Mohon tunggu...
Wahid Rizalluddin Habibi
Wahid Rizalluddin Habibi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni Sekolah Tinggi di Bintaro

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sistem Keadilan Nurani Rakyat

10 Juni 2011   00:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:41 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia menganut sistem peradilan Eropa Kontinental dengan karakteristik utama adalah adanya hukum tertulis sebagai sumber hukum. Namun penerapan sistem hukum ini tidak selamanya berjalan mulus. Banyak praktek pelaksanaan hukum dipengaruhi oleh kekuasaan dan kekuatan politik penguasa. Hal ini bisa kita temui dalam kasus Bibit-Chandra yang terhenti di tengah jalan karena "nurani presiden" tersentuh. Meskipun banyak polemik terkait kasus "cicak vs buaya", tidak seharusnya presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif mengintervensi ranah kekuasaan yudikatif. Jika sistem hukum di Indonesia sudah dipengaruhi "hati nurani" sekalian saja sistem hukum dan peradilan di negeri ini dirubah menjadi sistem hukum Anglo Saxon. Sistem hukum Anglo Saxon ini menggunakan juri untuk menilai atau menghakimi seseorang bersalah atau tidak. Kemudian hakim yang berperan menentukan jenis pidana beserta tingkat hukumannya. Jadi, "hati nurani" masyarakat juga dapat mempengaruhi suatu perkara.

Bila di negara-negara common law, keberadaan juri sangat dijaga. Mereka bahkan perlu dikarantina selama proses persidangan berlangsung supaya para juri hanya menerima informasi terkait kasus yang ditanganinya dari ruang sidang saja. Namun di Indonesia yang budaya KKN sudah begitu mengakar kuat, tampaknya para juri itu hanya akan menjadi sasaran suap. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir keadilan saja bisa disuap, apalagi "hanya" para jurinya. Mengingat gerakan satu juta facebookers yang bahkan bisa "mendesak" presiden untuk mengintervensi kasus Bibit-Chandra. Tampaknya Indonesia lebih cocok menganut sistem net democracy mengingat jumlah pengguna jejaring sosial di Indonesia menyentuh angka 35 juta orang. "Nurani rakyat" bisa terwakili seandainya lembaga peradilan di Indonesia membuat jejaring sosial khusus untuk menyampaikan putusan masyarakat. Masyarakatlah yang menjadi juri dengan memberikan putusan melalui jejaring sosial khusus peradilan itu. Pada akhirnya "nurani masyarakat"lah yang menjadi penentu masa depan penegakan keadilan di negeri ini.

Ditulis oleh Wahid Rizalludiin Habibi

Alumni SMAN 1 Tuban

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun