Pada hari ke enam #15HariCeritaEnergi, aku telah menuliskan tentang BBA (Bahan Bakar Alam). Pada cerita tersebut aku membahas tentang bienergi, perbedaan antara biodiesel dan bioethanol. Nah, hari ini aku mau membahas lagi mengenai bioenergi namun yang berasal dari sampah. Sampah adalah produk akhir dari aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia dan merupakan material tak terpakai. Sampah menjadi masalah yang sering kita temui baik di perkotaan maupun di pedesaan.Â
Sampah organik merupakan sampah yang tersusun dari bahan-bahan yang dapat terurai (degradable) seperti sisa makanan, sayuran, bahkan minyak bekas penggorengan (minyak jelantah). Penanganan sampah organik masih belum optimal dalam pemanfaatannya, padahal potensi sampah sangatlah besar. Salah satu cara untuk mengatasi sampah yaitu memanfaatkannya menjadi biofuel. Sampah yang akan dibahas adalah sampah jagung dan sampah minyak jelantah. Sampah jagung dapat dikonversi menjadi bioetanol dan  minyak jelantah bisa dikonversi menjadi biodiesel.
Sampah Jagung
Seperti yang telah dibahas beberapa hari yang lalu, tumbuhan yang berpotensial untuk menghasilkan bioetanol adalah tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung dan jerami. Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioetanol. Biomassa batang jagung merupakan sampah yang sejauh ini masih belum banyak dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai tambah (added value). Batang jagung mengandung lignoselulosa sangat dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi bioetanol karena memiliki kandungan selulosa yang cukup banyak. Komponen lignoselulosa merupakan sumber utama untuk menghasilkan produk bernilai seperti gula dari hasil fermentasi, bahan kimia, bahan bakar cair, sumber karbon dan bioenergi tentunya. Berbagai produk nilai tambah dari limbah lignoselulosa diantaranya adalah untuk pupuk organik, bioetanol, biogas, biodiesel dan industri kimia.
Menurut hasil penelitian, sebanyak 11,7 kg tepung jagung dapat dikonversi menjadi 7 liter bioetanol. Produksi bioetanol yang menggunakan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses biokonversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) yang larut dalam air. Glukosa dapat dibuat dari pati-patian dengan proses hidrolisis dengan menggunakan asam (misalnya asam sulfat), kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi etanol dengan menambahkan yeast atau ragi (Fitriana, 2009).
Untuk memurnian etanol dilakukan dengan dua tahap, yaitu pemurnian dengan destilasi hingga konsentrasi 95,6 % etanol serta dehidrasi etanol untuk mendapatkan etanol murni. Pemurnian etanol tidak dapat dilakukan hanya dengan satu tahap (destilasi sederhana) karena etanol dan air membentuk campuran azerotrop (Kusuma dan Dwiatmoko, 2009). Prinsip dasar kerja alat destilasi ini yaitu pemisahan yang didasarkan pada perbedaan titik didih atau titik cair dari masing-masing zat penyusun dari campuran homogen. Dalam proses destilasi terdapat dua tahap proses yaitu tahap penguapan dan dilanjutkan dengan tahap pengembangan kembali uap menjadi cair atau padatan.
Limbah Minyak Goreng
Limbah minyak goreng (minyak jelantah) dihasilkan dalam jumlah besar baik oleh industri pangan maupun rumah tangga. Anjuran pemakaian minyak goreng maksimal empat kali, namun beberapa masyarakat menggunakan minyak goreng lebih dari empat kali. Â Minyak goreng bekas bersifat karsinogenik, di mana apabila dimanfaatkan untuk penggorengan akan menimbulkan bahaya kanker bagi yang mengkonsumsinya. Penanganan limbah ini belum banyak dilakukan.Â
Salah satu pemanfaatan minyak goreng bekas untuk mengatasi limbah dan meningkatkan nilai tambah adalah dengan mengolahnya menjadi biodiesel karena minyak jelantah memiliki kandungan energi pembakaran relatif tinggi. Minyak jelantah seperti halnya minyak tumbuhan pada umumnya, memiliki kandungan kalor pembakaran tinggi. Masalah utama penggunaan minyak tumbuhan secara umum termasuk minyak jelantah sebagai pengganti minyak mineral seperti solar adalah sifat-sifat fisikokimia terutama viskositas dan titik bakarnya yang lebih tinggi dari pada minyak solar.Â
Dua sifat minyak jelantah tersebut perlu diturunkan agar cocok menjadi bahan bakar. Viskositas minyak tumbuhan rata-rata sepuluh kali viskositas minyak solar, sementara titik bakarnya rata-rata empat kalinya. Titik bakar minyak tumbuhan pada umumnya diatas 200 oC (Bockisch, 1993), sementara untuk minyak solar berkisar sekitar 60 oC. Titik bakar yang jauh lebih tinggi ini perlu diturunkan agar sesuai dan cocok untuk digunakan sebagai bahan bakar. Â
Proses pembuatan biodiesel dari minyak jelantah diawali dengan mereaksikan minyak jelantah dengan metanol pada suhu 50 oC menggunakan katalisator NaOH disertai pengadukan. Reaksi tersebut merupakan reaksi transesterifikasi dengan katalis basa. Hasil reaksi ini berupa ester dalam bentuk cairan dan gliserin dalam bentuk padatan. Kedua materi ini selanjutnya dipisahkan secara gravitasi dalam tangki sedimentasi. Prinsip dasar dari reaksi transesterifikasi adalah mereaksikan minyak dengan alkohol sehingga akan terpecah menjadi molekul yang lebih kecil. Perubahan rantai panjang minyak jelantah menjadi molekul lebih kecil berupa ester menghasilkan produk dengan sifat-sifat fisikokimia mendekati minyak solar atau biodiesel. Biodiesel hasil pemisahan selanjutnya ditampung dan dikeringkan dengan cara memanaskannya pada suhu 60 oC disertai pengadukan selama satu jam hingga kadar air bisa turun. Biodiesel hasil pengeringan merupakan biodiesel yang telah murni.