Mohon tunggu...
Pak Cilik
Pak Cilik Mohon Tunggu... Pegiat Teknologi Informasi -

berpikir, berbagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bukan Genjer-genjer

21 Januari 2010   20:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_58133" align="alignleft" width="144" caption="arit, alat pertanian"][/caption] Sejenak kita lupakan kekhawatiran tentang uang kita yang ada di ATM, dari pencuri-pencuri gentayangan, sebab BI dengan cadangannya yang melimpah sudah menjamin simpanan kita. Hanya sering-seringlah memeriksa saldo anda, agar apabila ada kejanggalan bisa secepatnya anda laporkan. Kehilangan uang keringat bertahun-tahun adalah musibah. Tetapi ada musibah yang lebih besar dari itu, dan dapat dialami secara massal oleh masyarakat, yaitu, kehilangan nasib. Sore itu adalah hari yang terang di awal tahun dua ribu sepuluh. "Kamu anak Hardi?" Laki-laki tua itu setengah menghardik ketika menjabat tanganku. Sebenarnya ia sedang berusaha meyakinkan bahwa ia adalah orang yang harus dihormati. Karena Bapakku, Hardi, sudah berumur tujuh puluh lima tahun, dan seorang pensiunan guru. "Ya, Mbah". Jawabku. "Sini, Le, kupagari sekalian". Aku hanya menebak maksudnya. Ia menyuruhku mengambil sebuah kursi dan menyuruhku duduk di atasnya. Setelah aku duduk tenang, ia mengurut kepalaku. "Bismillah .....". Ia pun merapalkan mantera-mantera yang tidak aku dengar. Beberapa lama kemudian ritual itu selesai. "Nanti ada bacaan-bacaan yang harus kamu amalkan." Katanya. Ia pun duduk kembali di kursi tamu. Aku pun duduk dan berbincang-bincang sejenak dengan Si Mbah. Si Mbah, adalah seseorang yang memiliki kekuatan yang lebih dibanding orang-orang biasa. Setidaknya secara fisik. Di usianya yang mendekati delapan puluh tahun, tubuhnya masih tegap kekar dan sorot matanya tajam, seperti seorang tentara. Dulunya memang ia seorang tentara. Ia menunjukkan foto Presiden Soekarno yang sedang sungkem pada ibunya. "Ini Bu Ida, " Katanya. Ibunda Soekarno memang bernama Ida Ayu Nyoman Rai, seorang keturunan bangsawan Bali. "Lihat foto ini, aku salah satu yang ada di belakangnya " Katanya bangga. Tetapi, aku tidak yakin benar tentang hal itu. "Ada tiga marinir yang diberi wasiat ini (foto tersebut, beserta warisan supranatural). Yang dua sudah meninggal, tinggal aku saja. " Syukurlah, Mbah. Mbah masih sehat hingga sekarang, kataku dalam hati. Mengenai warisan supranatural itu, aku kurang percaya. Pada saat aku pamitan dari rumah Ibu mertua, aku merogoh selembar uang duapuluh ribu rupiah, dan kutitipkan pada Ibu untuk diberikan pada Si Mbah. Kata Bapak, Si Mbah, adalah anggota KKO, dan tergabung dalam resimen khusus Cakrabirawa. Pasukan pengawal Presiden, paspampres zaman dulu. Setelah 1965, ia pernah pulang kampung, untuk menjadi buruh serabutan. Ia dapat mencangkul lahan dua kali lebih cepat dari orang biasa. Ia bisa memindahkan gundukan pasir lebih banyak dalam waktu yang sama. Sudah lama ia hidup dari kota ke kota, membagikan berkah supranaturalnya itu, yang entah berkhasiat atau tidak. Bagi yang dikunjungi, sesungguhnya itu adalah isyarat agar mereka memberikan sepuluh-duapuluh ribu untuk menyambung hidupnya yang senja. Ia hanyalah secuil kisah. Dari berbungkah-bungkah kisah para wong cilik di desaku. Yang harus direnggut nasibnya oleh sebuah peristiwa di malam temaram 1965. Orang-orang menamainya gestok, gerakan satu oktober. Peristiwa itu menjadi penanda waktu yang penting, untuk menentukan kapan kejadian-kejadian lain terjadi. Misalnya, kakak perempuanku lahir satu tahun setelah gestok, berarti 1966. Seseorang meninggal dua tahun sebelum gestok, berarti 1963 dan seterusnya. Di masa-masa kecilku, aku tahu Bapak sering membantu mengurusi berkas-berkas kelahiran anak-anak desa yang bapaknya terlibat. Anak-anak tersebut orang tuanya diganti dengan orangtua yang bersih, tidak terlibat. Ini dimaksudkan agar anak-anak tersebut tidak terhalang dalam soal sekolah dan usaha menjadi pegawai negeri, suatu cita-cita umum di desa. Yang disebut terlibat adalah, orang-orang yang namanya tercantum secara sadar atau tidak sadar di daftar hitam yang disita dari kantor BTI (Barisan Tani Indonesia), sebuah organisasi underbow PKI. Waktu itu BTI memang organisasi biasa, dimana aparat desa yang tergabung mendaftar para warga seperti mendaftar arisan. Warga desa, yang rata-rata buta huruf tidak akan menyangka bahwa selembar kertas akan membelenggu nasib mereka sampai puluhan tahun kemudian. Bukanlah Bapak simpatisan PKI. Ia adalah seorang marhaen, dan Ibu anggota Aisyiyyah, jamaah ibu-ibu Muhammadiyah. Di hari hari menjelang peristiwa itu, Pak Camat yang condong ke PKI datang ke rumah membawakan pistol, karena bapakku menentang pengambilan tanah-tanah desa oleh BTI. Di hari-hari itu pula, konon pintu rumah disilang merah oleh orang tak dikenal. Bapak hanyalah mata saksi sejarah apa adanya, dan ia tidak harus menjadi pendendam.

***

Pagi hari, aku berjalan-jalan mendorong anakku, sampai di pertigaan. Jalan kabupaten teraspal mulus, dengan deretan toko-toko di belakangnya. Toko-toko itu menjual bahan bangunan, alat-alat listrik, telefon genggam, pulsa dan apapun yang menandai kemajuan. Si Mbah ada di seberang jalan berdiri tegap memandang kejauhan. Ia melambaikan tangannya, akupun membalasnya. Sejenak kemudian sebuah bus berhenti di depannya, menutupi pandanganku. Ketika bus itu pergi, Si Mbah sudah tidak ada di tempatnya. Hanya asap yang semakin menjauh, dari punggung bus yang membawa Si Mbah ke kota-kota yang pernah menjadi mimpinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun