Dalam sistem demokrasi Pancasila yang di terapkan di Negara kita ini, tidak boleh ada lagi institusi yang bersikap otoriter dengan mengabaikan aspirasi-aspirasi dari masyarakat. Seyogyanya para abdi negara itu mulai belajar untuk menjunjung azas sebagai pelayan masyarakat bukan sebagai boss yang memandang masyarakat sebagai subjek terapan birokrasinya.Â
Bahkan pun, dalam sebuah sistem pemerintahan yang di ikat dengan sebuah sistem hirarkis. Seorang kepala SKPD umpamanya sudah tidak relevan lagi bila masih memiliki mental untuk di layani. Penyakit birokrasi yang lamban dan berbelit-belit, sudah usang zamannya dan harus segera berganti dengan manajemen responsif dan efektif progresif.Â
Presiden Jokowi, dalam banyak kesempatan selalu menyampaikan dan mewanti-wanti kepada para Menterinya tentang pentingnya profesionalitas birokrasi, tentang bagaimana menyerap aspirasi masyarakat. Bapak Presiden juga mendorong terwujudnya good governance dengan memangkas regulasi yang tumpang tindih dan tidak produktif. Memberi contoh dalam menyelesaikan problem-problem kenegaraan ini dengan cara yang santun dan duduk bersama. Bukan melalui security approach seperti zaman Orba dahulu.Â
Maka, sangat aneh dan kontradiktif apabila ada sebuah Kementerian yang seolah-olah jumawa. dengan mengabaikan berbagai macam masukan dari para stakeholder di Daerah dan Pusat. Puluhan dukungan Gubernur, Bupati, DPR RI, DPD, Mensesneg bahkan masukan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait diskriminasi pendamping desa, di anggap Kemendesa PDTT sebagai angin lalu. Kemendesa PDTT melalui Dirjen PPMD seakan menulikan diri dari berbagai macam masukan tersebut.Â
Apakah itu artinya, Kemendesa PDTT tidak menganggap eksistensi Gubernur, Bupati sebagai orang yang paling bertanggungjawab lancarnya pembangunan dan pemberdayaan desa di daerah mereka? Apakah hal tersebut bisa di tarik kesimpulan Kemendesa PDTT mbalelo terhadap atasannya yaitu pak Wapres? Apakah bisa di terjemahkan pula, Pak Menteri Desa tidak menganggap penting surat dari Mensesneg? Apakah artinya Kemendesa PDTT akan membentuk Satker baru di provinsi, karena mayoritas PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) juga menentang kebijakan diskriminatif Kemendesa tersebut?Â
Kalau, kita saat ini hidup di jaman Mpu Gandring dan Ray Pikatan, lazim dan lumrah apabila yang menjadi panglimanya adalah mantunya, yang jadi kepala tanah-tanah perdikan adalah saudaranya, yang menjabat sebagai telik sandi adalah dari sepupunya atau siapapun yang memiliki jalur koneksitas lingkungan dalam Istana. Dalam zaman kerajaan, kroniisme adalah suatu hal yang tidak dapat di pisahkan dan menjadi sebuah keniscayaan, karena sesungguhnya sistem kerajaan adalah membangun trah dan mempertahan kesukuannya.
Namun akan menjadi tragedi sejarah, apabila sebuah kementerian di Negara Republik Indonesia ini, di era Informasi teknologi mutakhir sekarang masih saja menggunakan cara-cara dan metode yang mengedepankan asas kepentingan golongan dan parpolnya, memupuk subur tanaman nepotisme dan kroniisme, sembari menyingkirkan orang-orang yang bukan dari dalam lingkarannya.Â
Pantasnya bila itu yang terjadi, baiknya kita usulkan Kementerian tersebut untuk di rubah nomenklaturnya menjadi Kerajaan. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H