Mohon tunggu...
Wrenges Widyastuti
Wrenges Widyastuti Mohon Tunggu... profesional -

ingin bisa terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

41 17 330 - Budhe Mau Sekolah Lagi?

18 September 2012   07:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:18 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ardra, kemenakan saya, bertanya, "Budhe mau sekolah lagi?" celetukan lugunya membuat saya agak terhenyak. Tentu dalam bayangan si kecil Ardra, sekolah seperti yang dia jalani, sungguh merupakan hal yang 'aneh' untuk dilakukan orang seusia saya.  Tak hanya dia, seorang teman juga mengirim sms, “Ngapain lu, iseng amat sih?” (lihat tulisan sebelumnya "41 17 330 - Setelah lulus kerja di PU?").  Beberapa kenalan juga meragukan rencana saya untuk bersekolah lagi setelah lebih dua puluh tahun bekerja.

Melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi dengan beasiswa,  selalu menjadi mimpi saya. Menyadari kondisi keluarga kami, saya sengaja memilih belajar di sekolah tinggi kedinasan yang menggratiskan uang sekolah bagi para siswanya, juga memberikan kepastian lapangan pekerjaan setelah lulus.  Selanjutnya dengan berbekal ijazah Diploma 3, mulailah saya berburu kesempatan beasiswa...

Meski saya sudah memiliki nilai TOEFL, terbatasnya beasiswa ke luar negeri bagi lulusan D3 membuat saya berpikir ulang. Saya memutuskan untuk meneruskan S1 di Jakarta sambil terus bekerja, dan tak lupa terus mencari informasi mengenai beasiswa.

AMINEF, British Council, IEF, Kedutaan Jepang, India, Belanda, adalah tempat-tempat yang pernah saya sambangi untuk mendapatkan informasi tadi. Di tahun 1990 an, belum ada kemudahan mencari informasi melalui internet, kita harus datang langsung untuk mencari tahu. Saya pun sering mengumpulkan iklan koran yang memuat informasi beasiswa, sehingga saya memiliki daftar di bulan-bulan apa saja beasiswa tertentu akan ditawarkan.

Selulusnya saya dari program S1, saya mulai mengirimkan lamaran beasiswa. Tawaran beasiswa pertama datang dari AUSAID untuk kuliah S2 di Royal Melbourne Institute of Technology. Memang bukan beasiswa penuh, hanya biaya kuliah yang akan diberikan. Sayang, saat itu saya baru saja menerima tawaran pekerjaan yang saya idamkan, menjadi penyelia di satu perusahaan. Jadilah saya simpan dulu mimpi untuk sekolah lagi.

Setelah itu berulang kali saya gagal mendapatkan tawaran beasiswa. Mungkin betul juga ucapan satu teman yang menyesalkan keputusan saya menolak beasiswa uang sekolah dari AUSAID tadi, kesempatan tak datang dua kali ....

Waktu terus berlalu, usia terus bertambah, persaingan pun menjadi semakin ketat. Batas usia 35 tahun yang biasa menjadi syarat maksimum umur penerima beasiswa sudah saya lewati. Pupuslah harapan saya untuk melanjutkan sekolah dengan beasiswa.

Tiba-tiba keinginan untuk mecoba peruntungan kembali muncul saat saya membaca pengumuman beasiswa dari Asian Development Bank. Disitu disebutkan bahwa untuk program Master in Development Management (MDM), batas usia calon adalah 45 tahun. Segera saya menghubungi perwakilan Asian Institute of Management (AIM) di Menara Imperium, Jakarta, untuk menjadwalkan tes penerimaan sambil menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan. Beruntung, 'keanehan' saya untuk sesekali mengulang TOEFL atau GMAT selang 3-4 tahun, membuat saya dapat memenuhi persyaratan yang diminta.

Kejutan datang sepulang saya dari liburan lebaran 2010. Ada surat penerimaan dari sekolah yang menyatakan bahwa saya diterima dan diminta melengkapi berkas untuk beasiswa. Namun saya sadar, ada banyak calon dari Indonesia, dan ada kuota penerima bagi tiap negara. Sehingga bukan kejutan, ketika dua bulan kemudian ada imel yang memberitahukan bahwa saya tidak mendapatkan beasiswa dari ADB, tentu ada calon  yang lebih pantas menerima beasiswa itu.

Sejak tertarik dengan  program MDM di AIM, saya sudah mencoba menghitung jumlah dana minimal yang saya perlukan. Program itu sangat menarik karena diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah memiliki pengalaman kerja minimal 5 tahun. Bahkan rata-rata peserta sudah berkecimpung di bidang manajemen pembangunan selama lebih dari 10 tahun. Dalam bayangan saya, program itu akan dapat melengkapi pengetahuan yang saya miliki, dan memberi kesempatan menjalin jaringan kerja dengan rekan-rekan yang memiliki ketertarikan dan bekerja di bidang yang sama. Biaya hidup di Manila yang mirip dengan Jakarta, menjadi pertimbangan lain bagi saya dalam memilih program tadi. Dana yang saya perlukan tidak akan terlalu berbeda dengan biaya kuliah di Jakarta.

Kejutan yang sangat menyenangkan datang dari imel yang dikirim Prof. Luz, dekan pusat studi manajemen pembangunan di AIM. Beliau menyampaikan tawaran beasiswa uang kuliah dari Gaston Ortigaz Fund - kumpulan dana dari para donatur sekolah. Mendengar kabar itu, pimpinan lembaga swadaya masyarakat tempat saya bekerja, mengirimkan sejumlah dana untuk membayar uang asrama, dan membeli laptop. Masih ada lagi, suami tercinta menyanggupi untuk memberikan sejumlah uang yang dapat saya pakai untuk tiket pesawat dan keperluan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun