Mohon tunggu...
Wahyu Riska Elsa Pratiwi
Wahyu Riska Elsa Pratiwi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

A student university in Maulana Malik Ibrahim(MMI)State Islamic University Malang take a Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjemput Gelap (Cahaya dalam Kegelapan) I

11 Desember 2014   19:49 Diperbarui: 4 April 2017   17:41 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak bisa meninggalkanmu kalau..

Kita berdua tidak sedang mempertaruhkan hati kita masing-masing.

Cahaya

Namaku Cahaya. Aku penulis. Sudah genap 5 tahun aku menulis. Aku sudah mendapatkan beberapa penghargaan dari buku yang kutulis. Salah satu penghargaan yang sangat luar biasa untukku adalah penghargaan best seller selama 3 tahun berturut-turut dan cetakan mencapai 1 juta eksemplar saat bukuku baru 6 bulan rilis. Aku tidak tau apa yang spesial dari bukuku. Yang kupahami hanya, aku senang menulis dan aku bahagia dengan itu makanya ku tulis buku itu “Life With Happiness;Yesterday, Today and Tomorrow”. Buku yang tanpa ku sangka-sangka menjadikanku dikenal oleh banyak orang dan diundang pada banyak acara seminar menulis untuk menjadi pemateri.

Saat ini aku sedang dalam pelarianku. Pelarian dalam mencari inspirasi. Juga menata hatiku yang masih saja tidak bisa berdamai dengan kenyataan hidup yang benar sekaligus pahit untuk dikecap, dan sedih untuk diingat-ingat. Entah kemana kapal ini berlayar. Makassar? Manado? Surabaya? Atau mungkin Aceh? Entahlah aku sudah lupa dengan tujuanku. Aku hanya menunggu kapal ini berlabuh di pemberhentian terakhir. Sebagaimana aku yang masih menunggu. Menunggu hingga kegelapan datang. Iyah namaku Cahaya. Tapi aku... tengah menjemput gelap.

Pada sebuah kapal aku berdiri. Tepat di bawah senja hanya aku sendiri aku menikmati deburan ombak dan indahnya mega-mega langit menutup hari ini. Menjemput gelap. Mendatangkan bulan dan bintang. Setiap hari aku memandang senja yang sama. Menggambar senja yang sama. Tidak ada yang berubah. Semua tetap saja indah bagiku. Sampai seorang laki-laki hadir mengusik ketenanganku bersama senja.

Langit

“Kamu senang menikmati senja ini?? Aku lihat setiap hari kamu menggambar. Senja yang sama. Setiap harinya. Tidak bosan?” Laki-laki itu bertanya padaku sambil sibuk memotret senja.

“Aku tidak pernah bosan” jawabku singkat dengan ketus.

“Sama aku juga tidak pernah bosan. Aku akan memerkan semua hasil foto senja selama kapal ini berlabuh. Hasilnya sangat indah aku sudah mencetak beberapa. Namamu siapa, penikmat senja. Ouh yah aku Langit?” katanya bertanya

“Cahaya. Sambil masih meneruskan menggambar. “Nama yang indah. Kau bersama siapa dalam perjalanan ini?” Tanyanya lagi. Sambil memandangku berhenti memotret sejenak.. “Bisakah kau meningalkanku sendiri? Ini adalah tempatku menikmati senja. Kau bisa mencari spot lain.” “Ouh, kalau kau merasa tidak nyaman berarti kau yang harus pergi. Karena aku tidak melihat tulisan info bahwa dek atas kapal ini adalah milik Cahaya.” Aku membereskan peralatan menggambarku dan bergegas pergi meninggalkan dek itu. Ia berteriak kemudian “Hei, bisa kita membincangkannya baik-baik. Ini Cuma senja. Kenapa harus gusar seperti itu. Hei..” Aku tidak menghiraukannya terus berjalan menuju bilik kamarku. Kenapa aku harus marah. Padahal itu adalah senja yang sama, setiap hari aku bisa menikmatinya, Lucunya aku berebut senja dengan seorang laki-laki. Laki-laki yang bernama langit. Cih.

Langit

Sial aku memikirkan gadis itu belakangan. Bisa-bisanya ada gadis seketus dan sesensitif itu. Walau aku tahu gadis terkadang bertingkah laku aneh dan menyebalkan ketika ia datang bulan.

