Mohon tunggu...
wood street
wood street Mohon Tunggu... Akuntan - From Neverland

Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mertuaku

14 Mei 2023   05:42 Diperbarui: 14 Mei 2023   05:48 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mertuaku pembohong ! Dia menelpon Om Dji, adiknya, agar sudi merawatnya. Alasannya aku sedang sangat kesulitan keuangan.
 " Walau itu bohong, maksudku baik. Aku tak mau merepotkanmu lagi. "
" Tapi itu mempermalukanku."
" Tak usah malu. Dulu aku yang biayai sekolah Om Dji, " ujar mertuaku bangga. " Sekarang Om Dji sudah kaya. "
" Jadi ayah ingin Om Dji balas budi ? Ayah ingin hidup enak ? " tanyaku dengan nada meninggi.
"Kalau aku ingin hidup enak wajar saja. Tapi siapa yang minta balas budi ?  "
" Tadi ayah bicara itu. "
" Ngawur. Kapan aku bicara seperti itu ? " Matanya menatapku tajam.
" Demi Tuhan ayah tak bicara ? " tanyaku menantang.
" Demi Tuhan ! " jawabnya mantap.
Aku tersenyum sinis.
" Dengan Tuhan saja, ayah tak takut. Ayah hanya takut jika tak minum obat kan ? "
Wajah mertuaku tampak mulai galau.
Sejak parkinson ( penyakit gangguan syaraf motorik )  menyerang otaknya, hidup mertuaku sangat tergantung pada obat.  
***
Tanpa diduga Om Dji datang.
" Mas, ingin tinggal denganku ? Ayo ! Aku jamin Mas akan sembuh," ucap Om Dji dengan pongah.
" Sembuh ? Secara medis hanya mukjizat yang bisa sembuhkannya, " gerutuku..
Tapi dengan setengah berbisik, Om Dji menasehatiku agar sabar merawat kakaknya.
" Semoga membawa berkah, " ucapnya seperti orang tua yang bijak.
" Ambil saja berkah itu untuk Om, " umpatku dalam hati.
Kini, jika aku bertengkar dengan mertuaku, maka dia akan berkoar, " Sudah ! Aku ingin ikut Om Dji saja. "
" Om Dji hanya basa-basi."
" Tidak mungkin, aku kenal siapa adikkku. Kamu tahu apa tentang Om Dji !"
Tanganku gatal, ingin memplester mulutnya yang besar.
***
Walau pembohong, mertuaku justru menuduhku pembohong.
Dia menuduhku menilep uang kiriman dari Romi, kakak istriku.
Suatu ketika, Romi datang. Kontan, mertuaku langsung menagih uang kiriman yang pernah dijanjikannya. Romi langsung berjanji mengirim uang ke rekeningku. Tak hanya itu, Romi bahkan mempertontonkan slip gajinya lalu berkicau kekayaannnya yang membengkak.
Mertuaku tersenyum cerah.
Setelah Romi pulang, aku langsung mengolok, " Apa mungkin beli obat pakai slip gaji ? "
" Kamu iri dengan anakku. Contohlah dia jika ingin sukses, " balas mertuaku dengan bersungut.
" Anak durhaka jadi contoh. Berapa tahun Romi, telantarkan ayah. Datang hanya beri uang satu juta saja, " ucapku kesal.
Tapi kekesalanku justru makin meledak. Karena seminggu kemudian mertuaku menagih uang kiriman Romi.
" Tak ada, " jawabku ketus.
" Romi pasti kirim. Dia sudah kaya. Gajinya 80 juta per bulan. "
" Ayahnya pembohong. Anaknya juga pembohong.  Mana bisa Romi kirim uang. Dia tak tahu nomor rekeningku. Aku yakin itu slip gaji palsu."
" Cek dulu di rekeningmu baru bicara. Jangan asal tuduh."
" Buat apa !"
 " Pokoknya uang itu ada di rekeningmu. "
" Jadi, ayah menuduhku berbohong! "
Aku tarik tangan mertuaku. Kuseret dia ke kamar tidur.
