KULIAH ITU TIDAK PENTING
Memasuki semester tiga ini, banyak sekali teman-teman saya yang mulai mengeluh mengenai banyak hal tentang perkuliahan, misalnya banyak dari mereka yang merasa salah jurusan sehingga tidak ada lagi gairah atau semangat dalam menjalani perkuliahan. Saya juga tidak dapat berbohong pada diri sendiri tentang banyak sekali hal yang membuat saya mempertanyakan segala hal yang tengah saya jalani ini. Menjadi mahasiswi Sastra Inggris yang tidak begitu mahir berbahasa Inggris menimbulkan overthinking tak berkesudahan. Misalnya saya melihat banyak sekali mahasiswa dari jurusan lain yang lebih jago berbahasa Inggris, ditambah keahlian lainnya yang sedang mereka pelajari, hal itu membuat saya takut kalah saing di masa depan. Parahnya adalah saya belum begitu paham akan ke mana saya setelah kuliah. Setiap hari harus bangun pagi untuk bersiap memasuki kelas dan menghabiskan waktu seharian mendengarkan dosen tanpa mengingat ilmu yang mereka berikan lalu pulang ke kost begitu saja. Jalan hidup monoton yang tengah saya jalani ini memupuk rasa bersalah pada kedua orang tua saya juga kakak perempuan saya, mereka telah menguras tenaga untuk menghasilkan uang hanya agar saya bisa memasuki perguruan tinggi. Memang di keluarga kecil ini, bahkan di kampung tempat saya tinggal, hanya saya yang hijrah ke luar kota untuk berkuliah, hal ini tentu membuat orang tua saya bangga dan percaya bahwa anaknya ini kelak akan sukses, padahal saya yang menjalaninya di sini merasa risau dan takut menghancurkan impian mereka.
Hal ini membuat saya mempertanyakan apakah kuliah itu penting bagi seorang manusia? Atau bahkan apakah sekolah itu penting kalau ada banyak orang yang membuktikan bagaimana mereka bisa sukses tanpa menjalani step pendidikan sebagaimana negara mengharuskan setiap warganya untuk menjalani step pendidikan itu. Sebaliknya, banyak sekali lulusan sarjana yang kurang beruntung dalam mendapatkan pekerjaan dan banyak yang tidak mengetahui apa yang akan dilakukan ketika lulus. Seperti apa yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan kita Bapak Nadiem Makarim, bahwa saat ini kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi, lulusan tidak menjamin kesiapan berkarya dan bekerja, bahkan kelas tidak menjamin seseorang untuk belajar. Namun saya tidak akan menyalahkan siapapun dalam hal ini setelah mendengarkan motivasi dan membaca banyak referensi positif sehingga saya mampu menjalani aktivitas saya sebagai mahasiswa yang bahagia. Saya berharap tulisan ini bisa menjadi teman baik bagi siapapun yang merasa kehilangan arah, menyesal, bahkan putus asa. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan yang semoga membantu para mahasiswa yang hampir kehilangan semangat belajar.
Sistem pendidikan itu berubah dari waktu ke waktu, dalam kacamata Islam, sistem perkuliahan itu sendiri diperkenalkan oleh golongan Islam syi'ah sekitar beberapa abad yang lalu di masa Fatimah Al-Fihri. Namun sistem barat jauh lebih mengungguli dan memperkenalkannya ke seluruh dunia, hingga saat ini strata perguruan tinggi adalah jalan untuk mendapatkan skill atau ijazah yang akan melabeli seseorang itu untuk bekerja dan berkarya di lapangan. Jika niat seseorang berkuliah hanya sekedar untuk menuntut ilmu, mungkin kurang logis mengingat bagaimana mudahnya informasi yang dapat diakses pada zaman sekarang, apapun yang ingin kita ketahui sudah ada semuanya di internet. Namun, ada banyak profesi yang untuk meraihnya harus dilakukan dengan berkuliah, misalnya untuk menjadi seorang dokter, tentu wajib memiliki latar belakang pendidikan yang jelas sebagai lulusan kedokteran, tidak begitu saja belajar otodidak dan menjadi dokter. Maka menurut saya kuliah itu sangat penting, bukan hanya untuk mendapatkan ilmunya tapi bagaimana kita mengikuti sistem perkuliahan itu sendiri, bagaimana kita dipaksa untuk belajar berijtihad, tepat waktu, disiplin, menghargai dosen dan sabar dalam meghadapi berbagai watak mereka.
Banyak yang berkata bahwa bisa saja seseorang yang tidak sekolah maupun kuliah lebih unggul, itu benar adanya, namun tidak semua orang bisa memecut dirinya sendiri untuk selalu konsisten dalam belajar dan tidak semua orang tua mampu mengajar anaknya sendiri, maka diperlukan sistem untuk mengikatnya. Misalnya, saya sendiri termasuk orang yang kesulitan dalam menghafal Al-Qur'an karena banyaknya godaan malas dan sebagainya, namun setelah memasuki pesantren dalam kampus yang mengharuskan menghafal satu surat pendek setiap minggu, lama-lama surat-surat pendek itu sudah dikuasai hanya dalam kurun waktu satu tahun. Pesantren punya metode tersendiri untuk mencapai suatu target begitupun dengan kuliah. Harus diingat bahwa kuliah itu hanya wasilah untuk mencapai suatu titik, tapi ada banyak ruang-ruang lainnya juga harus terpenuhi, seperti bermasyarakat, berkeluarga dan lain-lain. Jika tidak butuh kuliah untuk mencapai titik tertentu, maka lebih baik tidak kuliah daripada menghabiskan waktu dengan sia-sia.
