiga, yaitu lantai paling atas, tepat di pinggir mezanine sehingga Ka’bah tampak jelas. O ya, setiap sebelum pulang, saya menyempatkan mengabadikan Pak AS, agar ada kenang-kenangannya untuk anak dan cucunya. Pak AS sangat senang dan meminta saya mencetakkan foto-fotonya. Hari selanjutnya beliau tak mau lagi saya ajak, karena kelelahan.

[caption id="attachment_294518" align="aligncenter" width="395" caption="Pak Abdul Syukur di Lantai 3 Masjidil Haram"]

1381720486450884245
1381720486450884245
[/caption]

Saya menjadi yakin Pak AS sebetulnya mampu berjalan 5 km untuk melempar jumrah saat di Mina dulu, asal ada pendampingnya. Itulah yang saya sesali.Mengapa saat itu saya tidak bisa mendampingi dan meyakinkan diri bahwa beliau mampu melakukannya?

Memang, sesal kemudian tak berguna. Meski demikian, saya ikut senang akhirnya Pak AS bisa menyelesaikan ibadah hajinya. Belum lagi menikmati wisata ke tempat-tempat historis dan menarik lainnya. Tak terbayangkan jika Pak AS dilarang pergi haji hanya karena faktor usia, betapa akan sedihnya beliau. Saya percaya itu adalah takdir Allah SWT yang memberi rahmat kepada seseorang bisa berangkat haji ketika sudah berusia lanjut. Dan, tentu masih banyak yang berusia lanjut lainnya seperti Pak AS yang ingin berangkat haji.

[caption id="attachment_294521" align="aligncenter" width="564" caption="Pak Abdul Syukur Berwisata di Peternakan Unta di Hudaibiyah, Mekkah"]

1381721235292292046
1381721235292292046
[/caption]

Saya paham namun tak berarti setuju dengan alasan pemerintah membatasi jemaah haji yang berusia lanjut. Apalagi keyakinan seorang muslim jika boleh memilih, akan lebih senang mati saat beribadah haji ketimbang bisa hidup lebih lama namun tak punya kesempatan menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima itu... dan sesungguhnya akhir (akhirat) itu lebih baik bagimu dari permulaan (dunia) [QS Ad Dhuha: 4].

Tanda ikhlas adalah jika kita membantu seseorang dalam kebaikan yang diridhoi oleh Allah SWT dengan senang hati, demikian pula kebalikannya. Ada kalanya saya membantu dengan senang hati, namun sejujurnya saat tertentu saya mengeluh dan ngedumel. Semoga Allah SWT memberi pahala untuk yang saya lakukan dengan ikhlas dan mengampuni untuk bagian yang tidak ikhlas.

Hal yang menjadi pelajaran adalah, tak perlu kita apriori (belum apa-apa sudah mengeluh atau menolak) jika kebetulan dalam kelompok bersama dengan orang yang dianggap akan membebani karena faktor usia atau fisik. Tujuan pergi haji adalah ibadah. Membantu orang lain, apalagi kepada yang layak dibantu adalah kesempatan mengumpulkan bonus pahala. Saya bersyukur di regu kami ada Pak Abdul Syukur. (Depok, 14 Oktober 2013)

-------------

Catatan:

Ihram: yaitu pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji atau umroh dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji atau umroh di miqat.

Lempar Jumrah: melemparkan batu-batu kecil (yang bisa diambil saat mabit di Muzdalifah) ke tiga tiang di Mina, dekat kota Mekkah.

Maktab: tempat pemondokan jamaah haji di tanah suci (Madinah atau Mekkah)

Miqat: adalah batas yang telah ditetapkan bagi dimulainya ibadah haji atau umrah. Apabila melintasi miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji atau umrah perlu mengenakan kain ihram dan memasang niat.

Pakaian Ihram: adalah pakaian putih atau lainnya yang disebut juga pakaian suci, biasanya berbahan seperti kain handuk tebal sehingga tidak menampakkan tubuh. Pakaian ini tidak boleh dijahit dan cara memakaiannya dengan dililitkan ke sekeliling tubuh bagi pria. Bagi wanita lebih bebas asal menutup aurat. Mengenakan pakaian Ihram merupakan tanda ibadah Haji atau Umrah dimulai.

Rukun Haji: adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji, dan jika tidak dikerjakan hajinya tidak sah. Yaitu meliputi: Ihram, Wukuf di Arafah, Tawaf Ifadah, Sa'I, Tahallul, dan Tertib (mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal).

Sa’i: Berjalan atau berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke Marwa berjarak sekitar 400 m, tujuh kali bolak-balik, sehingga seluruhnya menempuh sekitar 3 km.

Shalat Arbain: shalat wajib lima waktu berjamaah tanpa putus hingga 40 kali di Masjid Nabawi, Madinah.

Tahalul: diperbolehkan, maksudnya dibebaskannya jemaah dari larangan ihram. Tahalul ditandai dengan memotong rambut sedikitnya 3 helai. Biasanya setelah selesai mengerjakan sa’i atau lempar jumrah.

Thawaf: Mengelilingi Ka’bah sambil berdoa.

Thawaf Ifadhah: adalah thawaf sebagai rukun haji yang tidak boleh di tinggalkan karena dapat membatalkan haji. Thawaf Ifadhah juga disebut Thawaf ziarah atau Thawaf rukun.

Thawaf Wada': Thawaf yang dilaksanakan pada saat akan meninggalkan Mekkah untuk menghormati Baitullah karena akan berpisah. Hukum dari thawaf Wada' alah wajib, sehingga apabila tidak dilaksanakan maka wajib membayar dam (menyembelih kambing). Thawaf wada' juga disebut dengan thawaf perpisahan. Thawaf Wada' merupakan penutup dari kewajiban-kewajiban haji.

Wajib Haji: adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji sebagai pelengkap Rukun Haji, jika salah satu dari wajib haji ini ditinggalkan, maka hajinya tetap sah, namun harus membayar dam (denda). Yang termasuk wajib haji adalah : Niat Ihram, Mabit (bermalam) di Muzdalifah, Melontar Jumrah Aqabah, Mabit di Mina, Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah, Tawaf Wada', dan Meninggalkan perbuatan yang dilarang saat ihram.

wukuf di Arafah: berdiam diri di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dimulai sejak tergelincirnya matahari (setelah jam 12 siang) waktu dzhuhur hingga waktu maghrib dengan tata cara yang telah ditentukan secara syar’ie.

(Sebagian definisi dimodifikasi dan diambil dari berbagai sumber)

--------------

Tulisan lainnya:

1. Warna-warni di Tanah Suci

2. Pengemis Modis di Tanah Suci

3. Di Tanah Suci Tak Boleh Marah Pak!

4. Sekali-kali Polisi Perlu Dikerjai

5. Iri Hati kepad Tetangga

6. Oh, Hajar Aswad

7. Beberapa Pesan untuk Anak-anakku

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun