Kelima, kita cenderung membuat generalisasi (pukul rata) secepat mungkin atas setiap perasan dan pengalaman kita. Jika kita merasakan ada sesuatu yang tidak beres atau kurang menyenangkan dari suatu kejadian, maka kita menggeneralisasi bahwa sepanjang waktu tertentu kita pasti menjadi sial atau hidup tanpa kesenangan. Misalnya jika di pagi hari ini kita mendapat kesialan karena tiba-tiba diseruduk motor ojek, kita dengan secepatnyaakan menggeneralisasi bahwa hari ini adalah hari sial kita. Jika kita datang ke suatu tempat dan disambut dengan tidak ramah, dengan cepat kita akan menggeneralisasi bahwa tempat tersebut memang tidak ramah dan tidak cocok dengan kita. Jika seseorang dengan keyakinan tertentu kebetulan berbuat tidak baik maka semua orang dengan keyakinan tersebut atau bahkan keyakinannya secara keseluruhan akan dianggap tidak baik pula. Pola sesat pikir ini disebut over-generalization atau egocentric immediacy.
Keenam, kita cenderung mengabaikan hal-hal yang terasa rumit dan kompleks dalam upaya memperbaiki diri. Sebaliknya, kita lebih suka hal-hal yang sederhana yang tidak memberatkan pikiran dan mudah dilakukan. Cari enaknya saja, begitu barangkali istilahnya. Jika harus memilih antara mengubah kebiasaan suka memanfaatkan orang lain dan menghilangkan kebiasaan minum kopi, sebagian kita akan cenderung memilih berhenti minum kopi karena itu terasa lebih sederhana dan mudah. Sesat pikir yang disebut egocentric over-simplification ini membuat kita kehilangan stamina mental untuk berubah. Kita kehilangan kesempatan untuk menguatkan diri dengan latihan menyelesaikan hal-hal yang sulit.
Nah, Sahabat Kompasianer sekalian, itulah enam pola sesat pikir yang bisa kita jumpai di mana saja termasuk di Kompasiana ini. Termasuk dalam golongan sesat pikir yang manakah Anda kira-kira?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H