Aku memampang semua hasil potretku terakhir. Semua bertemakan pemandangan diatas kapal. Dan senja mendominasi pameran foto kali ini. Orang-orang yang lewat di lorong dek kapal itu berhenti. Sejenak melihat lamat hasil potret ku. Banyak yang memuji. Tapi bukan pujian itu yang kuharapkan. “Langit, apalah kau ini. Kenapa kau hanya memotret senja, dan pemandangan-pemandangan. Memang indah. Tapi dari hasil potretmu ini aku merasa hambar. Terasa kosong. Kenapa kau tidak memotret pemandangan ini dengan menampilkan orangnya Langit? Aku yakin hasilnya akan jauh lebih baik.” Bang Tahar mengomentari hasil fotoku. “Aku malas bang. Aku sudah capek memotret orang.” “Langit sampai kapan kau ada disini hah? Sampai kapan? Kau tahu aku terluntang-lantung di kapal sudah berapa lama? Mengembara dari satu tempat ke tempat lain karena aku tidak bisa bangkit. Kalau kau? Tentu aku yakin bisa. “Mau sampai kapan bang? Sampai kapan kita terus dibohongi. Saya lelah harus memotret orang-orang. Menulis berita yang semuanya adalah sampah bang. Pemandangan tidak pernah menipu bang mereka akan menunjukkan wajah kecantikan dan keburukannya dengan jelas.” Kataku sedikit kesal. Yah, aku wartawan yang tengah gamang. Mencari pelampiasan dengan memotret. Kurasa bang Tahar yang paling mengerti keadaanku sekarang. Hanya kepadanya aku bisa marah dan mengeluarkan seluruh penatku. “Yah sudah. Kau puas-puaskanlah dirimu memotret. Aku hanya bisa terus menyemangatimu. Semua putusan ada ditanganmu langit”.

Cahaya

Aku melihat hasil foto-foto senjanya. Ada dia disana. Sedang memasang figura foto. “Apa yang kau lakukan disini? Bukannya kau tidak menyukai hasil fotoku?” katanya menyapaku.“Aku sedang melihat hasil kemunafikan dari seseorang. Sesuatu yang berbeda dengan apa yang aku gambarkan selama ini. Juga berbeda dengan apa yang kau liput selama ini” Kataku sambil masih melihat foto-foto yang terpajang. “Cih.. kau mencari tau tentangku. Apa saja yang sudah kau dapatkan hah?” katanya dengan kesal. “Aku tentu harus mengetahui dengan siapa aku berbicara. Supaya titik pembicaraan ini bisa sesuai tidak keluar dari konteks.” “Ouh,, supaya kau bisa mengajarkanku tentang bagaiman hidup dengan kebahagiaan?” “Kau. Lantas kenapa kau juga mencari tahu tentangku?” kataku kesal. “Iyah, persepsi ku akan kebahagiaan berbeda denganmu. Kebahagiaan semu yang kau tuliskan itu. Bagaimana kau menjelaskan kebahagiaan untuk hari ini, besok dan kemarin. Aku rasa semua itu omong kosong”. “Kau tidak pantas untuk menjudge bukuku. Kau bahkan belum pernah membacanya. Kau pikir aku menuliskannya untuk meninabobokkan orang-orang dengan kebahagiaan?” Aku melongos pergi meninggalkan dia. Kesal. Benci. Sedih. Semua campur aduk. Hanya orang yang pernah merasakan luka yang begitu dalam yang bisa melukai orang sedalam ini.

Langit

Kemarin aku bercerita dengan Bang Tahar tentang pertemuanku dengan gadis ketus itu. Bang Tahar bertanya apa aku tidak mengenalnya. Ku jawab jujur aku tidak tau siapa gadis itu yang aku tau dia suka menggambar dan menikmati senja. Bang Tahar bercerita oanjang lebar. Ia bilang gadis itu sangat menyenangkan diajak mengobrol dan ia adalah penulis. Bukunya sangat sukses di pasaran bahkan mendapat pernghargaan sastra. Aku langsung mencari tahu. Aku pergi ke spot WIFI kapal dan menyalakan computer disana mencari tahu tentang gadis itu. Nama lengkapnya Cahaya Kusuma, ia sudah melanglang buana di duania tulis menulis karena buku berjudul “Life With Happiness;Yesterday, Today and Tomorrow” aku membaca sinopsisnya.

Aku sadar kata-kataku menyakiti perasaanya. Dan aku merasa bersalah dengan itu. Aku mencarinya tentu saja saat senja ini ia pasti ada di dek atas kapal sedang menikmati senja. Tebakanku benar. Aku kaget ia berteriak meminta tolong. Entah kenapa ia terlihat sedang berpegangan erat dengan tiang-tiang disekitar badan kapal. Ia Nampak bingung dan ketakutan.

Cahaya

Semakin hari aku semakin kesulitan untuk melihat, Semua terasa semakin gelap. Aku takut memejamkan mata. Takut kalau besok saat aku bangun aku tidak melihat cahaya apapun. Beberapa bulan yang lalu kepalaku sering pusing dan berputar-putar, mataku terasa sakit dan jarak pandangku menjadi semakin sempit. Entah kenapa. Aku merasa ada yang salah dengan mataku. Aku kesulitan melihat tulisan di layar laptopku padahal jaraknya dekat. Aku pun memerikasakan masalah pengelihatanku ke dokter.

Retinitis Pigmentosa. Dua kalimat itu meruntuhkan seluruh pertahanan tubuhku. Aku terduduk di depan pintu mobilku sepulang dari pemeriksaan bersama dokter Andre. Dokter spesialis mata terbaik di kotaku. Ia menjelaskan bagaimana penyakit itu. Itu adalah penyakit yang menyerang retina mata. Retinitis Pigmentosa mengacu pada sekumpulan kondisi medis yang ditandai dengan kerusakan secara progresif dari retina, jaringan sensitif cahaya yang melapisi bagian dalam permukaan dari bola mata.