Kembali lagi pada pembahasan tentang pentingnya kuliah, ada banyak pro dan kontra yang akan terus menjadi bagian dari pembahasan masyarakat. Ada orang-orang yang selalu memandang positif suatu perkuliahan, tak sedikit pula yang memandang negatif suatu perkuliahan yaitu menganggap bahwa kuliah membatasi orang untuk berpikir dan berperan, menyibukkan orang dengan sesuatu yang tidak penting, pembodohan, pencetakan pekerja-pekerja murah dan sebagainya. Ada pula yang mengatakan bahwa kuliah menghilangkan adab. Sebagai umat Islam yang diwajibkan untuk menuntut ilmu, tentu saja umat Islam terdahulu sudah gencar dalam menuntut ilmu yang bisa saja saat ini kita sebut dengan kuliah, dan masjid adalah tempat umat Islam dalam menuntut ilmu. Ketika sistem kuliah diperkenalkan untuk pertama kalinya, ada seseorang pada masa itu yang berkata, "Kami dengan guru-guru kami terhalang oleh tembok, sehingga kami hanya belajar ilmu-ilmu yang diajarkan di dalam kelas, tapi kami tidak bisa belajar tentang adab guru kami, bagaimana beliau menjalani kehidupan karena terbatasnya pertemuan oleh jam kerja. Dulu ketika di masjid 24 jam bersama guru kami, kami belajar dengan dia dan kami melihat gerak geriknya." Begitu curahan hati seorang pemuda muslim yang menganggap bahwa sistem kuliah masa kini mengurangi adab. Dahulu Imam Malik ketika mengisi kajian dengan dihadiri lebih dari lima ribu orang, ketika itu tidak ada speaker dan lainnya, maka orang akan melihat gerak-geriknya Imam Malik, bagaimana ia membuka bukunya, cara duduknya, cara berdirinya dan sebagainya, saking semangatnya orang dahulu menuntut ilmu, walaupun di belakang tetap mendapat pelajaran adab dan moral. Pemuda itu melanjutkan, "Dulu kami belajar di masjid duduk di atas tanah, dari situ hati kami menjadi rendah, hati kami jadi mensyukuri, hati kami menjadi tidak sombong. Lalu ketika ada universitas dan kelas, kami diberikan meja dan kusi dan kami dimasukkan ke dalam kelas yang tidak semua orang bisa mengaksesnya sehingga tak jarang kami merasa lebih baik daripada mereka."
Lalu bagaimana agar kuliah kita menjadi penuh arti, tidak sia-sia dan berkah? Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum memasuki kuliah. Pertama, tentu saja kita harus mengukuhkan tujuan dan goals karena itu merupakan hal yang sangat penting, "without goal, there is no productivity". Harus sudah mengetahui apa target dalam jangka waktu sepuluh tahun ke depan tentang bidang apa kira-kira yang ingin digeluti di masa depan. Butuh spesifikasi ilmu dalam hal seperti apa, skill dalam bisang apa, pengalaman dalam mengerjakan atau menyelesaikan suatu projek seperti apa. Kurang lebih hal itu akan memudahkan kita dalam mengambil keputusan, pilihan sikap, termasuk apa yang akan dilakukan selama kuliah. Tujuan itu menjadikan kita lebih hidup, lebih baik dan memiliki motivasi to do something well.
Yang kedua, pastikan memilih jurusan yang tepat, karena waktu kuliah itu lama. Riset mengatakan sebanyak 70% orang mengaku salah jurusan. Sebelum memasuki perkuliahan, sebaiknya dipikirkan matang-matang segala halnya apalagi sekarang ini informasi sudah tidak terbendung. Meskipun jurusan tidak menjamin karir dan kita juga tidak harus bekerja sesuai passion maupun latar belakang keilmuan kita, namun bukankah kita ming-invest waktu, uang, tenaga dan fokus dalam waktu sekitar tiga sampai empat tahun kuliah itu akan jauh lebih baik jika ilmu, pemahaman dan pengalaman itu benar-benar terpakai dalam kehidupan nyata di mana kita akan berkarya dan bekerja. Kita yang seharusnya mengarahkan, bukan kita yang diarahkan lingkungan, kondisi dan situasi.
Ketiga adalah networking atau circle pertemanan kita. Orang-orang yang dekat dengan kita adalah suatu hal yang penting, sayangnya sering kali kita berteman apa adanya, bukan pertemanan yang berkualitas ada ada sesuatu yang bisa mengembangkan diri kita dalam pertemanan itu. jadi membangun jejaring sosial dan bergaul dengan orang-orang positif itu penting dalam membentuk karakter. Ini juga masih menjadi hal yang sulit untuk saya lakukan mengingat kepribadian saya yang sulit bergaul, setidaknya kita harus mempunyai circle yang memberi pengaruh positif.
Keempat, kuliah itu harus juga diimbangi dengan membangun skill, kuliah tinggi itu tak menjamin kesuksesan, namun when we have skills, we acknowledge our skills, we could create something. Power ada di tangan kita, jadi kuliah itu bukan menciptakan robot-robot yang dengan ijazahnya berbondong-bondong melamar kerja. Hal itu mungkin realitas yang tidak bisa dipungkiri, tapi faktanya dunia terus berubah, dan mereka yang punya skill sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh zamannya akan menciptakan kesempatan bukan sekedar menunggu.
Kelima, kita hidup di mana perubahan terjadi dengan sangat cepat bahkan besar-besaran, era di mana kecanggihan teknologi terus terjadi dan mengikuti perkembangan teknologi adalah hal yang penting. Mereka yang bertahan adalah mereka yang bersiap, besiap dengan skill, mental, pengalaman, pengetahuan dan pengendalian ego. Kita difasilitasi dengan banyaknya informasi untuk dibaca. Maka terus membaca dan up to date adalah hal yang sangat diperlukan.