Mohon tunggu...
Wrenges Widyastuti
Wrenges Widyastuti Mohon Tunggu... profesional -

ingin bisa terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

41 17 330 - Setelah Lulus, Mau Kerja di PU?

7 Juni 2012   11:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:17 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Setelah lulus nanti, mau kerja di PU?", itu pertanyaan seorang kenalan saat saya pamit, menjelang keberangkatan saya ke Manila di awal 2011. Menahan senyum, dengan hati-hati saya menjelaskan bahwa program Master in Development Management yang akan saya ikuti sejatinya seperti "MBA untuk bidang pembangunan sosial", jadi "Bukan pendidikan teknis membangun jalan atau jembatan", tambahku. Seorang teman juga mengirim sms, "Ngapain lu, iseng amat sih, mau jadi developer?" Saya tahu, ia hanya meledek, ia tentu tahu betul apa yang dimaksud dengan manajemen pembangunan. Mungkin ia lebih meragukan rencana saya untuk bersekolah lagi setelah lebih dua puluh tahun bekerja.

Melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi selalu menjadi mimpi sejak dulu. Saat saya lulus pendidikan Diploma 3, hal pertama yang saya inginkan adalah segera meneruskan ke jenjang S1. Meski sedikit tertunda karena berbagai hal, saya dapat menyelesaikannya. Sayang, tawaran menempuh pendidikan Master in Business Technology di Royal Melbourne Institute of Technology, terpaksa saya tolak. Saat itu saya baru saja menyetujui tawaran pekerjaan yang saya idamkan, menjadi penyelia di satu perusahaan. Tim kerja saya menyenangkan, perusahaan itu masih baru, prospeknya menjanjikan ..... Jadilah saya simpan mimpi belajar di negeri Kanguru. Saat itu seorang teman menyesalkan keputusan saya, "Come on, chance never come twice!" ujarnya. Ya, saya sadar konsekuensi keputusan itu, entah kapan lagi saya akan beroleh kesempatan yang sama.

Setelah itu berulang kali saya gagal mendapatkan tawaran beasiswa. Entah karena persiapan yang kurang serius, perhatian yang terbagi antara kantor dan keluarga, juga kondisi persaingan di antara para pemburu beasiswa yang semakin ketat. Meski demikian sesekali saya masih mengikuti tes pelengkap pendaftaran sekolah seperti TOEFL dan GMAT. Saya pun setia membaca perkembangan berita melalui milis-milis beasiswa.

Sampai akhirnya satu per satu orang di lingkungan saya, adik-adik saya mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri. Saat berangkat mereka mengatakan kalimat yang sama, "Ayo, mbak, kapan kamu sekolah lagi?" Di kantor, seringkali saya menyemangati rekan kerja untuk meneruskan pendidikan. Di rumah, asisten saya juga saya dorong untuk terus bersekolah, hingga setelah lulus D3 Tataboga, ia berhasil hijrah dari pekerjaan domestik, kini menjadi juru masak sebuah restoran di Dubai.

Beberapa hari setelah ulangtahun saya yang ke-44, secara tak sengaja saya membaca pengumuman beasiswa dari Asian Development Bank. Saya teringat, beberapa tahun sebelumnya saya pernah mencoba melamar. Tiba-tiba keinginan untuk mecoba peruntungan kembali muncul, saat saya membaca bahwa syarat penerima beasiswa berusia maksimal 45 tahun. "One last try", pikir saya. Tak ada salahnya menguji kemampuan lagi. Segera saya menghubungi perwakilan Asian Institute of Management (AIM) di Menara Imperium, Jakarta, untuk menjadwalkan tes penerimaan. Berbeda dari sebelumnya, saya memilih program manajemen pembangunan karena selama lima tahun terakhir saya berkecimpung di bidang pemberdayaan masyarakat dan pendidikan melalui lembaga swadaya masyarakat.

Soal tes yang jauh berbeda dari bayangan saya menyurutkan harapan saya untuk diterima pada program itu. Saya makin sadar, persiapan yang tidak sungguh-sungguh menjadi penyebab utama kegagalan saya mengerjakan soal-soal tes dengan baik. Jadi, agak mengejutkan bagi saya saat sepulang liburan lebaran 2010, saya menerima surat penerimaan dari sekolah. Dalam surat itu saya diminta melengkapi berkas persyaratan beasiswa.

Dua bulan setelah berkas saya kirim, saya menerima imel, bahwa saya tidak mendapatkan beasiswa yang saya inginkan. Saya lalu mencoba menghitung jumlah dana minimal yang saya perlukan, untuk kemungkinan mencari sumber dana lain. Di kala saya tengah mencari tambahan informasi, ada imel lain yang dikirim Prof. Luz, dekan pusat studi manajemen pembangunan di AIM. Beliau menyampaikan tawaran beasiswa uang kuliah! Alhamdulillaah ...... ini benar-benar kejutan yang menyenangkan.

Mas Imam dan mbak Henny, keduanya pemimpin lembaga swadaya masyarakat tempat saya bekerja, menyambut gembira kabar itu. Saya disokong dana untuk membayar uang asrama, juga untuk membeli laptop baru. Selain itu jelas saya masih memerlukan tiket pesawat dan biaya hidup 11 bulan di Manila. Dari suami tercinta, 'beasiswa' untuk kedua pengeluaran itu saya peroleh.

16 Januari 2010, saya menginjakkan kaki di Ninoy Aquino International Airport. Itu bukan perjalanan saya yang pertama ke Manila. Tetapi, berbeda dengan kunjungan singkat saya sebelumnya, kali ini saya datang bukan untuk penugasan kantor. Saya berstatus pelajar, penerima beasiswa dari Gaston Ortigaz Fund, Yayasan Nurani Dunia, Yayasan Cahaya Guru, juga 'generous-husband' foundation ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun