Mohon tunggu...
joe de sastro
joe de sastro Mohon Tunggu... -

Penggemar bola, heavy metal, tertarik dg masalah lingkungan, perkotaan, budaya dan lain lain..

Selanjutnya

Tutup

Nature

Perlukah Ibukota RI Dipindahkan?

18 November 2010   12:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:30 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Akhir-akhir ini kondisi Jakarta makin tak nyaman, mulai dari genangan
air dimana-mana jika turun hujan sampai macet nya lalu lintas  di tiap
ruas jalan di ibukota. Kenyamanan berkendara menjadi terganggu,
aktifitas rutin menjadi kacau, pulang kerja pun jadi larut malam.
Gara-gara banjir dan macet ini juga, aktifitas ekonomi menjadi tak
lancar dan pelaku bisnis sampai rugi trilyunan rupiah. Akhirnya banyak
wacana mengenai pemindahan ibukota RI ini. Semudah itukah memboyong
pusat pemerintahan yang sudah puluhan tahun berada di kota Jakarta ini?

Banjir dan macet telah menjadi momok bagi warga Jakarta. Banyak faktor
yang menyebabkan Jakarta menjadi parah seperti sekarang ini. Mulai dari
regulasi kendaraan bermotor yang sangat mudah, pendirian bangunan, dan
alih fungsi lahan. Tentu nya yang paling disalahkan dalam kekisruhan ini
adalah pemerintah, karena mereka yang bikin peraturan.

Penyebab tersendat nya jalan di ibukota adalah tidak adanya transportasi
massal yang nyaman dan aman, sehingga banyak dari mereka lebih memilih
menggunakan kendaraan pribadi. Pantas saja pada jam tertentu, kendaraan
terlihat begitu numpuk. Sementara ini sudah ada fasilitas Busway, tapi
keberadaan masih menimbulkan polemik, mulai dari pengadaan bus nya yang
seret sehingga menyebabkan ada sebagian koridor yang belum difungsikan,
juga sering terlambat sampai tujuan. Pada koridor tertentu malah
mengakibatkan macet, karena masih tumpang tindih dengan rute angkutan
lain. Coba misalnya Busway sudah ada sejak awal 90an, mungkin cerita nya
akan lain. Jadi jangan salahkan kalo warga lebih senang menggunakan
kendaraan pribadi.

Kemudian juga faktor alih fungsi kawasan dan lahan. Kawasan di Jakarta
banyak yang berubah fungsi, sehingga tak jelas yang mana kawasan
pemukiman, mana perkantoran dan mana yang kawasan bisnis. Semua nya
tumpang tindih. Kawasan yang seperti Inilah yang mengakibatkan bertumpuk
nya kendaraan di kawasan tersebut, terutama pada jam-jam sibuk. Contoh
konkrit adalah sekitar jembatan Semanggi, dulu sebelum ada Plaza
Semanggi, kawasan di situ lancar-lancar saja, tapi sekarang bisa
dirasakan sendiri bagaimana keadaan di situ, terutama di jalan Gatot
Subroto yang dari arah barat. Apalagi sekarang makin banyak bermunculan
Mall dan pusat perbelanjaan di lain kawasan, makin lengkap sudah daerah
yang dilanda macet, bisa jadi sudah nge- “link” kemacetan nya.

Seiring dengan laju nya pertumbuhan penduduk, kebutuhan perumahan dan
infrastruktur lainnya makin meningkat, mau tak mau telah menghabiskan
ruang terbuka bagi Jakarta. Alih fungsi lahan terbuka yang tidak melalui
studi menyeluruh turut andil dalam “penggenangan” Jakarta. Rawa-rawa
diurug, kemudian siap dibangun gedung, perumahan, mall, jalan tol,
sehingga resapan air pun berkurang. Sekarang baru tahu rasa, bagaimana
rasanya mobil dan motor terendam, celana dan rok mesti dinaikkan. Adanya
BKT (Banjir Kanal Timur) maupun revitalisasi BKB (Banjir Kanal barat)
menurut saya tak banyak menolong mengatasi banjir. BKT dan BKB perlu
perawatan, sedangkan resapan alami tak perlu perawatan. BKT 5 atau 10
tahun lagi perlu dikeruk untuk mengambil material hasil sedimentasi.
Jika tidak, di kemudian hari banjir besar seperti tahun 2005 bakal
terjadi lagi. Apalagi cuaca sekarang jauh lebih ekstrem, bisa jadi
banjir yang terjadi nanti nya jauh lebih besar daripada tahun 2005.

Jika sudah begini, pindah ibukota adalah solusi yang dinilai paling
gampang. Pemerintah tinggal siapkan dana yang tentunya tak sedikit.
Tetapi yang menjadi masalah adalah, disamping mempertimbangkan masalah
ekonomi dan politik, bila sudah pindah nanti mampukah kita mengelola
ibukota dengan baik? Kalau pengelolaan kota masih seperti Jakarta
sekarang, jangan harap kita mempunyai sebuah ibukota idaman.

Sebelum pindah, disamping perlu perencanaan kota yang matang, perlu
dibenahi juga mental aparat kota. Lalu benahi juga perangkat hukum yang
dapat melindungi tatanan kota. Jangan sampai tatanan kota dikangkangi
dengan dalih percepatan ekonomi atau yang lainnya. Jangan sampai kota
dijadikan tambang fulus oleh aparat, tetapi dengan cara yang tidak
elegan yaitu dengan merubah Rencana Tata Ruang dengan seenak “udel e
dhewe”. Mental beginian tidak hanya di ibukota, tapi di seluruh kota di
Indonesia. Jika tidak dibenahi juga kelakuan beliau-beliau ini, ibukota
yang baru nanti nya dalam 10 sampai 15 tahun ke depan bisa jadi tak
ubahnya Jakarta episode 2.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun