Hari sudah pagi. Matahari masih redup di antara awan, gedung, kabel dan pepohonan. Sampai pada bongkahan-bongkahan. Dinding yang roboh. Atap pecah bertindih di atas tanah. Kayu-kayu lapuk. Debu. Asap tipis mengepul di balik semak-semak.
Ditariknya selembar papan di bawah bongkahan beton. Ada suara memecah keheningan.
"Apa ada bukumu yang tercecer?"Â
Ia menggeleng. Diletakkannnya papan di tangannya. Lalu mendekati selembar tripleks. Melongok ke bawahnya. Rambutnya menyapu pecahan dinding.
"Bukan. Bukan di situ kamarmu dulu. Di situ kursi tamu. Semua bukumu sudah kuikat di dekat trotoar. Di samping kulkas. Di dekat kompor."
"Aku sedang mencari gambar seorang laki-laki".
"Laki-laki? Oh tidak," Laki-laki tua bersuara terkejut. "Bukan usiamu. Belum usiamu untuk bercinta."
"Keadaan sedang susah. Hujan bisa datang kapan saja. Sebaiknya kau bantu Ibumu mengikat barang-barang".
"Ia bukan kekasihku. Hanya gambar seorang lelaki kurus."
"Siapa dia?"
"Kata Bu Guru, ia pernah berbicara 54 kali dengan orang-orang, bila hendak meruntuhkan bedeng-bedeng."