" Tidur sana ! " bentakku.
***
Aku suka mengolok mertuaku. Sebab dia selalu merasa dirinya orang hebat.
Kupanggil dia, Pak Direktur.
Mertuaku dulu seorang direktur. Jabatan itu disandangnya pada usia 30-an. Entah bagaimana ceritanya, seorang anak desa yang hanya sekolah STM bisa  sesukses itu. Aku sama sekali tak tertarik mendengar kisah sukses itu. Padahal dia selalu ingin menceritakannya.
Mertuaku suka bercerita masa kejayaannya dulu. Mulai  cerita tiga mobilnya yang tak muat di garasi. Hingga cerita tentang video yang dimilikinya, saat orang sekampung belum ada yang punya.
" Tetangga berbondong-bondong datang ingin menonton, " ujarnya sambil menunjuk video dan kasetnya yang masih disimpan rapi oleh istriku.
Berbeda dengan ayahnya. Istriku justru selalu teringat masa kejatuhan keluarganya. Perusahaan ayahnya bangkrut. Ibunya sakit kanker, lantas meninggal dunia. Beberapa tahun kemudian parkinson menyerang ayahnya.
" Saat itu aku dan kakakku masih sekolah. Hidup seolah tak ada harapan. Apalagi saudara menjauh semua, " kisah istriku pilu.
Istriku pernah menceritakan kepongahan ayahnya. Kerap membagi berbungkus-bungkus rokok pada tetangga. Meminjamkan uang pada teman-temannya tapi tak pernah ada yang kembali. Hingga gonta-ganti mobil.
Maka saat kesal, aku lagi-lagi mengolok mertuaku.
" Muda hura-hura. Tua sengsara. Mati masuk neraka, ha..ha. "
Istriku hanya terdiam. Sebab hanya aku yang bersedia memandikan dan membuang isi pispot ayahnya setiap hari.
Dulu setelah menikah, aku pernah minta mertuaku menjual rumah untuk biaya hidupnya. Dengan begitu dia bisa tinggal dirumahku didampingi seorang perawat.
Tapi dia tak mau. Sialnya, istriku juga.
" Rumah yang penuh kenangan. Kita beli saja, " pinta istriku penuh harap.
Aku mengalah. Penghasilan pas-pasan, dua anak  yang masih kecil dan berbagai cicilan, membuat kami tak sanggup bayar perawat. Bahkan kami sering gonta-ganti pembantu karena tak tahan dengan kecerewetan mertuaku.
Kini kondisi mertuaku memburuk. Hampir tiap tengah malam aku terpaksa bangun, karena suara mertuaku yang kerap memanggil-manggil. Akibatnya aku sering mengantuk di kantor. Target kerjaku tak tercapai. Atasanku marah-marah. Aku tumpahkan kemarahan pada mertuaku. Pertengkaran pun pecah karena dia tak pernah merasa ikut bersalah.
***
Jika tiap kami bertengkar, pemenangnya mendapat hadiah payung, pasti aku punya koleksi ribuan   payung.
Apapun bisa kami pertengkarkan. Dari hal keuangan hingga soal air putih.
" Banyak minum air putih bikin gemuk, " jelas mertuaku.
" Ngawur ! " teriakku dengan desibel tinggi.
Sebab aku menyarankan istriku minum air putih yang banyak agar berat tubuhnya turun.
Tapi seperti biasa mertuaku ngotot dengan pendapatnya. Pertengkaran meledak. Aku yang bertahun-tahun jengah kelakuan mertuaku, lantas ungkit-ungkit semua ucapan dan tingkah lakunya yang menjengkelkan.
Sudah pasti, mertuaku tak mau kalah.
" Ini rumahku. Terserah aku. "
Istriku ikut terpancing.
