Mas'ud bekerja sebagai buruh konveksi dengan penghasilan 40 ribu perhari. Mas'ud sering membuat buku cerita sendiri untuk anak-anaknya. Buku itu, biasanya bertemakan kesederhanaan dan kedisiplinan hidup.
"Penghasilan saya pasti tidak cukup untuk membeli buku buat anak-anak saya karena anak saya banyak," alasannya.
Saya terus terang trenyuh membaca teks tersebut. Bahwa seorang kepala keluarga dengan gaji yang kecil—bahkan tak cukup mencukupi—untuk keluarganya, dengan tetap ingin menyukupi kebutuhan buku anaknya, ia upayakan dengan menulis buku cerita untuk anaknya sendiri.
“hmm… berbanding terbalik dengan kondisi di luar sana”, ungkapku dalam hati. Ya, saya baru saja membaca berita ini dari detik.com. Dimana sepasang suami istri di daerah Pekalongan (Jawa Tengah) tengah menanti kelahiran anak ke-22 nya.
Bagi saya konten berita ini mungkin sangat menarik bagi sebuah media, dimana berita melahirkan anak ke-22 adalah ketidaklaziman yang terjadi di tengah masyarakat kita. Namun, saya hanya ingin melihat konten di akhir berita yang sangat membuat saya trenyuh.
Luar biasa Pak Mas’ud ini. Ia tetap punya tekad untuk mencerdaskan sekian banyak anak-anaknya dengan tetap membuat buku cerita anak sendiri. Yang lebih luar biasa lagi, isi cerita dalam buku yang dibuatnya itu berisi tentang kesederhanaan, dan disiplin hidup.
Sebuah refleksi hidup yang cukup berharga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H