MENINGKATKAN WOMEN RIGHTS DI INDONESIA: REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK
Pendahuluan
Representasi perempuan dalam politik Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan, tetapi belum mencapai tingkat ideal. Meski ada kebijakan afirmatif seperti kuota gender, perempuan masih menghadapi hambatan besar, baik dari segi struktur politik yang diskriminatif maupun kurangnya modal sosial dan ekonomi.
Studi feminisme tidak langsung muncul seperti yang kita kenal sekarang. Mary Wollstonecraft kemudian diakui oleh banyak sejarawan sebagai pendiri feminisme lewat karyanya "A Vindication of the Rights of Woman," yang diterbitkan pada tahun 1792. Karya ini dianggap sebagai teks penting feminisme awal yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan.
Wollstonecraft berargumen bahwa semua manusia, termasuk perempuan, memiliki kemampuan berpikir dan rasionalitas. Oleh karena itu, perempuan harus diberi kesempatan untuk berkontribusi setara dalam masyarakat. Untuk mencapai hal ini, mereka perlu mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Jika tidak, kemajuan sosial dan intelektual akan terhambat.
Argumen Mary Wollstonecraft menggabungkan nilai-nilai liberalisme dari John Locke dan "humanisme sipil" dari Republikanisme (Tong, 2019). Ia menyoroti pentingnya pendidikan setara bagi perempuan, kemandirian ekonomi (baik bagi yang menikah atau tidak), serta perlunya representasi perempuan di institusi pemerintahan. Didalam artikel ini akan membahas dua tantangan utama tersebut dan mengusulkan langkah-langkah untuk menciptakan lingkungan politik yang lebih inklusif bagi perempuan.
Keadaan Saat Ini
Saat ini, keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia meningkat dari 18% pada 2014 menjadi 20,5% pada periode 2019-2024. Meski lebih baik dibandingkan dekade sebelumnya, angka ini masih belum mencapai target 30% yang dianggap sebagai "massa kritis" untuk memengaruhi kebijakan. Misalnya, beberapa kebijakan penting seperti RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual masih menghadapi hambatan di DPR meskipun ada peningkatan jumlah perempuan dalam parlemen (Irham, 2022).
Masalah Utama: Kurangnya Modal Sosial dan Politik
Keterbatasan Akses terhadap Modal
Salah satu hambatan utama yang sering dihadapi perempuan dalam dunia politik adalah keterbatasan akses terhadap modal. Di negara-negara berkembang, banyak perempuan masih hidup dalam kemiskinan karena adanya stereotip patriarkal yang mengaitkan mereka dengan pekerjaan domestik. Pekerjaan di sektor domestik umumnya memiliki upah yang rendah, atau bahkan
tidak dibayar, serta seringkali tidak diatur secara resmi. Hal ini menyebabkan perempuan memiliki lebih sedikit sumber daya ekonomi dibandingkan laki-laki, yang membuat mereka lebih sulit untuk terjun dan bersaing dalam dunia politik yang membutuhkan modal besar.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk terjun ke dalam politik membutuhkan modal baik secara sosial maupun politik yang tidak kecil. Setelah Reformasi, demokrasi Indonesia tumbuh menjadi demokrasi berbiaya besar yang dapat dilihat melalui tingginya biaya pendirian partai politik hingga proses pencalonan. Laporan Penerimaan Dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) pemilu legislatif 2019 menunjukkan bahwa sebanyak 84,1% sumber penerimaan dana kampanye berasal dari kantong pribadi calon, sedangkan sumbangan dari partai politik sangat minim (Perludem 2020)..
Kondisi ini memudahkan mereka yang memiliki modal untuk mendanai kampanye secara mandiri dalam sistem politik yang membutuhkan biaya besar. Inferiornya status sosial dan ekonomi perempuan, terlebih apabila dihadapi dengan konsekuensi biaya politik terhadap stabilitas ekonomi keluarga mereka, menimbulkan keengganan untuk terjun ke dalam dunia politik (Ballington & Kahane, 2016). Hal ini tentu menimbulkan kesulitan bagi perempuan untuk mengumpulkan dana awal yang diperlukan untuk meluncurkan kampanye.
Politik Kekerabatan
Politik kekerabatan juga menjadi faktor penting dalam keterwakilan perempuan. Banyak calon perempuan teridentifikasi sebagai istri atau kerabat politisi laki-laki. Dalam Pilkada 2020, terdapat 124 calon kepala dan wakil kepala daerah, di mana 57 di antaranya adalah perempuan; setidaknya 29 orang teridentifikasi sebagai istri petahana (Margret, dkk, 2022). Persoalan utama bukanlah mengenai ikatan kekerabatan itu sendiri, tetapi bagaimana perempuan yang terpilih sering kali digunakan sebagai perpanjangan tangan oleh kerabat laki-laki mereka untuk melanggengkan kekuasaan.
Masalah Utama: Struktur Politik Diskriminatif
Sistem Pemilihan yang Tidak Mendukung
Penerapan sistem daftar terbuka pada Pemilu 2009 justru menghadirkan tantangan baru bagi perempuan untuk masuk ke parlemen. Dalam sistem ini, pemilih cenderung memilih kandidat dengan nomor urut teratas, yang sering kali didominasi oleh laki-laki. Data menunjukkan bahwa pemilih lebih memilih kandidat dengan nomor urut pertama (Margret, dkk, 2022). Hal ini menciptakan kesulitan bagi kandidat perempuan untuk mendapatkan suara terbanyak.
Sistem pemilihan ini memberikan kontrol lebih besar kepada pemilih dalam menentukan wakil mereka di parlemen. Namun, tantangan muncul ketika kandidat perempuan harus bersaing dengan politisi lain dalam partai yang sama untuk mendapatkan suara terbanyak. Hal ini mengakibatkan banyak kandidatperempuan terpaksa berjuang lebih keras untuk mendapatkan perhatian pemilih dibandingkan rekan-rekan laki-laki mereka (Jones & Navia, 1999).
Kurangnya Dukungan dari Partai Politik
Meskipun ada kebijakan afirmatif seperti kuota gender dan semi zipper system, implementasinya sering kali tidak berjalan efektif. Banyak partai politik tidak memberikan dukungan yang cukup kepada calon perempuan dalam hal pendanaan dan promosi (Margret, dkk, 2022).. Seringkali, partai-partai tersebut lebih memilih untuk mengutamakan kandidat laki-laki yang dianggap lebih mampu menarik suara.
Untuk mencapai keterwakilan perempuan yang lebih baik di parlemen, beberapa langkah ideal perlu diterapkan:
Penerapan Kuota Gender yang Lebih Ketat
Mengimplementasikan kuota gender minimal 30% dalam pencalonan legislatif harus menjadi prioritas utama untuk memastikan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang setara.
Dukungan Keuangan untuk Calon Perempuan
Program pendanaan khusus untuk calon perempuan harus diperkenalkan agar mereka dapat mengatasi kendala finansial yang menghambat partisipasi mereka.