" Rumah ini atas namaku. Aku sudah bertahun-tahun rawat ayah. Suamiku sudah beri Romi uang pembagian rumah ini. Apa itu belum cukup ? "
Mulai kalah suara, mertuaku ambil jurus ampuh. Bangkit dari kursi roda dan tertatih-tatih menuju kamar tidur. Seperti hujan, pertengkaran kami reda dengan sendirinya.
***
Aku tak pernah bisa memahami mengapa orang tua yang satu ini begitu menjengkelkan. Tapi semua saudara mertuaku justru benarkan tingkah lakunya.
" Wajar, sudah tua dan sakit. Pasti rewel dan menjengkelkan. "
Begitu ringannya mereka berkomentar.
Jangankan aku, anakku sulung saja jengkel dengan ulahnya.
" Bapak, Eyang ini minta tolong terus. Minta makan terus, " keluh si sulung dengan mimik lucu. Ia lantas mendekap toples makanan kecil erat-erat. Takut mertuaku menyikat isi toples hingga tak tersisa.
Mertuaku walau kurus, suka jajanan. Tapi dia rewel  soal makan.
Saat kondisinya sedang memburuk dan harus makan bubur, aku punya ide mengerjainya.
Aku belikan mertuaku kikil kesukaannya. Dia langsung bersemangat makan. Walau   menguyah sekuat tenaga, tetap saja dia gagal.
" Aku belikan sate ayam saja ya, " tawarku seolah penuh perhatian.
Tapi lagi-lagi dia gagal menelan potongan daging lezat itu.
" Ayah ingin makan apa ? " tanyaku dengan lembut walau hatiku penuh duri.
Dia lantas minta pecel. Setelah kembali gagal, dia minta roti goreng. Tapi tetap saja mulutnya tak sanggup mengunyah.
Mertuaku pandangi deretan makanan itu dengan wajah merana.
Aku ceritakan hal ini pada istriku sambil tertawa terbahak-bahak.
" Sudah tua. Harusnya banyak berdoa, malah rewel soal makanan. Pantas dihukum Tuhan. "
" Lama-lama kupikir yang sakit syaraf bukan saja ayahku Tapi juga suamiku, " ucap istriku dengan wajah sinis.
***
Istriku benar, bertahun tahu bertengkar dengan mertuaku, membuat syarafku sakit. Aku pun mulai berlajar menahan emosiku. Hingga akhirnya di satu tengah malam aku terbangun. Teringat sikap kasarku pada mertuaku. Pelan-pelan aku tengok kamarnya. Kupandangi tulang pipinya yang menonjol. Dahinya penuh kerutan. Yang menyedihkan,  kelopak mata dan mulutnya terbuka. Napasnya terengah-engah. Persis orang meregang nyawa. Tapi aku yakin dia sedang tertidur. Karena sudah dua bulan aku melihat kondisi mertuaku seperti ini.

Heningnya malam, munculkan rasa ibaku. Aku selimuti dia.
Mertuaku tersadar. Tangannya gemetaran. Matanya yang lelah menatapku penuh harap. Aku pegang tangannya. Dia  menggenggamku erat. Tak ada suara dari mulutnya yang tetap terbuka.  Sesaat kemudian mertuaku kembali tidur.
***
Teriakkan istriku bagai gemuruh di pagi hari. Aku berlari menghampiri.
" Ayah sudah meninggal dunia, " ucapnya dengan serak.
Aku pandangi wajah mertuaku. Kelopak mata dan mulutnya sudah menutup. Wajahnya tampak tenang.
Rasanya dia tak mati masuk neraka seperti olokanku.
***
Semingggu setelah kepergian mertuaku, aku menatap rindu kursi rodanya. Tak ada lagi tubuh kurus yang harus kumandikan. Tak ada pispot bau yang harus kubersihkan.
" Bapak dan Eyang kok diam saja. Tidak ribut seperti biasanya. "
Suara si bungsu sadarkanku.
" Eyang sudah tidak ada, " ucapku lirih sambil mengelus-elus rambut si bungsu. Aku coba tersenyum walau mataku memerah. Kurasakan ada ruang kosong sunyi dalam hatiku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun