Terbayang dan terhitung hari yang terlalui bersama. Di kala waktu telah mendewasakan diri dengan prosesnya, begitupun setiap pikiran dan rasa. Betapa liciknya hati terlebih licik lagi pikiran yang tak pernah bisa menerima kenyataan hidup. Berharap sesuai keinginan namun tak mampu. Bahkan tuk atur sang waktu pun tak punya kuasa. Apa yang menjadi keuntungan untuk sebuah pengajaran yang tak mengedepankan pemikiran yang cerdas didasari sikap kerendahan hati. Bukan kesombongan diri dan ego yang menganggap orang lain salah sementara diri sendiri pembenaran atas kejadian yang t’lah lalu. Dampak yang tercipta mampu tuk racuni pikiran dari telinga yang mendengar. Apa salah anak manusia yang masih belum pahami isi hidup hingga mampu ‘tuk kau racuni dengan kata, sikap dan laku mu tuk mampu umbarkan benci terhadap objek melalui makna yang tersirat..? bukankah kita diajar untuk saling berdamai dan mengampuni..? terlalu naif, hingga dia pun menjadi korban dari racunmu yang telah mengental pada setiap jaringan tubuhnya. Puas, mungkin terbalaskan batin yang lama merana karna ego dan arogan yang telah membara dalam jiwamu. Kini semak yang kau tanam tak lagi mampu ‘tuk bukakan sinar baru baginya, ‘tuk terangi jiwa dan asanya yang kian meredup lama. Hingga dia pun menjadi kian sama sepertimu dan lakumu. Selubungkan keteguhan yang sarat kar’na ego dan sakit hati untuk pembelaan terhadapmu dan dia, dan atas apa yang terjadi. Seolah tak mampu tuk terima kenyatan dan menolak takdir, pengaruh racunmu pun telah menjalar.
Darah dan dagingmu mengalir dan terbagi, namun tak mampu tuk rasakan pancaran keutuhan kasihmu. Hingga, sebagai manusia yang hidup karna anugerah, aku hanya mampu ‘tuk bersyukur dan belajar ‘tuk rendahkan hati atas segala yang telah terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H