Hari ini, (20/09/16) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban Belanja Tahun 2015 dan semester I Tahun 2016 pada Kementerian Desa, Pembangunan dan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) untuk provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Jawa Timur. Pemeriksaan tersebut di fokuskan kepada evaluasi Pendamping Desa Kemendes yang di laksanakan akhir tahun 2015 dan pertengahan tahun 2016 dengan menitikberatkan proses seleksi sampai dengan proses fasilitasi pendamping yang ada di desa.
Seperti yang telah di ketahui bersama, bahwasanya rekrutmen Pendamping Desa yang dilakukan oleh Kemendesa PDTT kental beraroma politik dan nepotisme. PKB melalui Menteri Desa (saat itu di jabat oleh Marwan Jafar selaku pengurus PKB) memiliki kepentingan politis untuk memasukan kader-kader PKB dan organisasi yang berafiliasi dengan PKB di seluruh Indonesia. Tujuannya jelas, yaitu mengamankan kantung-kantung suara PKB untuk Pemilu 2019. Dengan mengendalikan pendamping desa se Indonesia, PKB akan mendapatkan akselerasi politik yang signifikan.
Sebelumnya juga telah beredar informasi, tentang pertemuan Seknas Kemendes menyikapi permintaan World Bank (WB) untuk melakukan evaluasi menyeluruh Pendamping Desa. Berdasarkan informasi yang di kumpulkan, bahwa WB bersama BPK akan melakukan spotcheck untuk mengevalusai keseluruhan pendamping desa (TA, PD, PLD) terkait kualifikasi dan persyaratan berkas Curriculum Vitae. Bila terdapat ketidaksesuaian kualifikasi, maka World Bank akan meminta Kemendesa untuk memutus kontrak pendamping tersebut.
Audit sebagai justifikasi Kemendes
Pemerintah Desa, pegiat desa, masyarakat desa dan publik, saat ini sedang mengarahkan tatapannya kepada BPK untuk mengetahui sejauh mana kewenangan, kekuasaan, dan “keberanian” BPK dalam membongkar praktek busuk rekrutmen Pendamping Desa oleh Kemendesa PDTT.
Fakta membuktikan di lapangan, bahwa mayoritas Pemerintah Desa dan Masyarakat tidak puas dengan kinerja Pendamping Desa yang tidak kompeten. Banyak Kepala Desa mengeluh tentang Pendamping Desa, karena sebagian besar yang menjadi titipan PKB tidak memiliki latar belakang pemberdayaan dan pendampingan desa sebelumnya. Sehingga tidak aneh, muncul anekdot “Desa mendampingi dan memberdayakan Pendamping Desa”. Hal ini muncul di sebabkan adanya fenomena Pendamping Desa dan Perangkatnya malah lebih paham tentang UU Desa dan regulasi di bawahnya daripada Pendamping itu sendiri.
Kemendesa sejak Kementrian itu pertama kali terbentuk, sudah menjadi rahasia umum di kenal licin dan pandai bersilat lidah untuk menangkis kecurangan Pendamping Desa. Beberapa kali Menteri Desa saat itu, Marwan Jafar, selalu berkelit dan menangkis adanya dugaan politisasi pendamping desa. Meskipun fakta-fakta yang di temukan di lapangan sudah tidak terhitung lagi banyaknya. Bukti-bukti kecurangan rekrutmen pendamping desa telah juga di kirimkan ke Komisi V DPR RI dan World Bank.
Namun, serapat-rapatnya kebusukan itu di tutupi, maka aromanya akan tercium juga. Saat ini, BPK RI sedang menjalankan tugasnya untuk melakukan audit menyeluruh tentang pendamping desa. Meskipun langkah BPK sangat perlu apresiasi dan diberi dukungan, namun suara minor yang menganalisa tentang adanya kongkalikong Kemendesa dengan BPK perlu juga menjadi perhatian. Hal ini belajar dari pengalaman Dirjen Perbendaharaan Kementrian Keuangan yang menyampaikan tentang Penundaan Honor Pendamping Desa di karenakan persyaratan yang belum di penuhi oleh Kemendesa. Di duga kuat, hal ini terkait dengan DIPA IBRD Nomor 8217-ID untuk National Program for Community Empowerment in Rural Area (PNPM Rural 2012-2015) perihal pembayaran Pendamping Desa yang masih menggunakan nama Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan. Namun selanjutnya, tanggal 15 September 2016, Dirjen Perbendaharaan Kementrrian Keuangan mencabut melalui surat nomor S-7758/PB/2016 perihal Pencabutan Penundaan Pembayaran Gaji/Honor Fasilitator Proyek PNPM Perdesaan 2012-2015. Seperti yang telah di ketahui bersama, Program PNPM Mandiri Perdesaan telah di akhiri dan tidak di lanjutkan oleh Kemendesa.
Untuk itu, BPK yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang di lindungi oleh UU, menarik di tunggu untuk dapat memaksimalkan kewenangannya untuk membongkar carut-marut pendamping desa dan adanya potensi penyalahgunaan anggaran Negara oleh Kemendesa.
Karena bila tidak demikian dan hanya jadi pembenaran administratif saja, maka yakinlah bahwa nasib Negara dan Desa sedang di lecehkan dan di gadaikan dengan harga murah. []
WongNdeso, 20-09-2016