Saat ini jutaan rakyat Indonesia membicarakan tentang Prabowo dan Jokowi, mulai dari obrolan warung kopi, sampai obrolan di layar televisi. Para pendukung masing-masing calon pun membuka “medan perang” untuk mendukung calonnya di berbagai tempat di media internet, perang opini pun dimulai, dari yang beretika dan bermartabat sampai yang tidak beretika alias asal babat. Orang yang tidak pernah berbicara dan tertarik mengenai Papua dan sejarah, tiba-tiba dengan semangat membahas Operasi Mapenduma, yang alergi terhadap ekonomi tiba-tiba bicara lantang membahas tentang bisnis mabel dan perkayuan. Mayoritas rakyat Indonesia bersemangat menyambut “pertarungan” antara Prabowo dan Jokowi pada 9 Juli nanti.
Kalau saya ibaratkan Jokowi dan Prabowo adalah “petarung” dan pilpres sebagai “ajang pertarungan” maka seluruh daerah di Indonesia adalah “medan pertarungan”, ketika Jokowi dan Prabowo menyampaikan bahwa mereka siap “bertarung”, siapkah Indonesia menjadi “medan pertarungan”? Kondusifkah “medan pertarungan” ini ketika “pertarungan” berlangsung? bagaimanakah Papua yang merupakan salah satu dari “medan pertarungan” tersebut, apakah siap?
Saya melihat ada beberapa isu yang mungkin akan mengganggu “pertarungan” Jokowi dan Prabowo di Indonesia, khususnya Papua.
Pertama, Peredaran Senjata Gelap. Senin lalu, pihak kepolisian Papua menangkap jaringan pemasok senjata untuk kelompok bersenjata di Kabupaten Puncak Jaya. Senjata diduga berasal dari Filipina dan Papua Nugini, adapun jalur masuk ke Papua melewati Pulau Sangihe Talaud. Bahkan, Polda Papua juga sedang mengusut dugaan keterlibatan oknum pejabat salah satu Kabupaten di Pegunungan Tengah Papua yang diduga kuat mendanai pembelian senjata tersebut
Menurut saya, selain keberadaan PT Freeport, mengalirnya senjata gelap ke kelompok-kelompok bersenjata di Papua adalah salah satu faktor kenapa konflik di Papua tidak kunjung selesai. Berhasi terungkapnya jaringan pemasok senjata yang didanai oleh oknum pejabat adalah penggambaran jelas bahwa ada motif-motif politik dari politikus lokal yang mencoba mengabadikan konflik di Papua untuk kepentingan pribadi. Perjuangan terhadap kedamaian Papua dirusak oleh nafsu politis para politikus dengan menggunakan kelompok bersenjata sebagai alatnya.
Kedua, Ancaman Boikot Pilpres, Selasa lalu, gerakan yang menyebut dirinya sebagai Solidaritas Mahasiswa Papua berunjuk rasa di depan kantor PT Freeport, Wisma 89, Jalan Rasuna Said, Jakarta. Dalam aksi tersebut, mereka menuntut untuk mengusir PT Freeport dan memboikot Pilpres. Kemarin, sejumlah orang mengatasnamakan Perwakilan Masyarakat Papua berunjukrasa di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Kelompok ini mengancam akan memboikot Pilpres bila pemilu legislatif di Papua tidak diulang.
Saya selalu berfikir bahwa memilih untuk tidak memilih adalah salah satu pilihan, ketika ada personal yang memilih untuk tidak ikut dalam pemilu adalah hak personal tersebut, tidak boleh untuk dipaksakan, tetapi ketika mengajak apalagi mengancam orang lain untuk memboikot Pilpres, tidaklah dapat dibenarkan. Apalagi melihat bahwa papua merupakan bagian dari NKRI, yang otomatis kebijakan Presiden Indonesia selanjutnya akan mempengaruhi kebijakan terhadap rakyat Indonesia di Papua. Menurut saya, pemboikotan terhadap Pilpres adalah salah satu bentuk ketidakpedulian terhadap nasib masyakarat Papua lima tahun ke depan.
Kesimpulan
Pilpres adalah even besar dan penting yang akan menentukan nasib Indonesia, termasuk Papua, paling tidak lima tahun ke depan. Mungkin akan ada kelompok-kelompok bersenjata-oportunis, atau kelompok-kelompok terpelajar-apatis yang akan mencoba membuat kondisi Papua menjadi “medan pertarungan” yang tidak kondusif demi kepentingan golongan dan pribadi mereka, tapi saya yakin mayoritas masyarakat Papua benar-benar tulus menginginkan kemakmuran di Papua. Jangan sampai Pilpres dijadikan alat bagi kelompok oportunis-apatis untuk memelihara konflik di Papua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI