Kabar pembatalan diskusi yang menimpa pihak panitia acara seminar bertajuk "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Hukum Tata Negara" merupakan suatu fenomena yang sedang hangat dibicarakan. Persoalan timbul ketika terdapat teror yang dialami oleh panitia dan seorang guru besar HTN melalui pesan berantai di platform WhatsApp (WA) oleh oknum yang hingga hari ini belum diketahui.
Apa motif oknum tersebut untuk melakukan teror itu? Tentu terdapat motif politik di balik itu semua. Walaupun begitu, tajuk diskusi yang dipublikasikan mengundang tafsiran yang berbeda sehingga menimbulkan anggapan bahwa ruang akademik telah menginisiasikan gerakan makar atau mengajak menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Apakah hal tersebut benar demikian? Menurut saya hal itu salah. Dasar argumen yang mengatakan bahwa ruang akademik melakukan usaha-usaha untuk makar itu hanya dari dasar sentimen politik.
Mengapa saya dapat berkata demikian? Ruang akademik yang dalam hal ini adalah forum diskusi tersebut tidak bermaksud sedikitpun untuk merencanakan kudeta. Tidak. Tujuannya adalah dalam rangka melakukan kajian dalam bidang hukum ketatanegaraan apabila terdapat pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Presiden dalam penanganan pandemi. Itu saja.
Bagaimana dengan teror yang menyebabkan pemberhentian forum tersebut? Tentu hal itu melanggar HAM. Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 telah dijamin bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak tersebut merupakan hak sipil yang fundamental, yang asasi. Teror tersebut berarti telah melarang adanya beberapa orang untuk menggelar perkumpulan akademik dan menyatakan pendapat, padahal sejatinya hak tersebut telah dijamin dalam hukum negara yang paling tinggi.
Selain itu, perlindungan hak-hak tersebut juga menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk menjaganya dan menghormatinya. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Selain daripada kewajiban setiap orang, negara juga memiliki kewajiban konstitusional untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut bagi setiap orang. Jika dalam hal ini terdapat orang-orang yang melanggar HAM yang dimiliki orang lain, maka negara juga telah gagal untuk melakukan kewajiban konstitusionalnya.
Apakah kemudian ruang akademik perlu dikendalikan? Justru tidak boleh dikekang. Ruang akademik adalah ruang yang semestinya menjadi ruang kebebasan berpikir dan berpendapat bagi setiap insan akademik. Ide-ide harus dibiarkan tumbuh liar di situ, selama tidak melawan hukum. Ruang akademik juga menjadi sarana kritik dalam pemerintahan, dan dalam suprastruktur/infrastruktur politik, hal demikian lah yang akan menjadi 'pelumas' bagi berjalannya roda-roda pemerintahan. Kritik diperlukan untuk memperbaiki jalannya pemerintahan agar kekuasaan dapat dibatasi dan dapat melindungi hak-hak warga negara.
Apakah teror ini dibuat oleh penguasa? Belum tentu. Saya justru tidak menemukan adanya kabar bahwa Jokowi mengeluarkan keputusan untuk melakukan teror terhadap siapapun yang mencoba menggelar diskusi akademik mengenai pemberhentian Presiden. Tidak ada juga perintah-perintah dari pejabat administrasi lain yang mengatakan hal tersebut. Berdasarkan hal tersebut, teror itu dijalankan karena inisiatif individu oknum pelaku. Tidak ada endorsement dari negara.
Melakukan pelarangan diskusi yang berdasarkan kajian akademik memang salah karena melanggar HAM yang universal dan dijamin dalam konstitusi. Demikian pula dengan menunjukkan jari kepada pihak yang belum tentu bersalah, karena asumsi berdasarkan sentimen politik berupa perasaan sinis terhadap pemerintah juga bukan dasar yang kuat.
Perlu disimak siapa yang sebenarnya menjadi dalang dalam teror terhadap kebebasan berkumpul dan berpendapat ini. Tidak ada maaf bagi siapapun yang mengekang kebebasan sipil yang telah dijamin oleh konstitusi.