Kami berangkat pukul 7:30 menuju Rantepao untuk bertemu dengan Pak Martinus. Jarak Makale-Rantepao 32 Km. Waktu tempuh 45 menit kondisi normal. Kami tiba di Rantepao dan berangkat dengan Pak Martinus ke tempat singgah pertama Bori' Parinding. Desa megalith. Konon jika ada laki-laki yang meminang perempuan dari desa ini, ia diwajibkan membawa batu sebagai bagian dari mahar. How cool is that???!!! Disini, jenazah dimakamkan di batu-batu besar yang dilobangi, bukan goa. Satu batu besar, biasanya untuk satu keluarga. Bila keluarga tidak punya batu untuk di klaim atau space di batu keluarga sudah terisi penuh, maka makam keluarga selanjutnya terbuat dari semen, seperti kamar. Hari itu kami sempat melihat persiapan pesta adat yang melibatkan warga desa. Membuat pondok dan memotong babi untuk di makan bersama. Saya menemukan kemiripan suasana dengan Bali ketika mereka menyiapkan upacara agama. Sakral dan penuh makna...
[caption id="attachment_362350" align="aligncenter" width="300" caption="Persiapan upacara adat (Bori"]
[caption id="attachment_362351" align="aligncenter" width="300" caption="Makam Batu, Bori"]
[caption id="attachment_362352" align="aligncenter" width="300" caption="Pintu berukir kepala kerbau, menandakan jenazah yang bersemayam di dalamnya adalah bangsawan."]
Next destination, masih di hari yang sama, kami naik ke ujung bukit sebelah, Batutumonga. Dimana kami bisa melihat Toraja dari ketinggian... Maaf, teknologi secanggih apapun dan media apapun yang saya dan anda gunakan, tidak akan bisa mewakili apa yang saya rasakan disana... TERLALU INDAH bila hanya diwakilkan dengan video dan foto. Bawalah sendiri mata dan hati anda kesana, anda akan mengerti apa yang saya maksud...
Lupa saya tambahkan, jalan kami menuju tempat-tempat yang indah ini, tidak selalu indah... Tidak hanya jalan yang sempit, berbatu dan berkelok. Sekali lagi, it's worth beautiful...
[caption id="attachment_362354" align="aligncenter" width="300" caption="Batutumonga"]
Kami merasa beruntung hari itu karena bisa menyaksikan upacara (pesta) perayaan (maaf) kematian. Mereka menyebutnya pesta. Sebagai tamu (yang sebetulnya tidak diundang), guide kami menyarankan untuk membawa buah tangan untuk tuan rumah. Biasanya rokok atau kopi. Boleh juga babi atau kerbau. Mereka berduka, tapi juga bersyukur bisa menerima banyak tamu yang ikut menghormati leluhur mereka, orang tua mereka... Kematian dirayakan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah berjasa pada hidup mereka. Kami berdua, makan di pondok yang mereka bangun di sekeliling Tongkonan mereka. Kami tidak diperkenankan duduk di Tongkonan, karena tidak sembarang orang boleh duduk di Tongkonan pada saat pesta berlangsung. Kami dihormati selayaknya tamu. Duduk, disuguhi kopi/teh, makanan kecil, lalu kemudian makan siang... WOW!!! They treat every single one the same way! Karena kami muslim, mereka membuatkan kami makanan non-babi. Favorit saya hari itu, kopi Toraja!!! It has beautiful taste. Sampai-sampai ketika pihak keluarga akan mengambil kopi saya, saya bilang, "Tolong di tinggal, kopi ibu enak sekali!"
Ibu itu membalas, "Saya mau kasih makan"
I insist, "Terima kasih, ibu, tapi tolong kopinya ditinggal saja... Kopi ibu enak sekali!"
Datanglah makanan kami, sayur dan ikan. Special moslem menu.