Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, atau disebut sebagai RKUHP, sudah menjadi agenda legislasi sejak lama. Rancangan KUHP baru ini disebut-sebut baru dewasa ini dapat terwujud, setelah sebelumnya penyusunannya menemui berbagai permasalahan.Â
RKUHP ini diharapkan menjadi pengganti KUHP yang ada saat ini, yang merupakan warisan langsung dari masa Kolonialisme Belanda, awalnya bernama Wetboek van Strafrecht (WvS), yang dinilai tidak lagi relevan dengan masa saat ini.
Namun, perancangan KUHP baru ini tentu bukan tanpa masalah. Beberapa rancangan pasal di dalam tubuh RKUHP mendapat kritikan dan kecaman dari kalangan ahli hukum, organisasi massa, dan masyarakat secara umum, karena diprediksi beberapa pasal yang dirancang dirasa menyerang Hak Asasi Manusia (HAM), terkhusus kepada hak asasi warga negara yang akan merasakan langsung dampak dari pemberlakuan RKUHP tersebut apabila disahkan.
Beberapa pasal dinilai berusaha untuk melakukan kriminalisasi ketimbang pemidanaan atas tindakan kriminal. Beberapa pasal yang dinilai bermasalah adalah pasal-pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, penodaan agama dan tindak pidana lain terhadap agama dan kehidupan beragama, masalah kesusilaan, dan kriminalisasi kaum Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT). Namun fokus artikel kali ini lebih kepada penghidupan kembali pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dan imbasnya kepada penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
Mari bahas mengenai pasal tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Pasal ini menurut draf RKUHP tersusun pada Pasal 263 Ayat (1), dimana di dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Menurut Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, berpendapat bahwa pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi mengekang hak warga sipil dalam berekspresi (dilansir dari Kompas.com, "Pasal Penghinaan terhadap Presiden dalam RKUHP Berpotensi Jadi Alat Represi", 4 Februari 2018).
Menurut Erasmus, pasal yang memuat lesse mejeste (penghinaan terhadap penguasa/kepala negara) dapat berpotensi menjadi alat represi penguasa, sehingga sebaiknya dihapus. Ini juga berpotensi mengekang hak konstitusional warga negara untuk bebas berpendapat. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Mahfud MD, juga berpendapat demikian. Pasal ini juga melawan ketentuan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang dinyatakan bahwa Pasal 134 KUHP yang ada saat ini, yang juga mengatur mengenai penghinaan Presiden, dihapus melalui Putusan tersebut. Menurut Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, ada atau tidak ada putusan MK, pasal tersebut tidak relevan karena hanya terdapat pada negara-negara monarki, dimana raja atau ratu sebagai kepala negara juga menjadi lambang negara, sementara presiden bukan merupakan lambang negara.
Meskipun begitu, beberapa anggota DPR yang menjadi anggota tim perumus (Timus) dan anggota DPR lain bersikeras bahwa pasal ini akan dibuat matang dan tidak disalahgunakan, atau tidak menjadi "pasal karet". Panitia Kerja (Panja) RKUHP dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, menyatakan bahwa dalam draf perancangan RKUHP akan dispesifikasikan tindakan mana saja yang dikategorikan sebagai penghinaan dan bukan penghinaan terhadap Presiden, dan pasal ini termasuk ke dalam kategori delik laporan, yang merupakan jenis tindak pidana yang harus ada pelaporan terlebih dahulu baru dapat diproses, jadi tidak sembarang orang dapat melapor dan menganggap suatu pernyataan sebagai penghinaan (dilansir dari program Kompas TV "Sapa Indonesia Malam", 5 Februari 2018).
Alasan penghidupan kembali pasal ini tidak lain dan tidak bukan adalah maraknya kritik yang menjurus kepada pelecehan martabat Presiden, karena menyerang pribadi Presiden daripada memberikan kritik yang membangun, apalagi di era dimana media sosial sangat mudah untuk diakses dan hampir setiap orang dapat mengekspresikan apapun yang mereka rasakan.Â
Pasal 134 dinilai inkonstitusional karena menghambat hak setiap orang untuk bebas menyatakan pendapat, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, tidak relevan karena KUHP yang ada saat ini adalah hasil konkordasi dari WvS dan makna asli pada WvS (Pasal 111) adalah Raja serta tidak terdapat rujukan bahwa Raja dapat diganti menjadi Presiden dan Wakil Presiden, yang kemudian pasal tersebut dibatalkan oleh MK melalui Putusan No.013-022/PUU-IV/2006.
Atas dasar itulah, Pasal 263 Ayat (1) diusahakan oleh DPR dan Pemerintah untuk dimatangkan, agar suatu pernyataan tidak asal ditafsirkan oleh masyarakat atau penegak hukum sebagai penghinaan, karena ada ukuran suatu pernyataan dapat dikatakan sebagai suatu penghinaan. Pasal 263 Ayat (1) ini pula juga digunakan untuk mengatur masyarakat bagaimana caranya mengkritik dengan cerdas dan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada, sehingga tidak asal dalam memberikan pernyataan terhadap kepala negara.
Masalahnya, pasal tersebut dikabarkan menjadi delik laporan, yang menurut Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil dalam pernyataannya di program "Sapa Indonesia Malam" 5 Februari 2018, yang secara umum menjelaskan bahwa ketika ada suatu pernyataan, Presiden melaporkan pernyataan tersebut jika memiliki unsur penghinaan terhadap Presiden kepada aparat penegak hukum yang berwenang menangani, kasus itu baru dapat diproses dan tidak sembarang orang dapat melaporkan hal tersebut. Menurut pernyataan di atas, ini dirasa berpotensi menjadi alat represi, seperti halnya Pasal 134 KUHP yang berlaku saat ini.