Sekembalinya kami ke Jakarta, acara kirim-mengirim foto perjalanan Oz  lewat whatsapp grup terus berlanjut. Sebagian teman mengunggah foto-foto itu di Facebook. Sebagian kecil yang lain cukup puas dengan tayangan  fotonya lewat 'tag' teman. Saya termasuk dalam kelompok kedua ini,  senang titip dokumentasi di 'awan', mengharap foto dari teman karena tidak banyak berusaha memfoto sendiri.
Pemasok utama foto-foto kami adalah dua teman kami yang jago motret.  Tapi para fotografer amatir lainnya, meski hanya bermodal ponsel juga  punya banyak persediaan foto untuk dibagi. Dari bertukar foto kami jadi  tahu, ada beberapa tempat yang masih kurang kami jelajahi. Jumlah foto minim dari lokasi tersebut menjadi bukti. Salah satu tempat yang  hanya terekam gambar sedikit adalah Brighton beach, pantai di bagian  Selatan kota Melbourne.
Pantai cantik itu masuk ke daftar wajib kunjung kami sejak awal. Bathing  boxes/boatsheds  berbentuk rumah-rumah kecil menjadi penarik untuk  berkunjung ke pantai di teluk Phillip itu. Kami sudah membayangkan akan  berfoto di depan kotak warna-warni itu. Jadilah di hari kedua di  Melbourne kami menyewa dua taksi ukuran besar, menempuh jarak sekitar  16km dari penginapan kami.
Angin kencang menyambut kami saat turun dari kendaraan. Matahari  mengintip di langit yang berawan. Kami bergegas menuju tepi pantai. Setelah jalan yang menurun dari area parkir dapat terlihat deretan bathing boxes penuh warna dan gambar, berdiri di  sepanjang garis pantai.
Aku tak sempat menghitung, tapi dari informasi yang kubaca, di Brighton beach ada 82 buah bathing boxes. Kotak-kotak itu mulai dibangun lebih seabad  lalu. Menurut tradisi ketat masa Victoria, mandi atau berjemur di pantai dengan bikini atau busana minim  adalah hal tabu. Maka didirikanlah rumah-rumah mungil untuk menyiasati keinginan berada di pantai sambil tetap menjaga ukuran kesopanan  saat itu. Jadi bangunan itu bukan lah kamar mandi seperti arti harfiahnya. Beberapa foto yang  kulihat di internet menunjukkan kondisi terbuka bathing box. Ada kursi, meja dan beberapa perlengkapan standar untuk bersantai di pantai. Sebagian bangunan ada juga yang digunakan untuk menyimpan kapal kecil dan peralatan melaut.
Kini selain menjadi ikon pantai Brighton,  kotak-kotak itu juga menjadi status simbol para pemegang lisensi/hak pakainya.  Perlu merogoh kocek cukup dalam untuk mendapatkan lisensi itu. Di tahun 1990 harganya masih sekitar AUD 20 ribu, namun kini telah meningkat berkali lipat.  Lelang di penghujung tahun 2017 mencapai harga fantastis lebih dari AUD  300ribu untuk satu  bathing box. Jadi buat kami cukup lah berpose di depan bangunan cantik itu, berkhayal seakan menjadi salah satu pemiliknya.....
Kami tak sanggup berlama-lama di pantai itu karena angin yang terasa menembus  lapisan baju. Cuaca itu menjadi penyebab sedikitnya foto kami disana. Suhal pengemudi taksi kami menawarkan untuk mengantar ke bagian pantai lain di  teluk Phillip yang menurutnya lebih cantik. Namun membayangkan cuaca yang sama dan mengingat  masih ada beberapa tempat lain di kota yang ingin disambangi, kami urung berpindah ke pantai lain.
Tujuan selanjutnya di hari kedua itu adalah Hosier Lane, salah satu lokasi yang dikenal sebagai bagian dari Melbourne's Laneways atau gang-gang penuh mural. Kota  ini memang pandai berhias untuk menarik wisatawan. Jalan sempit di  antara gedung bertingkat disulap menjadi titik wisata dengan meminta para seniman menggambar di dinding bangunan. Cara sederhana yang pas dikemas  untuk mengundang orang datang. Membandingkan dengan Indonesia, ini mirip dengan ide simpel kampung warna Jodipan di Malang, yang kini juga ditiru di Semarang dan beberapa kota lainnya. Banyak orang datang untuk melihat area yang tertata penuh warna, apik dan resik.
Upaya menarik pengunjung terlihat dilakukan di banyak sudut kota Melbourne. Tram wisata gratis yang kami coba di hari pertama adalah salah satu contoh lainnya. Tampilan tram kuno tetap dipertahankan, begitu pula dengan jalur perjalanannya yang terasa cukup memuaskan wisatawan manca negara karena melewati titik-titik penting kota. Berjalan menyusuri sebagian tepi sungai Yarra juga terasa menyenangkan karena kebersihan dan kemudahan akses yang tersedia. Sore itu kami bertemu kelompok yang mengajak memperingati hari  Perdamaian Internasional dengan berbagai kegiatan. Ada senam, menggambar, bermusik,  pantomim hingga sesederhana berpegangan tangan membentuk rantai  kemanusiaan selingkar tepian Yarra. Semua dilakukan dengan melibatkan banyak pihak untuk mendatangkan  lebih banyak lagi orang ke kota ini.Â
Ada satu acara yang sayangnya tak sempat kami kunjungi, Tesselaar Tulip Festival! Kami baru mengetahuinya dari brosur dalam perjalanan kereta menuju Melbourne. Â Lokasi yang cukup jauh, sekitar 60 km dari kota, serta kurangnya waktu untuk mencari informasi membuat kami ragu untuk melihat kawasan penuh bunga itu. Atau memang seharusnya kami perlu lebih dulu berkunjung ke Keukenhof di Belanda, lokasi asli bunga tulip, sebelum melihat versi Australianya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H