Mohon tunggu...
wong Jateng
wong Jateng Mohon Tunggu... -

Saya wong Jateng

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Komisi DPRD Jateng Ilegal!

30 Oktober 2014   02:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:13 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Senin (20/10/2014), DPRD Jawa Tengah menggelar rapat paripurna pengesahan Tata tertib DPRD Jawa Tengah. Paripurna yang dihadiri langsung oleh Gubernur Jawa Tengah GP tersebut berjalan lancar dan seolah tidak ada polemik yang terjadi. Bahkan berkali-kali RS (PDIP) sebagai pimpinan rapat menyampaikan bahwa semangat kebersamaan di DPRD Jateng terjaga baik. Buktinya tidak ada satupun pasal yang ditetapkan dengan voting.

Lega rasanya, dari atas balkon DPRD saya bergumam alangkah indahnya wakil rakyatku ini. Iklim jakarta sama sekali tidak berpengaruh di Jawa Tengah, rukun, adem ayem serta penuh kekeluargaan.

Angin berbalik arah sangat cepat, suasana itu begitu kontras dengan paripurna Rabu (22/10/2014), dengan agenda penempatan anggota DPRD ke dalam Komisi sekaligus pemilihan pimpinan komisi. Miris, paripurna itu berubah menjadi ajang adu argumentasi antar dua kepentingan yang mengarah pada pertengkaran yang jauh dari suasana kerukunan. Puncaknya 3 fraksi WO yakni Golkar, PAN dan Gerindra. Sedangkan PKS sejak lobi pimpinan tak satupun anggotanya yang kembali ke ruang rapat Paripurna. Malah yang mengejutkan publik, secara mendadak Ketua Fraksi PKS HS diganti akibat ontran-ontran ini.

Menurut serakan informasi yang saya himpun dari balkon DPRD, ini sebenarnya sudah bermula dari pembahasan tata tertib. Saat paripurna Senin sebelumnya, ternyata ada “permainan” sempurna oleh seluruh anggota DPRD. Mereka menipu masyarakat Jateng. Bara itu ternyata ada di dalam sekam.

Dalam rapat pansus tarik menarik ternyata terjadi begitu kuat. PAN yang beranggotakan 8 orang meminta jatah anggota badan anggaran sama dengan fraksi yang lain, meskipun akhirnya bisa diambil jalan tengah. PDIP pasang kuda-kuda, khawatir cuma “dikerjai” seperti di Jakarta, mereka mengusulkan pengaturan anggota tiap komisi kaku dengan jumlah 19. Ini strategi PDIP untuk mengunci pimpinan komisi sesuai dengan kepentingannya.

Alot memang, tapi akhirnya “ide gila” PDIP ini berhasil dipaksakan dalam Tatib. Kenapa saya menyebut gila, diatas balkon DPRD kami rasakan ini satu-satunya tatib se-Indonesia yang mengatur secara kaku komisi dengan menyebutkan setiap fraksi penempatan komisinya.

Pasal 62, ayat (3) DPRD membentuk 5 (lima) komisi dengan jumlah anggota setiap komisi sebanyak 19 ( sembilan belas) orang dengan komposisi :

- Komisi A : PDIP 6 orang, PKB 2 orang, Gerindra 2 orang, golkar 1 orang, PKS 2 orang, PD 2 orang, PPP 2 orang, PAN 2 orang

- Komisi B : PDIP 6 orang, PKB 3 orang, Gerindra 2 Orang, Golkar 2 orang, PKS 2 orang, Demokrat 2 orang, PPP 1 orang, PAN 1 orang.

- Komisi C : PDIP 6 orang, PKB 3 orang, Gerindra 2 Orang, Golkar 2 orang, PKS 1 orang, Demokrat 2 orang, PPP 1 orang, PAN 2 orang...dan seterusnya sampai komisi E.