Kerusakan pada retina menyebabkan penurunan lapang pandang secara progresif. Diawali dari pengelihatan yang buruk pada malam hari diikuti dengan penglihatan seperti terowongan (menyempit) beberapa tahun atau bisabeberpa bulan kemudian. Akan tetapi, kondisi ini selalu menyebabkan penurunan lapang pandang secara menetap, meskipun kebutaan lengkap tidak sering terjadi. Penyebab dari konisi ini adahal genetic dan diturunkan dalam keluarga. Sayangnya bagaimanapun, sekeras apapun usaha yang aku lakukan tidak dapat menyembuhkan penyakit ini. Aku hanya semakin terseret terus ke dalam pusaran hitam. Gelap. Yah, aku sedang dalam perjalanan menjemput gelap. Karenaskenario terburuk yang harus kuhadapi adalah KEBUTAAN.

Ya Tuhan bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku. Bagaimana aku bisa menulis kalau aku buta. Kenapa cobaan bertubu-tubi hadir dalam hidupku dimulai dari kenyataan aku yang ternyata hanya seorang anak angkat. Aku mencoba menerima kenyataan akan itu. Tapi mengetahui hal ini rasanya sakit sekali. Aku tau ibuku sangat menyayangiku. Ia memperlakukanku sebagaimana anak sendiri. Bealasan tahun ia menutupi rahasia besar yang kemudian membuatku tahu kenapa aku bisa memiliki penyakit ini. Ibu kandungku adalah sahabat dari ibu angkatku. Ibu kandungku ditinggal pergi oleh suaminya. Seseorang yang harusnya kupanggil ayah namun hanya dalam bayang. Ibuku ternyata terdeteksi juga mengidap penyakit itu beberapa tahun setelah melahirkanku. Dan ibuku pun menyerahkan ku pada sahabatnya, yah ibu yang sekarang merawatku. Aku bisa membayangkan betapa sulitnya bagi seorang ibu mengambil keputusan itu. Dan bisa kubayangkan bagaimana sulitnya ia harus mengasuhku. Dengan kondisi keterbatasan seperti itu, BUTA. Aku mewarisi penyakit dari ibuku.

Dalam gelap itu aku berteriak-teriak, gugup, takut. Sekarang sudah hamper malam dan aku kesulitan menemukan jalan turun ke bilik kamarku. “Apa ada orang disini. Tolong. Apa ada orang hei.” Teriakku panic. Saat itu yang bias ku ingat hanya wajah ibu angkatku dan penggalan surat dari ibuku “Maafkan ibu anakku. Tidak ada yang bisa ibu berikan padamu. Hanya penyakit dan surat ini yang bisa ibu wariskan padamu. Bukannya kebahagiaan sebagaimana anak lain semoga kau selalu ditemani cahaya dan diselimuti kebahagiaan. Tidak sendiri dalam gelap seperti ibu. Ibu meyayangimu.”

Dan seseorang yang tidak kuharapkan dating. Menyelamatkanku. Tapi harga diriku terlalu tinggi. Aku tidak ingin ia membantuku. “tidak usah melihat aku tau itu dia dari bau parfumnya yang mencolok itu. Yah hidungku memang sangat peka”

Langit

“Hei. Ada orang disini. Kamu kenapa? Sebenarnya kau sakit apa?” aku bertanya dengan lembut. aku sedikit kaget. Aku sudah berada tepat dihadapannya tapi dia seperti tidak bisa menyadari kehadiranku. “Kenapa kau belum juga mengganti parfummu yang menyengat itu. Hidungku sangat peka lah. Dengan menutup mata aku bias tahu siapa yang ada di dekatku.” sambil menghapus airmata dan membelakanginya. “Kau jangan mengalihkan pembicaraan. Aku tidak bodoh Cahaya. Aku melihat bagaimana kau kesusahan berusaha menuju tangga dek ini dan kau berteriak panik untuk mengetahui siapa orang yang berada disini.” Kataku cemas sambil berusaha memegang tangannya. “Berhenti sok tau. Dan kau jangan ikut campur Langit. Urus saja dirimu sendiri.” Kataku kasar sambil menepis tangannya yang sudah memegang lenganku.

Cahaya

Aku tidak mau ia mengetahui kenyataan ini. Aku benci. Laki-laki ini mendadak memberikan perhatiannya padaku. Aku takut menerimanya begitu saja.Hatiku goyah. Takut tidak bisa meyakinkanya kalau aku sebenarnya tidak apa-apa. Aku meang membutuhkan seseorang. Tapi, aku tidak ingin dia mempertaruhkan hatinya padaku. Karena seorang laki-laki yang pulang menjemput terang tidak pantas bersama wanita yang sedang berjalan pergi menjemput gelap ini.

To Be Continue

Referensi :

http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/retinitis-pigmentosa-_-951000103895

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun