Dahulu ketika masih kecil, dan ditanyakan tentang cita-cita, saya menjawab dengan lantang, “saya mau menjadi guru!” Teman-teman saya pun juga menpunyai cita-cita yang bermacam-macam (karyawan, dokter gigi, polisi., perawat, tentara dll). Dan bila sekarang saya bertanya pada anak-anak desa tempat saya tinggal, jawabannya pun senada. Dari seluruh cita-cita yang terungkap, tak ada satu pun cita-cita ingin menjadi petani. Mengapakah demikian?
Rupa-rupanya, meskipun bertani itu adalah pekerjaan juga, namun tak pernah dianggap demikian, sekurang-kurangnya oleh anak kecil. Kalau begitu dapat ditarik kesimpulan sementara, menjadi petani adalah pilihan terakhir, ketika tak ada pekerjaan yang lain. Tentu saja, kesimpulan itu hanya benar sebagian. Sebab ada banyak orang memilih menjadi petani meskipun punya kemampuan untuk pekerjaan non-tani, bahkan menjadikannya sebagai bentuk perjuangan,
Berbicara tentang petani/bertani, menurut hemat saya ada hal yang memprihatinkan di dunia pertanian kita, sekurang-kurangnya di sekitar tempat saya tinggal. Hampir sebagian besar yang bertani adalah orang tua. Yang muda, sebagian besar merantau ke kota (Jakarta), dan yang tinggal di desa pun enggan untuk bertani, betapa pun hanya untuk membantu orang tuanya. Para pemuda itu berpendapat bertani tidak langsung menghasilkan uang. Lain halnya kalau merantau ke Jakarta, dengan menjadi pekerja harian atau tukang ojek, misalnya. Kalau situasi ini berlangung terus, dan generasi tua sudah tidak ada, siapakah lagi yang menjadi pertani, –petani yang sebenarnya?
Itu hal pertama yang memprihatinkan, dan rasanya berkaitan erat dengan keprihatinan kedua, yakni beralihnya kepemilikan tanah-tanah pedesaan menjadi milik orang kota (kaum bermodal). Tentu saja proses peralihan itu sah dan titik persoalannya bukan itu. Yang menjadi persoalan adalah sebagian orang desa tak punya lahan lagi untuk bertani! Seperti gayung bersambut, orang kota lalu menanamkan modalnya dalam pertanian, dan orang-orang desa menjadi buruhnya. Dan hal ini menyenangkan orang desa, karena mendapatkan upah rutin (kayak pegawai, euy!). Namun pertanyaannya sejauhmanakah upah itu bisa menyejahterakan keluarganya, terlebih pendidikan anak-anaknya? Bila ini berlanjut, bisa saja pertanian menjadi sebuah industri, maksudnya hanya para pemodal saja yang bisa melakukan, dan sebagian besar orang desa menjadi buruh (di bekas tanahnya sendiri).
Apakah menjadi petani memang begitu mengenaskan sehingga dihindari oleh orang muda? Jawabannya, tidak! Menjadi petani dalam arti tertentu malah menjadi orang merdeka, bahagia dan tenteram. Tentu saja jawaban itu amat subyektif, amat tergantung dari pola pikir dan situasi masing-masing orang. Tetapi yang jelas, kini pertanian tidak diminati oleh orang muda, lantas bagaimanakah ke depannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H