Hari pencoblosan telah usai, lembaga survei telah merilis sejumlah hasil quick count. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mendeklarasikan diri sebagai partai anak muda diprediksi tidak lolos ambang batas alias Parliamentary threshold sehingga para calegnya tidak bisa duduk di Senayan alias menjadi DPR RI. Hal tersebut lantaran sejumlah lembaga survei menyebut bahwa suara PSI tidak mencapai 4 persen.
Partai yang diketuai Grace Natalie itu hanya mendapatkan 2 persen suara atau sekitar 3 juta suara dari seluruh masyarakat Indonesia. Meski demikian, PSI mengeklaim bahwa di tingkat DPRD, ada beberapa calegnya yang lolos di DKI Jakarta. PSI mengaku bangga bahwa partainya termasuk partai keempat terbesar di Jakarta.
Grace Natalie mengaku tidak merasa gagal. Saat konferensi pers dirinya  mengatakan ikut bahagia lantaran pasangan capres cawapres nomor urut 01, Jokowi-Ma'ruf Amin dinyatakan unggul versi quick count oleh beberapa lembaga survei. Dalam konferensi persnya, PSI mengaku kalah dikontestasi pileg.
"Kami mengaku kalah dan tidak lolos ambang batas, namun saya tidak akan gebrak-gebrak meja." Ujar Grace Natalie.
Pernyataan Grace Natalie saat konferensi pers tampak begitu legowo dan bijaksana. Namun saat Grace mengatakan tidak akan gebrak-gebrak meja semakin memantapkan citra PSI yakni 'Partai Sindir Oposisi'.
Saya akan memulai  menulis analisis saya berdasarkan pengamatan selama 1 tahun  melihat perkembangan partai politik, khususnya PSI.  PSI hadir di tengah kekosongan anak muda yang terjun di dunia politik. PSI memberikan penyegaran politik tanah air. PSI sebagai partai baru yang diisi anak muda, pemilihan calegnya begitu transparan. Saya sangat antusias dengan gebrakan ini.
PSI membranding dirinya sebagai partai millenial, partai anak muda. PSI bisa menjadi influencer agar anak muda melek akan politik. Saat PSI mengumumkan program-program andalannya, yakni tolak poligami, menghapuskan kolom agama di KTP, tolak perda syariah, dan lawan intoleransi, saya yang mendengarnya langsung drop. Kenapa? Karena itu tidak menjawab kebutuhan anak muda.
Pertama soal isu poligami. Sebagai partai anak muda, isu poligami tidak menyentuh grassroot. Karena anak muda sebagian besar tidak berkonsentrasi terkait isu tersebut. Anak millenial yang rata-rata berusia 17 tahun sampai 27 tahun, belum merasakan betapa poligami itu menjadi momok di kehidupannya. Bisa jadi sebagian anak muda memiliki pengalaman orangtuanya berpoligami, tapi itu tidak semua anak muda.
Kebutuhan anak muda yakni pendidikan, pekerjaan, hidup mapan, dan soal cinta-cintaan terselesaikan. Seharusnya program yang diusung PSI yakni tolak nikah dini. Tak hanya itu, PSI akan membuat aplikasi curhat pasca patah hati untuk mengurangi tingkat depresi, membuat aturan melarang SMA mengadakan seminar tentang nikah untuk mengurangi pernikahan dini agar anak muda bisa mengejar cita-cita dan mengembangkan bakatnya. Nah program seperti itu yang seharusnya ditawarkan PSI.
Kedua soal perda syariah. Program PSI ini cukup membuat geger wilayah-wilayah di Indonesia yang menggunakan perda syariah. PSI bermaksud ingin menghapuskan diskriminasi. Namun, program itu justru membuat riuh hingga menimbulkan pro-kontra. Sebagai partai yang berskala nasional seharusnya mempertimbangkan bahwa sasaran pemilih partai tersebut secara nasional. Namun sayangnya, jualan program menghapus perda syariah tidak dirasakan anak muda se Indonesia karena tidak semua provinsi memiliki perda syariah. Misalnya kalau diganti dengan membuat aturan bahwa pemerintah wajib memberi subsidi kuota setiap bulan, wuuih, dijamin anak muda langsung nyoblos karena menjawab kebutuhan millenial berskala nasional.
Ketiga soal intoleransi. Kasus intoleransi menjadi kasus paling sensitif semenjak pemilihan gubernur DKI Jakarta. Namun sayangnya, permasalahan itu tidak dialami di semua penjuru negeri ini. Misalnya masyarakat yang tinggal di pedesaan, tidak mengalami hal itu. Mereka tetap hidup rukun, bergotong royong, damai dan tenang. Lha wong makan minta tetangga aja hal yang biasa.