Mohon tunggu...
Wong HK
Wong HK Mohon Tunggu... Nulis -

Wong HK

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesian Domestic Helpers Vs FLP Writers

10 November 2013   08:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sungguh melegakan bercampur rasa exciting tatkala memasuki gedung Hong Kong Arts Centre. Ada beberapa alasan, yaitu (1) Mendapatkan sejuknya AC setelah berjalan terburu-buru di tengah sengatan mentari Hong Kong di siang bolong; (2) Seumur-umur baru pertama kali memasuki gedung seni, bahkan di Jakarta pun tak pernah, so exiting sekali!; (3) Akan bertemu para penulis novel yang aslinya bekerja sebagai Domestic Helpers, tentunya saya berharap akan menemukan banyak cerita pada sesi diskusi; (4) Tanpa disangka tanpa dinyana, bertemu dengan supervisor yang juga akan menghadiri acara yang sama (ternyata beliau telah mengirimkan SMS beberapa saat sebelumnya, namun baru ketahuan dan terbaca setelah acara usai...#tepokjidat#); (5) Ruangan full dan hampir sebagiannya adalah bukan orang Indonesia; (6) Ternyata acaranya sangat menarik, walaupun sedikit tidak menarik pada saat panelis dari KJRI berbicara dan tampak terlalu normatif dan standar (#sigh#); (7) Pembacaan cerpen sangat menarik dan emosional pada beberapa bagian...so touchy!!

Anyway, saat pertama memasuki gedung HK Arts Centre terlihat (sepertinya) beberapa BMI berkerudung berjalan menuruni tangga. Tampak dua orang asing yang sedang berbicara di depan sebuah ruangan yang disampingnya tertulis McAulay Studio. Saya pikir kami telah berada di tempat yang benar dan berniat memasuki ruangan, namun ternyata petugas yang berada di depan pintu ruangan tersebut mengatakan bahwa acara Panel Domestic Helpers berada di lantai bawah. Kami (saya dan seorang teman) menuruni tangga yang setelah tiba diujungnya terlihat banyak orang yang menumpuk menunggu pintu ruangan dibuka. Di depan ujung tangga juga terdapat satu bentangan meja panjang yang di atasnya terdapat beberapa tumpukan buku dari beberapa penulis. Saya melihat sang teman ‘memanjangkan lehernya’ seperti sedang mencari sesuatu. Setelah saya tanya, ternyata dia mencari buku-buku dari panelis Indonesia yang akan tampil. Sama sekali tidak ada, semuanya berbahasa Inggris dan tidak satupun terdapat nama penulis yang berbau Indonesia. Namun pada sisi sebelah kanan, terdapat juga satu meja panjang. Terlihat kedua meja mengapit sebuah pintu masuk. Sepertinya itu adalah pintu masuk ruangan untuk panel Indonesia.

Suasana koridor bertambah sesak sementara pintu ruangan baru akan dibuka beberapa saat lagi. Beberapa bule masih sabar menanti di tengah kerumunan beberapa perempuan berjilbab yang sepertinya adalah para BMI lain yang juga penulis buku. Setelah menanti sekitar 15 menit, pintu ruangan dibuka dan pengunjung memasuki ruangan satu-per satu. Saya dan si teman bule memasuki ruangan dengan sebelumnya harus menunjukkan kartu mahasiswa (kami mendapatkan potongan 50% dari harga tiket HKD 60 karena membeli dengan status student). Ruangan tidak terlalu luas. Bangku tersusun persegi 4 dengan 7 kursi panelis pada salah satu sisi di bagian depan ruangan sebagai pusatnya. Sedangkan tiga bagian lainnya adalah deretan kursi biru sebanyak 7 shaf memanjang dengan tiap-tiap shaf terdiri dari (sekitar) 10 kursi (jika katanya kualitas lebih utama dibandingkan kuantitas, mohon maaf jika saya keliru menghitung jumlah bangku...hehe). Ruangan cukup nyaman dengan kualitas audio yang sangat memadai sehingga menyenangkan saya yang terbiasa merekam diskusi (seperti yang selalu saya lakukan, baik di kelas maupun di sesi supervisi) dimana saya terdapat didalamnya. Mengambil kursi paling depan yang menghadap langsung ke 7 panelis, saya duduk di antara supervisor dan si teman. Awalnya ga nyaman (seakan-akan diapit dua orang fans....hehe), namun selanjutnya tidak merasakan apa-apa lagi karena terhipnotis oleh 3 cerita pendek yang mengalir dari masing-masing mulut penulis.

Kesan pertama sungguh penasaran dan sekaligus kagum saat mendengar cerita-cerita yang mengalir; begitu terbuka, vulgar dan kritis. Bahkan terdapat beberapa bagian yang sangat realistis dari kehidupan mereka. Ya....semua cerita adalah refleksi dari keseharian para BMI di Hong Kong, walaupun seperti yang diakui Yuli (salah satu penulis) bahwa cerita yang dia tulis adalah pengalaman seorang teman BMI, dan bukan pengalaman pribadinya sendiri. Posisi Yuli dalam cerita yang ditulisnya adalah sebagai orang ketiga di antara seorang majikan dan BMI. Yuli menggunakan ENGKAU yang mengacu pada pemeran utama cerita (BMI) dan DIA yang menunjukkan kata ganti majikan sang teman. Inti ceritanya adalah pengaktualisasian diri ENGKAU melalui tarian tradisional yang dicintainya yang kemudian menjadi motivasinya untuk bersuara dan menuntut DIA agar memberikan hak-hak ENGKAU yang telah diabaikan oleh DIA; seperti underpayment/upah di bawah standar, libur hari minggu dan makanan yang layak. Ketiga isu ini merupakan isu sentral yang dihadapi oleh para BMI di Hong Kong. Biasanya hal ini terjadi pada para BMI yang masih begitu takut-takut terhadap majikan (banyak alasan dibalik ketakutan tersebut tentunya). Seperti yang dinyatakan oleh seorang teman BMI saya, Yana, pada suatu kesempatan diskusi pertengahan Oktober yang lalu di Warung Blitar, Causeway Bay Centre:

'saya terbuka dan berani bersuara terhadap majikan, sehingga majikan saya tahu bagaimana memperlakukan saya. Terutama yang berhubungan dengan ibadah (sholat) dan makanan (yang halal). Syukurlah majikan saya orangnya baik dan mengerti saya, jadi ya aman-aman saja' (Yana, 2013).

Beberapa teman BMI lain yang saya temui juga memiliki suara yang sama seperti Yana, bahwa mereka tidak mengalami kesulitan berarti karena mereka mendapatkan majikan yang pengertian dan cukup baik. Saya meyakini bahwa mereka tidak memberi cerita yang detail bagaimana perlakuan majikan sekeluarga terhadap mereka sehari-hari. Pada beberapa bagian dari kehidupan mereka, tentu saja terdapat sisi sedih dan perih yang sering kali sulit untuk diungkapkan kepada orang lain. Seperti yang diungkapkan dengan nada yang sama oleh Susie Utomo (penulis pertama) melalui puisinya berjudul 'Menanti Ibu' dan Qutrie, teman BMI yang saya temui 2 minggu yang lalu di Victoria Park, yaitu tentang anak yang harus ditinggal karena ibunya terpaksa bekerja di Hong Kong demi membiayai kehidupan sang anak (dan bapaknya) di desa (beberapa helai HK Dolar dari gaji BMI ternyata juga mampir di meja petugas negara di Indonesia untuk pembayaran KTKLN bila BMI pulang ke Indonesia, dimana KTKLN ini sedang diperjuangkan oleh asosiasi BMI Hong Kong untuk dihapuskan). Isu inilah yang menjadi kepedihan BMI yang memiliki anak di desa yang tidak diperhatikan sama sekali oleh pemerintah. Apakah pemerintah peduli apa yang akan terjadi pada anak-anak BMI yang ditinggal para ibu mereka? Apakah pemerintah peduli pendidikan seperti apa yang akan diterima oleh anak-anak tersebut? Apakah pemerintah tahu dan peduli berapa anak BMI yang ditinggal ibunya tidak meneruskan sekolah karena salah pergaulan, tidak ada kontrol dan kurang kasih sayang kerabat terdekat karena pada saat yang sama bapaknya bekerja di luar kota dan hanya mampir beberapa saat melepas lelah di rumah? Apakah pemerintah memasang telinganya dan peduli berapa anak (BMI) yang terpaksa meredam amarah dan emosi mereka saat harus menyaksikan keluarganya tak utuh lagi karena bapak mereka memiliki TTM lain? Dan banyak hal-hal lain yang pemerintah tidak peduli terutama pada masa depan anak-anak dan keluarga BMI yang terpaksa bekerja di luar negeri karena pemerintah tidak mampu memberikan penghidupan yang layak kepada mereka di negeri sendiri. Sungguh, ini adalah ironi sebuah negara yang selalu diakui oleh para pejabatnya sebagai negara yang kaya raya akan sumber alam.

