Mohon tunggu...
WS Thok
WS Thok Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Lahir di Jawa-Timur, besar di Jawa-Tengah, kuliah di DI Yogyakarta, berkeluarga dan tinggal di Jawa-Barat, pernah bekerja di DKI Jakarta. Tak cuma 'nguplek' di Jawa saja, bersama Kompasiana ingin lebih melihat Dunia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kehilangan Anak

11 September 2011   06:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:03 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mempunyai tetangga seorang Ustadz, yang setiap ada kematian seorang anak, selalu menghibur dan menasehati orangtua almarhum untuk bisa menahan tangisnya dan menerima cobaan itu dengan sabar, semuanya kehendak Tuhan.

Pada lain waktu Pak Ustadz ini kehilangan anaknya yang meninggal dunia karena sakit, beliaupun tidak kuasa menahan air matanya dan merasa begitu terpukul. Apa yang dinasehatkan kepada orang lain rupanya tidak berlaku untuk dirinya. Ia menyadari kelemahannya itu, sampai-sampai berkesimpulan bahwa kehilangan anak adalah kesedihan yang paling mendalam bagi insan manusia (yang normal), dibandingkan dengan kehilangan anggota keluarga yang lainnya.

Salah satu teman kantor kami kehilangan buah hatinya, yang meninggal juga karena sakit, anak satu-satunya yang masih balita itu sedang lucu-lucunya. Teman kami yang kristiani ini begitu terpukul dan sedih sekali, ia menyalahkan dan menghujat Tuhan, merasa Tuhan tidak adil.

Hingga suatu hari ia bertemu dengan seorang rohaniwan yang memberi nasehat cukup bijaksana. Kalau seseorang mempunyai sesuatu, maka harus siap kehilangan sesuatu itu suatu saat, karena di dunia tidak ada yang abadi. Andai seseorang mempunyai sebuah mobil, maka ia harus siap terhadap kemungkinan: ban kempes, tergores, tertabrak bahkan hilang dicuri orang. Demikian pula dengan seseorang yang mempunyai anak, ia harus siap terhadap kemungkinan: sakit, luka, cacat bahkan meninggal dunia.

Perlahan-lahan teman kami menyadari kesalahannya selama ini, dan bisa hidup “normal” kembali. Rupanya selain nasihat rohaniwan itu, iapun mendapatkan pengalaman-pengalaman lain dari banyak teman yang menghiburnya, salah satunya adalah yang diceritakan kepada saya, berikut ini.

Peristiwa kehilangan anak bisa diibaratkan seorang karyawan perusahaan yang kinerjanya bagus (Performance Appraisal-nya Excellent), sehingga diangkat menjadi salah satu kepala bagian, ia mendapatkan fasilitas mobil Toyota Kijang Minibus tahun terbaru. Dalam waktu satu tahun ia menjabat, kemajuan perusahaan begitu pesat, keuntungan yang diperoleh perusahaan berlipat ganda, sehingga dalam rapat direksi diputuskan untuk menaikan jabatannya menjadi salah satu manager, sekaligus akan mengganti fasilitas mobilnya dengan Toyota Camry keluaran terbaru yang lebih bagus dan nyaman.

Pagi berikutnya, seorang pegawai bagian Property mendatangi ruangannya, dengan tanpa banyak bicara, semata-mata melaksanakan perintah atasan, meminta kunci mobil dan menarik Kijang Minibus-nya.

Karena kepala bagian ini merasa bekerja dengan baik dan konstribusinya terhadap perusahaan sangat signifikan, maka marahlah ia, merasa jerih payahnya tidak dihargai atasannya,  Ia protes keras lengkap dengan ungkapan yang kasar dan mengancam mengundurkan diri. Menanggapi protes keras dan ancaman itu, maka hasil rapat dadakan direksi memutuskan untuk membatalkan kenaikan jabatan dan mem-PHK sesuai ancamannya.

Demikianlah apa yang terjadi pada teman kantor kami, ia terlanjur protes kepada Tuhan, ia tidak  bisa menerima anaknya “diambil”. Untung Tuhan Maha Pemurah, sehingga teman kantor kami masih dikaruniai anak dan sekarang mempunyai jabatan cukup tinggi, Tuhan mempunyai kehendak lain yang masih menguntungkannya.

Tetangga saya yang lain ikut KB dan “merasa cukup” dengan sepasang anak yang duduk di SMP dan SD kelas 4. Pada akhir tahun 2000 anak keduanya meninggal dunia akibat muntaber, namun demikian ia cukup sabar, ia pun memutuskan untuk mempunyai anak lagi. Alhamdulillah sekarang dikaruniai dua anak yang lucu-lucu, anaknya menjadi tiga. Tuhan memberi “bonus” atas ketabahan dan kesabarannya.

Kecemasan dan kekhawatiran sering dialami orangtua ketika anaknya sakit, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Setiap kali menghadapi anak sakit dan teringat pengalaman teman, hati saya menjadi lebih tenang, yang penting jangan ragu-ragu untuk cepat mengambil tindakan.

Badan kitapun hanya titipan Tuhan untuk wadah jiwa kita, seumur saya (di atas 40 tahun) setiap detik sel-sel tubuh mengalami kerusakan dan kemunduran fisik (degeneratif), konon syaraf neuron kitapun mati tiap hari kira-kira 50 ribu dari keadaan semula sebesar 100 miliar, hingga pada waktunya badan kita tidak mampu lagi mewadahi jiwa kita ... jiwa melayang.

Maaf, tidak bermaksud mengajak ke pesimistis, bagaimana pun kesadaran tentu lebih menguntungkan. Di luar kehendak Tuhan, pola hidup yang sehat dipercaya bisa memperlambat kemunduran fisik itu. Lebih penting lagi adalah pemanfaatan waktu kita, mumpung jiwa dan raga masih berfungsi dengan baik.

Pada akhirnya kita harus siap kehilangan semua ”milik kita” di dunia ini: uang, harta, jabatan, pekerjaan, ‘ketampanan/kecantikan’, teman, famili, istri/suami, orangtua, anak bahkan nyawa kita sekalipundengan keikhlasan, kesabaran dan jiwa besar.

--------------

Catatan: Penyebutan merk kendaraan sekedar pelengkap cerita, tidak dimaksudkan untuk promosi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun