Memiliki seorang teman selagi kecil hingga saat ini masih selalu berhubungan adalah sebuah keuntungan. Dia tahu siapa kita luar dalam. Kalau saya hitung-hitung sampai saat ini kami sudah membina persahabatan 35 tahun lebih. Dia memiliki keunikan.
Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, pemikir serius, sewaktu muda katakanlah masa sekolah SMP plus masa SMA pasukan putih abu-abu tampangnya katrok banget, kampung pol. Berangkat dari keluarga sangat sederhana (baca :miskin), tinggal di rumah kontrakan yang terus menerus berpindah. Hampir dikatakan enggak ada yang menarik dari penampilannya. Kelebihannya dia agak pinter dikit, rajin baca di bawah lampu sentir, sehingga dia belor, berkacamata.
Sebagai mana manusia seumurannya waktu itu usia (SMP-SMA) di masa puber tersebut dia pun pernah naksir lawan jenisnya.
Banyak wanita yang cantik, banyak wanita yang menawan membuat hati sahabat saya itu tertambat. Dia naksir para gadis idamannya itu ada 10 kali, ada 10 gadis. Dan dengan keberaniannya dia “pop the question” ke banyak cewek itu, sudah nembak 10 kali ke para gadis itu, dan dia di tolak 11 kali. Lebih banyak ditolak dan tak ada satupun yang berhasil digaetnya.
Saat ini, waktu berjalan, sukses menghampiri dirinya. Beberapa kali pulang kampung halaman, yang terbanyak adalah menyempatkan reuni temen SMP atau SMAnya dulu. Beberapa gebetan masa lalunya, kembang hatinya masa lalu, para alumni hatinya, yang sekarang usianya di sekitar ujung 40an tahun, ada lah yang mulai filtering, berakrab-akrab dengan sahabat saya ini.
Kemudian komentarnya dalam hati waktu itu (yang ia ceritakan ke saya) jiaheluh, kenapa enggak dulu-dulu ndeketin ginih. Salah juga kamu sih, tidak bisa baca tanda zaman dulu-dulu. Kalau dulu kamu bisa membaca tanda-tanda zaman, pastilah aku di sampingmu sekarang.
Di sisi lain, istrinya saat ini kalau sahabat bisa lihat, yah.. sangat terawat, masih seperti wanita berusia 30-an. Catatan, untuk urusan dunia wanita ini memang khusus, harus dibahas di waktu khusus. Karena memang “merawat” itu hasilnya jangka panjang dan sayangnya biaya merawat itu jangka pendek. Sulit-sulit gampang me-maintainnya.
Masih dalam hati sahabat saya berkata, makanya kalau melihat pria bukan seberapa ganteng dia saat ini, bukan seberapa pintar, bukan seberapa sukses, tetapi lihatlah seberapa “tough” dia. Kegigihan lah yang menentukan masa depan seseorang menjadi lebih baik.
Tanda-tanda zaman adalah kemampuan wanita melihat kegigihan pria. Agilitynya, mental toughness nya, semangat membaranya.
Bukan dari pandainya dia bicara membual dan merayu, bukan dari atletis tubuhnya, bukan dari rapih dan wangi sabun mandinya. Sekali lagi lihat dari kemampuan mantulnya ketika jatuh, dari tetap senyumnya ketika lelah, dan dari sempatnya memberi perhatiannya walau hidup berkekurangan.
Nah, sekarang kita baru masuk ke bisnis. Karena dari gambaran di atas lah saya ingin sahabat menjadi seperti pria yang mapan, yang gigih tadi. Seperti sahabat saya ini. Apa arti kegigihan itu? Bagaimana sih menjadi tetap “gracefull under presure”, apakah anda “crack” di bawah tekanan atau anda malah fight abis-abisan? Ketika “shit happened” dalam kehidupan anda. Apa yang anda lakukan?
Pikiran saya ketika menulis ini ke flash back di awal tahun 2000an. Dimana salah satu periode hidup saya juga jatuh, crash down. Berantakan. Maka yang saya lakukan kala itu adalah, mencari proyek.
Mencari pekerjaan atau bekerja tidak mungkin membalikan keadaan dengan cepatitu pendapat saya. Masalahnya saya minus, berhutang dan dikejar kewajiban.
Berusaha, berwirausaha, ya merintih dan tertatih karena yang membuat saya bangkrut karena berwirausaha, mana aja pegawai bangkrut yang ada hanya "jobless". dunia ngak runtuh-runtuh amat.
Karena berwirausaha (kondisi saya saat itu). Modal habis, aset habis, hutang menumpuk, kewajiban jalan terus tak berkurang. Terus.. wirausahanya di apakan?
Ya fokus di usaha tadi hanya kita tidak berinvestasi. Untuk menghidupi organisasi staff, enggak usah tahu masalah kita. Enggak semua orang kuat dan bertahan di kala susah. Pegawai bagus yang percaya diri akan memilih mencari karir baru. Yang tersisa hanya 2 type. Yang pecundang karena tidak bisa di terima dimana-mana. Atau yang loyal. Dia mungkin bukan terburuk dan pasti bukan terbaik, yang biasa saja, tapi dia loyal.
Dalam peristiwa saya, seperti dugaan. Yang pinter ya keluar. Yang loyal bertahan dan yang pecundang saya keluarkan. Dan urusan dapur, saya cari utang-an saya cari proyek namun kita tidak berinvestasi.