Penulis pertama (Susie Otomo) dan penulis ketiga (Pandan) menuturkan kritik terhadap lingkungan sosial mereka, dimana Susie bercerita tentang seorang wanita tua yang terpaksa harus menerima pengasuh baru yang berasal dari Indonesia yang memiliki karakter dan perilaku yang tidak lazim menurutnya. Dalam hal ini, penulis (Susie) memposisikan dirinya sebagai pemeran utama cerita (wanita tua) yang secara tidak sadar mendalami dan mengenal pengasuhnya melalui 'kekesalan demi kekesalan' yang dialaminya terhadap sang pengasuh. Walaupun cerita yang dituturkan oleh Susie tidak selesai, namun cerita ini sangat menarik. Susie menampilkan konflik pribadi yang direfleksikan melalui komunikasi kalbu pemeran utama tentang sosok pribadi yang asing namun dekat dengan kesehariannya. Penulis ke tiga, Pandan, bertutur cerita tentang sosok utama seorang pelacur di Jalan Jayakarta, Jakarta. Sosok pelacur yang berkomunikasi dengan seorang pedagang kelontong di tepi jalan dekat Diskotik Seroja dimana sang pelacur bekerja setiap malam. Cerita ini mendeskripsikan secara terbuka beberapa isu sosial yang dihadapi oleh seorang pelacur, baik dilema maupun stigma masyarakat terhadap pelacur dan pelacuran. Sebaik apa pun pekerjaan yang dijalani seseorang yang telah dianggap pelacur (atau pernah menjadi pelacur), tetap saja mereka dianggap 'sampah' dan mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual, fisik maupun simbolik. Ketiadaartian ini sering kali menggiring seseorang kepada keputusasaan dan mengakhiri (atau memulai?) hidup mereka dengan terjun (semakin) bebas ke dalam prostitusi. Atau bahkan menjadi motivasi mereka untuk berjuang keluar dari 'kenistaan' (sosial) dan melepas stigma yang 'dilekatkan' oleh masyarakat pada mereka. Bagaimanapun, Pandan telah berhasil mendeskripsikan sosok pelacur dengan sangat vurgar dan jujur dalam cerita pendeknya, walaupun menurutnya ide awal cerita ini bermula pada saat dia sedang menyapu :))

Pada akhir acara, saat diminta semua memberikan tepuk tangan kepada ketiga penulis saya pengen deh kasih tepuk tangan sambil berdiri (sangking kagumnya terhadap para penulis)...tapi karena malu, ya ga jadi ;)

Setelahnya, para pembicara, terutama penulis mulai dikerubungi oleh banyak orang dengan kepentingan yang berbeda. Saat saya meminta alamat email dan nomor telepon (pesanan si teman) saya menyempatkan diri (bercanda)  dan menawarkan diri kepada penulis (Susie Utomo) 'apakah saya mendapatkan buku gratis?' (sambil mengacungkan salah satu buku). Akhirnya saya mendapatkan 2 buah buku gratis... #thenkyudotcom#

Sungguh, hari ini memang asyik. Pengalaman dan ceritanya sangat banyak dan semua orang terhibur dengannya. Ternyata HKD 30 yang saya bayar untuk tiket (harga student) sangat kecil jika dibandingkan dengan kekayaan pengalaman yang saya peroleh dari para penulis yang menulis, bahkan, adalah pekerjaan sampingan mereka.

Well done, ladies! Semoga segera mendapatkan editor plus translator agar karya-karya kalian dapat dibaca dan dihargai oleh orang lain di seluruh dunia...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun