Semalam, seperti biasa saya diajak beberapa teman kampus saya untuk kongkow-kongkow di kedai kopi di Jalan Slamet Riyadi, Surakarta. Bukan di Kedai Kopi ala barat yang menjual kopi hitam seharga daging ketika lebaran menjelang, hanya wedangan murah meriah yang menawarkan berbagai makan panganan dengan harga yang cocok buat kantong kami yang sudah melewati masa jayanya beberapa hari yang lalu. Sambil asik membahas Man. City yang (kata teman saya) bermental juara, tidak sengaja saya mendengar diskusi sekelompok pemuda tanggung mengenai siapa yang akan menjadi cawapres dari Jokowi dan siapa yang pantas mejadi Presiden Indonesia ke 7. Seakan mendapat klimaksnya, siang ini sambil makan siang, saya melihat pemberitaan media mengenai deklarasi Jokowi-Jusuf Kalla.
Beberapa minggu terakhir memang media pemberitaan di Indonesia penuh dengan pembahasan mengenai pergerakan tokoh-tokoh politik Indonesia, bahkan di Kompasiana. Setiap berita baru yang keluar seperti episode-episode baru sinetron kejar tayang yang alur ceritanya bisa berubah dari waktu ke waktu dengan liar. Seperti halnya sinetron, saya juga kurang tertarik dengan episode-episode politik Capres, sampai saya sadar bahwa kebijakan pemerintah Indonesia lima tahun ke depan ada di tangan mereka, termasuk kebijakan terhadap tanah kelahiran saya, Papua.
Semua pasti tahu bagaimana Papua sangat kaya akan sumber daya alam dan suku, budaya dan adat istiadat yang sangat beragam. Tetapi bila kita melihat dengan kacamata politik, terutama bila dikaitkan dengan persentasi jumlah penduduk yang sedikit dibandingkan jumlah penduduk Indonesia di pulau lainnya, Papua bisa dikatakan kurang menarik. Dengan jumlah penduduk sekitar 8 juta jiwa (hasil sensus 2010), secara logis, Papua bukanlah “lumbung suara” yang menarik bagi para pasangan Capres-cawapres untuk mendulang suara. Tetapi, bila dilihat dari pemberitaan-pemberitaan di media kita bisa melihat bagaimana Jokowi dan Prabowo sama-sama memiliki concern terhadap Papua. Saya mencoba melihat bagaimana arah kebijakan kedua Capres ini terhadap kampung halaman saya ketika mereka berhasil menjadi Presiden Indonesia melalui perjalanan politik mereka.
Jokowi – Jusuf Kalla
Jokowi, menurut saya sebagai figure “our neighborhood President” adalah seorang pemimpin daerah sukses yang mencoba naik “pangkat” menjadi pemimpin Negara. Sebagai mantan pemimpin daerah, kurang banyak jejak kebijakan politis Jokowi terkait Papua. Pada bulan april 2014 lalu, Jokowi datang ke Papua dan sempat berkata bahwa dia ingin "menyelesaikan Papua dengan hati dan kerja nyata, bukan janji-janji". Jokowi juga bicara soal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur.
Yang menarik dari pasangan ini menurut saya adalah hadirnya sosok Jusuf Kalla sebagai pasangan dari Jokowi. Jusuf Kalla seperti yang kita tahu adalah sosok penting di balik beberapa perjanjian perdamaian wilayah-wilayah konflik di Indonesia. Sosok Jusuf Kalla merupakan sosok penting dibalik Perjanjian Helsinki, yang merupakan tonggak dari perdamaian di Aceh. Ia juga menjadi sosok penting di balik perjanjian Malino 1 dan 2 yang menjadi tonggak perdamaian di Maluku dan Poso. Saya sangat tertarik melihat bagaimana Jusuf Kalla akan “juru damai” di tanah kampung halaman saya bila seandainya terpilih nanti.
Prabowo – Hatta Radjasa
Bangsa Indonesia merindukan pemimpin yang tegas untuk mengembalikan martabat bangsa ini, saya melihat Prabowo sebagai salah satu calon pemimpin yang bisa menjawab kebutuhan akan hal tersebut. Terkait dengan Papua, pada bulan Maret 2014 lalu, Prabowo mengecam prilaku korupsi “berjamaah” oleh birokrat Papua sehingga aliran dana Papua yang sangat berlimpah tidak bisa dirasakan rakyat Papua, hanya dinikmati birokrat Papua yang ironisnya juga merupakan orang asli Papua.
Untuk Hatta Radjasa, saya melihat sebagai salah satu tokoh nasionalis yang punya concern besar terhadap Papua. Salah satu yang saya ingat adalah ancaman Hatta kepada PT Freeport untuk membangun smelter (pabrik pemurnian) di Papua bila tidak, PT Freeport akan diminta menghentikan produksinya. Ancaman ini terkait dengan implementasi UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menarik adalah, meski sudah beroperasi di tanah Papua sejak 1967 silam, PT Freeport mengatakan mustahil bisa memenuhi tuntutan dari UU Nomor 4 Tahun 2009 tersebut. Keuntungan besar dinikmatiFreeport dari hasil menjual bahan mentah, tanpa melalui proses pengolahan di dalam negeri. Padahal, jika melalui proses pengolahan di dalam negeri, akan sedikit memberi keuntungan bagi negara dan rakyat Papua.
Kesimpulan
Kedua pasangan Capres-Cawapres mempunyai kemauan yang kuat untuk membangun Indonesia dalam hal ini Papua, dengan cara yang berbeda. Sebagai anak Papua, memilih pemimpin Indonesia adalah salah satu sumbangsih memajukan Papua karena kebijakan terhadap kesejahteraan rakyat di Papua tergantung kebijakan pemimpin Indonesia. Saya pikir keengganan memilih tidak hanya sebagai sikap apatis, tapi sikap menyerah terhadap upaya memajukan Papua.
Saya akan memilih karena saya cinta kampung halaman saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H