[caption id="attachment_78449" align="alignright" width="300" caption="ilustrasi dimodifikasi dari www.stolaf.edu"][/caption]
Seorang Nabi berkata kepada seorang pemuda, "Sepeninggalku nanti, akan tiba suatu masa dimana semua sumur mengering, lalu muncullah sebuah mata air di tengah kota. Tetapi barang siapa yang meminumnya airnya akan menjadi gila.
Tak lama kemudian Nabi itu pun meninggal. Musim kering pun mulai terlihat tanda-tandanya. Mengingat nasehat sang Nabi, si murid membeli sebuah gentong besar dan mengisinya dengan air.
Musim kering yang diramalkan itu tiba. Semua sumur di kota menjadi kering dan mengakibatkan kesengsaraan warga kota. Tetapi, berapa hari kemudian muncul sebuah mata air di tengah kota. Penduduk berbondong-bondong mengambil air dari mata air tersebut untuk minum.
Setia pada nasehat Nabi, si pemuda tidak mau minum dari mata air baru itu. Ia berhemat air dan minum hanya dari gentong yang disimpannya.
Pada suatu hari ia keluar untuk berbelanja di pasar. Di jalan orang-orang memandangnya dengan tatapan aneh.
"Gila. Pemuda itu gila" Orang-orang menyebutnya begitu.
"Kalianlah yang gila. Sebab kalian telah minum dari sumur itu." Sahut si pemuda.
Berhari-hari, pemuda itu terus minum dari gentong simpanannya. Dan orang-orang terus menganggapnya gila. Lama-lama air simpanannya habis.
Kehausan, dengan terpaksa ia pun menuju mata air di tengah kota dan meminum airnya. Dalam perjalanan pulang, orang-orang melihatnya dengan mata berbinar dan berbisik, "Pemuda itu sudah sembuh dari kegilaannya."
Di atas adalah sebuah kisah sufi. Saya tuturkan kembali, maaf kalau ada selip bahasa atau selip detil cerita. Hikmah dari cerita di atas kurang lebih adalah, bahwa kegilaan adalah relatif, dan kewarasan adalah kolektif. Yang gak ikut ombya'ing zaman = aneh, gila. Atau ga gaul.