Tiap hari jalan keluar rumah dari pagi sampai malam , silaturahmi kesana kemari. Dan saya selalu “looks succes”. baju rapih, sepatu kinclong dan banyak bertanya, banyak mendengar. Ini adalah sebuah ilmu yang saya dapat dari mentor saya orang hongkong bernama Brian wong. Orang yang galak, demanding, asshole pol.
Kala itu saya kerja di sebuah bank devisa, di tahun 1991, gajih pertama saya Rp 350.000. dan sampai saat ini saya masih pajang slip gajih tersebut. Saya juga selalu ingat gajih pertama saya tersebut dipakai untuk apa. Karena hal itu ditanyakan oleh Brian. What you gonna di with your first salary?
Saya tabung? Saya jawab dengan setengah pede.. bullshit!! katanya lagi, I dont trust you. Saya bilang kemudian, saya traktir temen-temen dan keluarga. Yang dijawab olehnya, stop this none sense!, you spend on that for what? Apa yang saya akan dapat dengan mentraktir orang-orang? Rasa hormat? Kebanggaan. Belum pantes luh! Itu kata-kata keras dari nya.
Semua orang succes itu ‘delay gratitute' menunda kesenangan. Kata Brian berapi-api, jadi saran saya, buy the best suit. Invest on your “looks”!. Jadisaya di sarankan untuk “mendandani” penampilan saya. Beli busana kantor terbaik. Brian melanjutkan, beli yang bermerk, beli yang “in fasHion”. Beli yang mahal. Habiskan seluruh pendapatan kamu untuk “looks succes”. Kamu toh masih tinggal di rumah keluarga bukan, masih bisa makan bukan? Itu kalimat atasan saya yang demanding.
Dan tahu apa yang dilakukan? Dia menemani saya belanja. Shopping for style. Kepaksa banget saya yang santai dan informil di paksa rapih dan formal. Masuk ke outlet, beli satu baju, uang saya habis. Satu baju, pakai chufling manset 2 pair. Uang sebulan gajih musnah.
Bulan berikutnya dipepet lagi saya, beli celana dan sabuk. Lalu gone, uang saya musnah. Bulan berikutnya, samapai 5 bulan kalau tidak salah. Kami ke armani, ferogamo, dan jas ke hugo boss.
Karena gajih saya habis saya harus gerak mendapatkan ekstra income, yaitu dengan komisi. Jadi di sela kerjaan rutin di divisi treasury nyambi juga dengan jualan deposito. Divisi ini memberikan komisi yang lumayan, 025% dari setoran. Keluar di bulan ke 2 setelah buka rekening deposito.
Apa yang terjadi 6 bulan setelah saya kerja. Orang kalau lihat saya yang gayanya seperti manajer madya sebuah bank asing. "A man with very sharplooks with shining shoes", duh belagu deh pokoknya. Bayangin aja, single,dan ‘looks success'. Sekali lagi saya ulangi menulisnya. "Looks success". Hanya tampangnya doang yang sukses. Kitanya mah kantongnya masih tipis. Dompet hanya buat ganjel pantat doang. Biar empukan dikit kalau duduk di bangku keras.
Tapi mungkin ini juga yang membuat saya ada kemudahan mendapatkan klien deposito tadi ya. Habis yang dateng klimis kinyis-kinyis gitu, hahaha. Atau lain lagi, yang buka rekening deposito kasihan sama saya yang sudah susah susah bergaya sukses, berdrama sukses di depan dia dan dia hargai lah drama saya. Ini anak sebenernya tong kosong, gayanya doang terlihat sukses. Ya udah kasihan, masuk sedikit deh buka deposito sama dia. Paling begitu perasaan mereka ya.
Jadi “moral lesson” yang saya mau lanjutkan ceritanya adalah, saya tetap“looks success” bergaya sukses di tahun 2000 an di kala “shit happen” dalam kehidupan saya. Kemana-mana selalu rapih datang ke kantor teman. Bawa teman yang punya mobil mewah sebagai gandengan ketika menuju suatu tempat. Saya biasa membawa teman saya yang kecil si kancil yang saya tulis di awal.
Dia tahu niat saya. Jadi ketika “mencari” proyek dengan bertandang kebanyak tempat saya terlihat meyakinkan (dengan bawa dia dan mobil kerennya). Sulit loh berlagak sukses di kala tekanan bertubi-tubi. Dan saya belajar banyak dari peristiwa tersebut. Banyak belajar untuk tetap “grace under preasure” karena sekali kita gentar orang di hadapan kita terasa.
Urusan ini, saya belajar dari teman saya si kancil itu. Dia mahir sekali memerankan hal ini. dia gigih, dia sabar, dia pendengar yang baik, dia lucu,dia santun. walaupun dulu di terlihat kerempeng, katrok, (yang samapi sekarang juga begitu) tapi vibrasi yang diberikan nya, positif banget. karena itu dia sukses benaran. Dalam proses saya, dia mentori saya terus di setiap “porspecting”. Yang ternyata berbuah dengan baik.
Pelajarannya yang saya dapat adalah, mata kita, wajah kita, kata-kata kitatidak boleh ada keluhan, tidak boleh ada getaran minus. Pertahankan getaran semangat, pertahankan getaran polos, netral, dan beri kesan anda adalah solusi. Enggak gampang, tidak nyaman, namun drama tersebut harus di mainkan. Peran tersebut harus dengan sepenuh hati di jalankan.
Looks success itu membawa sukses... dan success Its a part of a life. # may peace be upon us
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H