Melihat realitas perpolitikan dari berita-berita di tv dewasa ini, saya sebagai rakyat awam sudah sangat jumud dan jenuh ( lebih tepatnya muak mungkin ) menyaksikan elit-elit politik mempertontonkan low politics, yakni politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan bukan menjadikan politik sebagai instrument perjuangan idea. Egoisme kelompok menjadi lebih menonjol dibanding tuntutan rasa Nasionalisme. Hampir disemua peristiwa-peristiwa politik yang menjadi sorotan publik, para elit politik dari institusi yang terlibat mulai “berkelahi” : baik itu legislatif, eksekutif, dan yudikatif di acara diskusi-diskusi yang disiarkan tivi partisan (ketika media mulai berpartai..:). Setiap elit politik, kemudian merasa sibuk untuk membela kepentingan kelompoknya masing-masing justru dengan argumentasi pragmatisme.
Peristiwa politik yang menyita perhatian banyak pihak baru-baru ini, adalah pengajuan BG sebagai calon Kapolri. Kenapa dapat terjadi demikian..?? Bukannya prosedur-prosedur standar pengajuan penggantian Kapolri adalah aktivitas yang wajar saja..?? Tetapi kenapa kemudian menjadi mbulet dan seolah-olah seperti g ada aturannya saja..?? Apa kemudian karena BG tersangka...? Bukannya harusnya ada mekanisme yang mengaturnya lagi..?? apa memang aturannya multitafsir sehingga eksekutif dan legislatif bisa berbeda dalam tafsirannya..?? atau justru belum ada aturan bakunya..?? atau memang “skenarionya” dibuat menarik perhatian agar menarik simpati masyarakat..ketika dapat menunjuk pihak-pihak yang keliru..?? atau apaaa…???
Egoisme kelompok elit politik menjadi benang merah dari setiap peristiwa sepele yang kemudian coba dibumbui dengan hal-hal imajiner sehingga menjadi sangat pelik. Meskipun sistem tatanegara kita tidak mengenal oposisi, tapi faktanya oposisi hidup di dalam sistem perpolitikan Indonesia. Fungsi oposisi sebenarnya adalah check and balances, agar eksekutif tidak melanggar konstitusi dalam mengambil kebijakan yang akan dijalankan. Fungsi kontrol oposisi akan bersifat positif jika dilandasi sinergitas dan bukan mewasiti policy pemerintah. Oposisi bukan berfungsi mencari kelemahan kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga output-nya hanya berupa kritik-kritik tajam yang kadangkala menyudutkan atau memojokkan, tanpa memberikan solusi sama sekali (miris banget bro..).
Sumber dari segala sumber keruwetan politik akhir -akhir ini karena politik kelompok masih tumbuh dan dirawat dengan baik oleh elit-elit politik. Bukan waktunya lagi memperjuangkan politik “kelompok” , karena Bangsa yang majemuk / pluralis seperti Indonesia tidak akan dapat besar dengan kepemimpinan “kelompok”. Dibutuhkan multi partnership dengan berbagai lapisan dan seluruh golongan yang ada untuk dapat mempercepat pembangunan dan kemajuan. Perlu ada metamorfosa politik di Indonesia, agar elit-elit politik kita tidak lagi berfikir partisan tapi berfikir secara nasionalisme, tapi harus dimulai darimana..??? mungkin harus dimulai dari diri masing-masin, Selamat mencoba...:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H