Pasal ini sempat diprotes oleh Demokrat dan PKS karena alasan mereka partai sudah membuat keputusan tentang penempatan anggotanya di tiap komisi. Rencana Demokrat sendiri akan menempatkan anggotanya di komisi A sebanyak 1 orang dan yang lainnya 2 orang di B,C,D, dan E. Berbeda dengan bunyi dalam naskah tatib Demokrat dikomisi D sebanyak 1 orang, selebihnya A,B,C, dan E masing-masing 2 orang.

JP otak rencana pengamanan PDIP ini berkali-kali mengatakan, “Dikatakan komisi jika jumlahnya 19. Jika 16 atau 17 TIDAK SAH. Jika 20 atau 21 juga TIDAK SAH”

Selain itu komposisinya harus sama sesuai tatib. Masing-masing partai harus menyesuaikan, tidak boleh saling tukar.

Menurut saya ide-nya cerdas namun dipenuhi nafsu untuk menguasai. Tiap komisi PDIP dan PKB pasti akan menempatkan 8 atau 9 anggotanya, jadi jika terjadi pemilihan mereka hanya butuh tambahan 1 atau 2 orang saja untuk menang. Isu santer yang saya dapat dari penelisikan langsung di ruang fraksi PPP, MS  PPP telah berhasil memboyong fraksinya ke koalisi PDIP dan PKB sehingga tiap-tiap komisi jumlahnya 10 orang.  Sehingga muluslah strategi penguasaan itu disusun oleh PDIP.

Namun di balkon kami bergumam, ini awal keruwetan yang akan terjadi. Bagaimana tidak, jika sebuah komisi itu kurang satu saja anggotanya dari 19  orang sebagaimana tatib, maka  TIDAK BISA disebut komisi.

Nampaknya, PAN, Golkar, PKS dan Gerindra baru menyadari diakhir-akhir waktu.  Entah karena tidak menghitung atau belum sadar kalau PPP sudah membuat ikut kesepakatan “bumi hangus”.

Karena waktu yang mepet dan sudah tidak ada pintu negosiasi dari PDIP  yang sudah merasa menang, maka PAN, Gerindra, PKS dan Golkar tidak mengirimkan nama-namanya dialat kelengkapan DPRD. Sehingga pada saat dibacakan di paripurna tanggal 22 Oktober tersebut hanya PDIP, PKB, Demokrat dan PPP yang mengirimkan nama-nama ke dalam alat kelengkapan DPRD.

Walhasil, tiap-tiap komisi hanya berisi Komisi A sebanyak 12 orang, Komisi B sejumlah 12 orang, Komisi C 12 Orang, Komisi D 11 orang, dan komisi E 12 orang.

Kami yang menyaksikan drama ini dari atas Balkon hanya bergumam “Modar iki, DPRD tersandera oleh tatib-nya sendiri.”

Paripurna bolehlah dianggap sah, karena qourum untuk pengambilan keputusan rapat internal hanya 50 % + 1. Bahkan saat paripurna dibuka seluruh fraksi hadir. Namun substansi dari komisi-komisi dengan jumlah HARUS 19 orang dan TERDIRI DARI FRAKSI-FRAKSI sesuai tatib pastilah TIDAK DAPAT DIPENUHI.

Sah tidaknya sangat bisa didebatkan. Disisi politis pasti akan mengatakan terus jalan saja. Namun dari pandangan hukum yakinkah ini tidak akan berpengaruh terhadap masalah keabsahan komisi dan nanti implikasinya terhadap penggunaan anggaran komisi-komisi?

DPR RI saja tidak berani melanjutkan sebelum syarat pengusulan 6 fraksi untuk pimpinan komisi itu dipenuhi karena aspek kehati-hatian. Namun DPRD Propinsi Jawa Tengah ternyata lebih BERANI atau NEKAD.

Mereka yang memilih bermain-main diatas regulasi yang sangat kasar dan ngawur, biarlah menuai akibatnya sendiri. Akhirnya DEADLOCK menjadi sebuah keniscayaan. Dan lagi-lagi rakyat yang mereka wakili kembali menjadi korban.

Pengalaman regulasi yang menjerat DPRD sendiri ternyata tidak cukup jadi pelajaran bagi mereka. (Catatan fraksi Balkon DPRD Propinsi jelang maghrib)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun