"Ya ampun, enak banget, udah dihalalin, dapat mobil fortuner lagi"  gumam teman sekantorku yang terkejut dengan mahar di sebuah pernikahan. Ya, belakangan ini sebuah pernikahan yang berlangsung di Pati Jawa Tengah mendadak viral. Bukan karena perempuan desa menikah dengan bule, bukan juga dengan artis ternama, melainkan viral lantaran mahar yang diberikan mempelai laki-laki untuk calon istrinya berupa mobil fortuner.
Masyakarat kita yang kagetan dan ngumunan ini tentu langsung kepo dan mencari tahu pasangan pengantin ini. Dari profil keluarga, pekerjaan si pengantin pria hingga keistimewaan pengantin putri lantaran mendapatkan mahar berupa mobil fortuner.
Masyarakat kita biasa menilai dengan hal-hal bersifat materiil. Sehingga mobil fortuner dinilai barang mewah nan fantastis. Tak heran, jika acara pernikahan menjadi ajang pamer kekayaan, dari pesta meriah, mahar, make up, hidangan, mahar, seserahan dan segala printilan lainnya yang tak luput  jadi gunjingan tetangga. Padahal hal itu tidak mendefinisikan keutuhan cinta dalam kehidupan.
Meski zaman sudah millenial, di beberapa daerah di Indonesia juga kerap meminta mahar pernikahan dengan jumlah yang fantasitis. Sehingga yang terjadi, pernikahan bukan diukur karena cinta melainkan karena harta.
Masih banyak lho terjadi pernikahan yang dipaksakan oleh orangtua , terutama anak perempuan yang kerap menjadi korban. Biasanya, laki-laki yang mampu memiliki harta sesuai kemauan calon mertua, itulah yang bisa mendapatkan anak gadisnya. Apakah gadis itu suka atau tidak, orangtua acuh yang penting mendapat uang dan seolah harta mampu membawa kebahagiaan. Â Seolah-olah perempuan seperti barang yang bisa dijual belikan. Kasarnya nih, orangtua sebagai penjual sementara laki-laki adalah pembelinya.
Saya jadi teringat kisah Rosul yang memberikan mahar kepada istri-istrinya sebesar 500 dirham, atau jika dikonversikan dengan mata uang rupiah saat ini berkisar 40an juta rupiah. Rosul melakukan itu lantaran beliau merasa mampu untuk memberikan.
Meski demikian, apa yang dikerjakan rosul belum tentu menjadi kewajiban, bisa sunnah, mubah, makruh bahkan haram, tergantung situasi dan kondisi. Perlu digarisbawahi bahwa Rosul juga pernah menikahkan seseong dengan mahar sandal, baju besi, dan hafalan Al-Qur'an.
Rosul mengatakan bahwa perempuan paling baik adalah perempuan yang paling murah maharnya. Hal ini tidak berarti bahwa perempuan itu murah ataupun murahan, tapi lebih memaknai bahwa mahar adalah bentuk pemberian dan penerimaan. Pemberian tentu yang terbaik sesuai kemampuan, dan pemerimaan dengan segala keikhlasan. Itupun yang menentukan si mempelai perempuan, bukan orangtuanya.
Lantas mengapa masyarakat kita berpikir bahwa mahar yang mewah adalah bentuk kehormatan? Bukankah  bentuk cinta kasih tulus lebih utama? Selayaknya adat-adat seperti ini perlu ditinggalkan. Sejatinya manusia terlebih perempuan bukanlah barang yang diperdagangkan.
Akibatnya, jika perempuan seolah telah dijual dan laki-laki merasa memiliki, Â saya khawatir, laki-laki semacam ini pasti tidak pernah layak memperlakukan perempuan. Ia akan memperbudak istrinya, tidak mau berbagi peran, tidak menghargai perempuan dan tidak saling mengisi kehidupan.