[caption id="" align="alignnone" width="543" caption="Ilustrasi worldoftinotagadine.com"][/caption] Rombongan pendemo mahasiswa sebuah perguruan tinggi siang itu menyampaikan apa yang menjadi keprihatinan mereka dengan melakukan long march dari kampus tempat para mahasiswa itu belajar ke DPRD dan Balaikota Surabaya. Satu tujuan mereka: mendorong agar alumni mereka yang kini menjadi SBY-1 alias Walikota Surabaya, Tri Rismaharini tidak mundur dari jabatannya. Pengecut. Itulah titel yang dialamatkan kepada Risma jika ia mundur dari jabatannya saat ini. Sebuah label yang bisa membuat orang yang disematkannya naik darah. Begitulah selalu mahasiswa. Omong lantang, keras, pikir kemudian. Mahasiswa mungkin benar. Apapun alasannya, seorang pejabat mesti menuntaskan apa yang menjadi kewajibannya, meskipun dalam kondisi lain, lebih sering pejabat diminta lengser sebelum waktunya paripurna. Tapi Risma hanyalah manusia. Seorang istri dari Djoko Saptoadji, Ibu dua orang anak, yang bisa saja sangat gundah, sangat tertekan dan putus asa. Kepada siapa dia mengadu? Seolah semua pintu tertutup untuk keluh-kesahnya. Jadilah tangisnya meledak saat ia mengadu kepada media. Dalam sebuah tayangan di televisi, Risma bahkan berkali-kali tak bisa berkata-kata. Hanya lelehan air mata yang deras mengalir dari matanya yang memerah. Betapa apa yang menyesaki dadanya terendap sekian lama. Tercatat sejak tahun pertama Risma menjabat, dirinya telah hendak menyudahi langkahnya. Sebuah penantian yang amat panjang, dan hari-harinya hanya bisa menanti untuk diempaskan. Risma hanya manusia biasa. Ibu rumah tangga yang biasa. Bukan politisi dan tak hendak menjadi politisi. Dia tak paham lainnya, kecuali bekerja. Menuntaskan satu-satu masalah yang menjadi tanggungannya. Amanatnya kepada siapa yang telah menjadikan dirinya disumpah di bawah ayat suci. Risma tidak paham bahwa begitu banyak kepentingan dari apa yang seharusnya dia kerjakan, yaitu menjadi abdi bagi masyarakat. Itu saja. Meski bagi sebagian orang, Risma seharusnya menjadi abdi buat kepentingan-kepentingan, bukan kepada masyarakat. Perseteruannya dengan berbagai pihak adalah sebuah keniscayaan dari aksinya merampas ladang kenikmatan maksiat para bedebah. Mereka yang merasa bahwa kekuasaan adalah tujuan, dan kepentingan diri adalah yang utama, meski harus diraih dengan berbagai cara. Membolak-balikkan fakta, memutar-mutar keadaan. Kawan jadi lawan, pun begitu sebaliknya. Tapi Risma tak peduli. Ia bahkan memberangus surga kemaksiatan, Gang Dolly, yang sekian paruh waktu menjadi simbol kota itu. Ia tak peduli. "Relakan jika saya mati karena menutup Gang Dolly" pamitnya kepada keluarga, sebagaimana curhatnya pada Najwa Shihab, seorang yang mempunyai panggung layar kaca bernama, Mata Najwa. Risma tak lantas binasa atas keputusannya. Tapi selalu saja seperti ada kekuatan yang mencoba untuk selalu membuatnya ingin menyerah. Melempar handuk dan terjerembab. Meninggalkan jabatannya kini, dan kembali tenggelam pada kesibukannya sebagai Ibu dari buah hatinya. Isteri dari suami yang dinikahinya sejak lama. Sungguh, Risma ingin sekali melakukannya. Ia ingin sekali tak peduli pada apa pun. Tapi Risma tidak bisa. Bukan karena ia bakal dikatakan pengecut oleh almamaternya. Tapi karena tak ada yang rela kehilangan dia. "Save Risma, save Risma", begitu apa yang kemudian membahana seantero kota, di pelosok-pelosok pasar yang becek, di jalan-jalan yang padat, dan taman-taman yang rindang, hingga di ruang maya yang maha luas. "Save Risma, save Risma", gaungnya menyesaki udara Surabaya, bahkan Indonesia. Tapi Risma adalah Risma. Ia bukan siapa-siapa, dan tak hendak menjadi siapa-siapa. Hanya menjadi pelayan yang baik baik warganya, sebagaimana Umar Bin Khattab yang melayani ummatnya. Begitu selalu ujarnya. [worldoftinotagadine]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H