Mohon tunggu...
Pak Cilik
Pak Cilik Mohon Tunggu... Pegiat Teknologi Informasi -

berpikir, berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Tak Mau Cuti, Tak Mau Dilucuti

31 Agustus 2016   23:29 Diperbarui: 1 September 2016   01:02 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahok kelihatannya sangat kekeuh dalam menggugat kewajiban cuti petahana yang mencalonkan kembali. 

Lupakan saja argumentasi-argumentasi diperdebatkan di sidang MK, karena setiap argumentasi dalam forum terhormat seperti sidang MK itu sudah tentu "dirumuskan", bahkan oleh para pakar yang dikerahkan.

Keinginan Ahok untuk tidak mau cuti dapat dipastikan mendahului alasan-alasan formal menggugat aturan ini.

Lebih baik melihat hukum alam saja bahwa setiap makhluk hidup tak terkecuali seorang Ahok secara naluriah bergerak mencari keaadaan yang aman, terlebih dalam situasi konflik (kompetisi) seperti Pilkada.

Setidaknya ada tiga hal yang akan "merugikan" Ahok bila ia harus mengambil cuti.

Pertama, cuti itu adalah cuti di luar tanggungan negara. Oleh karenanya seseorang tidak akan mendapat gaji dan tunjangan serupiah pun dan segala fasilitas dari negara. Apabila diasumsikan pendapatan seorang gubernur adalah 2 miliar sebulan saja, setidaknya di dalam tiga bulan ia akan kehilangan 6 miliar. Bukan jumlah yang kecil. Katakanlah satu lembar kaos untung sepuluh ribu rupiah, setidaknya komunitas semacam Teman Ahok harus menjual enam ratus ribu kaos dulu baru mendapat uang sebesar itu.

Kedua, memang menguntungkan apabila seorang Petahana tidak cuti karena ia tetap memiliki akses pada aset dan alat negara yang jumlahnya nyaris tak terhitung. Entah secara sengaja atau tidak, seorang pejabat bisa saja memainkan kewenangannya untuk mempengaruhi pemilih dan pemilihan. Sehalus apapun itu caranya. Inilah yang memang disasar oleh UU itu dan bagaimanapun setiap petahana akan merasakan keterbumihangusan dikarenakan kekuasaannya telah dilucuti.

Ketiga, selama ini Ahok memang memerankan "Gubernur Galak". Apabila ia dicerabut dari peran itu tentulah ia akan mati gaya. Eksistensi Ahok dibangun oleh pertempuran-pertempuran dimana ia memerankan diri sebagai "putra petir" untuk melawan pejabat yang dianggap korup, rakyat yang dianggap menduduki tanah negara, BPK yang "ngaco", "partai politik yang doyan mahar" dan berbagai konflik lain meskipun ada beberapa pengecualian.

Bila ia galak di saat cuti, maka ia bukan Gubernur Galak, hanya orang galak saja. Konflik menjadi tidak relevan karena sang pahlawan sudah diturunkan dari kudanya. Kehilangan panggung. Malah kalau galak-galak pas cuti, nanti dikira post power syndrome atau stress gara-gara cuti.

Ahok yang cuti kalau dalam peribahasa Jawa ibaratnya "baladewa ilang gapite". Yakni wayang kulit tokoh Baladewa yang dikenal galak namun penjepit (gagang) nya hilang jadi melempem.

Itulah kerugian-kerugian di atas kertas, bila seorang petahana seperti Ahok diharuskan cuti selama "masa kampanye" yang tidak pendek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun