Mohon tunggu...
Azeem Amedi
Azeem Amedi Mohon Tunggu... Freelancer - Blog Pribadi

Masih belajar, mohon dimaklumi. | S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran | F1 & Racing Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Constitutional Complaint: Suatu Solusi Menghadapi "Emergency Power"

26 Mei 2020   13:14 Diperbarui: 26 Mei 2020   13:39 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi COVID-19 memaksa negara-negara untuk melakukan perubahan prioritas pemerintahan, yang awalnya mungkin mencoba untuk melakukan restuktrurisasi ekonomi menjadi terfokus pada penanganan kesehatan masyarakat. Tak terkecuali di Indonesia, rencana Pemerintah berubah total ketika terdapat kasus positif COVID-19 pertama di sekitar bulan Februari lalu.

Keadaan darurat ini memaksa negara untuk mengimplementasikan suatu kekuasaan darurat (emergency power). Kekuasaan ini digunakan untuk melindungi segenap masyarakat dari keadaan masyarakat, dengan juga menggunakan kewenangan yang diperluas dalam rangka memenuhi tujuan tersebut. Negara dapat melakukan berbagai hal untuk mengatasi keadaan darurat ini, namun dengan risiko ada beberapa hak konstitusional masyarakat yang dikurangi.

Tidak usah terlalu jauh mengambil contoh. Indonesia menggunakan kekuasaan ini ketika dimulai masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengurangi kegiatan masyarakat, agar mengurangi juga penyebaran virus di masyarakat serta mengurangi jumlah kasus aktif. 

Pemerintah pusat dan daerah berhak untuk menutup kegiatan masyarakat yang mengumpulkan banyak massa, seperti kegiatan seni budaya dan ibadah keagamaan di rumah ibadah. Pemerintah juga berhak untuk menutup kegiatan ekonomi sementara waktu, meski banyak terjadi tenaga kerja terlantar dan bahkan di-PHK.

Berdasarkan pada kasus tersebut, terdapat hak-hak yang dikurangi dan masyarakat sebagai subjek dari hak tersebut akan merasa dirugikan. Hak untuk berkumpul, menyelenggarakan ritual keagamaan, dan bekerja memenuhi kebutuhan dikurangi demi keselamatan masyarakat secara luas. Meski tujuan diperluasnya kekuasaan negara untuk menyelenggarakan 'emergency power' ini sudah jelas, namun tidak semua masyarakat dapat menerima haknya dirugikan.

Selain itu, terkadang dalam menjalankan kekuasaan yang diperluas ini negara justru melampaui kewenangan terlalu jauh, sehingga menimbulkan kerugian yang besar terhadap hak-hak konstitusional masyarakat, sehingga mengancam konstitusionalisme. Hal ini yang sangat ditakutkan karena dapat menghilangkan pembatasan kekuasaan dan mengabaikan perlindungan HAM.

Contohnya, dalam Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1098/IV/HUK.7.1/2020 dan Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1/2020 yang pada umumnya memerintahkan penangkapan dan penindakan dugaan tindak pidana penghinaan terhadap pejabat negara atau Presiden serta penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong berdasarkan KUHP dan UU ITE di masa pandemi, untuk menghindari keresahan dalam masyarakat. Walaupun demikian, perintah tersebut berpotensi besar melanggar hak-hak konstitusional warga negara.

Bagaimana tidak? Pertama, perintah tersebut menggunakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006. Dibatalkannya pasal-pasal tersebut menandakan bahwa sebelumnya telah ada hak konstitusional warga negara yang dilanggar akibat dari keberlakuan ketentuan tersebut dalam KUHP, sehingga demi memulihkan hak tersebut maka MK membatalkannya.

Kedua, baik dalam pasal-pasal KUHP dan UU ITE yang digunakan sebagai dalil untuk memidanakan para terduga pelaku tidak memberikan kepastian hukum mengenai pembedaan detail antara kritik dan penghinaan. Hal tersebut rawan salah tafsir oleh aparat penegak hukum, atau bisa disebut "pasal karet". Hal ini menimbulkan kriminalisasi terhadap penggunaan hak kebebasan berekspresi oleh warga negara, yang seharusnya berniat untuk mengkritik namun disalahartikan sebagai hinaan, dan akhirnya harus dijatuhkan pidana.

Ketiga, perintah kepolisian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum seperti undang-undang. Perintah kepolisian tidak dapat menghidupkan norma yang telah dibatalkan oleh putusan pengadilan, terlebih mengenai Putusan MK yang menyangkut pembatalan norma dalam undang-undang yang bertentangan dengan hak konstitusional yang telah dijamin dalam UUD 1945. Perintah tersebut sama saja melanggar konstitusionalisme, karena kepolisian menggunakan kewenangannya melebihi dari apa yang telah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan dan mengancam kebebasan fundamental warga negara.

Bagaimana kemudian cara untuk membatasi kewenangan negara dalam melaksanakan emergency power? Saya rasa perlu adanya perluasan kewenangan MK untuk menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan pengaduan konstitusional (constitutional complaint).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun