Semalam, saya membaca berbagai berita di media massa mengenai aksi unjuk rasa yang berujung ricuh dari saudara-saudara saya, sesama pemuda Papua di perantauan, di depan Kantor Pusat PT. Freeport Indonesia Jl HR Rasuna Said Kav X-7/6 Plaza 89 Ground Floor, Jakarta. Dalam unjuk rasa tersebut, pengunjuk rasa mengancam akan melaksanakan sosialisasi untuk memboikot Pilpres 2014, bila pemerintah dan PT Freeport tidak bertanggung jawab terhadap konflik-konflik di Timika akibat keberadaan PT Freeport di daerah tersebut.
Permasalahan keberadaan PT Freeport di Papua seperti benalu menahun pada tumbuhan, menguras sumber dari tumbuhan induk untuk kepentingan sendiri. Keberadaan benalu PT Freeport di Indonesia sendiri memiliki sejarah yang panjang. Menurut Lisa Pease, penulis “JFK, Indonesia, CIA and Freeport” yang tulisannya ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC, sepak terjang PT Freeport di Indonesia dimulai sebelum tahun 1967, tahun dimana PT Freeport memulai dominasinya di Papua. Rencana PT Freeport untuk menguasi pertambangan di Papua sempat mendapat ganjalan dari kebijakan Presiden Soekarno pada tahun 1961 yang memutuskan kebijakan baru bahwa kontrak pertambangan dengan perusahaan asing mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Keberhasilan PT Freeport mendominasi pertambangan di Papua dimulai ketika Pemerintahan Indonesia dibawah Presiden Soeharto mengeluarkan UU No 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Ketika itu sisi tawar pemerintah Indonesia sangat kecil, yaitu hanya sekedar pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja dan modal tentu posisi tawar pemerintah saat itu masih kecil. Dalam periode dominasi PT Freeport di Papua, yang perlu menjadi catatan adalah pada tahun 1996, seorang eksekutif PT Freeport, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman yang memaparkan mengenai tambang emas di Papua adalah tambang emas terbesar di dunia sekaligus yang termurah di dunia.
Pertanyaannya adalah, kenapa yang termurah?
Selama bertahun-tahun mendominasi pertambangan di Papua, PT Freeport menikmati pertambangan konsentrat mineral artinya yang ditambang di Papua adalah barang tambang mentah dan belum dimurnikan dengan alasan tidak adanya Smelter (pabrik pemurnian) di Papua. Sehingga selama bertahun-tahun terjadi “pencurian yang tersamarkan” di Papua, karena dari konsentrat mineral yang dikirim ke luar negeri untuk dimurnikan bisa jadi tidak hanya terdapat tembaga dan emas saja, mungkin juga terdapat mineral lainnya, termasuk Uranium.
Lalu, pertanyaan yang kedua adalah, apakah pemeritah Indonesia hanya diam?
Posisi tawar pemerintah Indonesia saat ini tidak selemah posisi tawar pemerintah Indonesia di tahun 1967, ketika pertama kali Kontrak Karya dengan PT Freeport ditandatangani. Pada tahun 2009 dibuat UU No 4 tahun 2009 Tentang Minerba oleh DPR dan Pemerintah yang mewajibkan dalam tiga tahun setelah ditetapkan yaitu tahun 2013 semua Perusahaan Tambang, harus sudah membuat smelter. Untuk menghindari praktek “pencurian-pencurian yang tersamarkan” oleh perusahaan asing terjadi. Pemerintah Indonesia mengancam PT Freeport untuk segera membangun smelter atau akan diminta berhenti melanjutkan operasinya. Kemudian pemerintah mengeluarkan PP No 1 tahun 2014 dan Permen ESDM sebagai perpanjangan dari UU tersebut.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana reaksi PT Freeport terhadap ancaman Pemerintah Indonesia?
PT Freeport selalu menyampaikan bahwa mustahil untuk memenuhi tuntutan UU No 4 tahun 2009 tersebut, walaupun hal tersebut seakan dibuat-buat karena waktu yang diberikan untuk membangun smelter sudah sangat panjang. Bila dipaksakan untuk dilaksanakan, PT Freeport menyampaikan akan melaksanakan PHK terhadap buruh-buruh di tambang Freeport. Seakan menggertak, PT Freeport menyampaikan bahwa akan ada 31 ribu pekerja yang akan terkena dampak langsung bila undang-undang ini dipaksa untuk segera diterapkan.
Sudah bertahun-tahun PT Freeport bercokol di Papua, selama itu pula konflik-konflik terjadi di Papua sedikit-banyak karena arogansi perusahaan asing ini di Papua. Pemerintah Indonesia perlu menegakan kedaulatannya di tanah Papua, agar tidak diinjak-injak oleh perusahaan asing. Melihat situasi poltik di Indonesia yang sedang masuk ke dalam masa transisi, maka terpilihnya pemimpin pemerintah Indonesia baru yang berani menghadapi arogansi-arogansi perusahaan asing di Indonesia sangat diperlukan, bila tidak, usaha-usaha pemimpin pemerintahan sebelumnya bisa hanya sia-sia belaka. Oleh karena itu, saya pikir ancaman untuk pemboikotan pilpres dalam demo PT Freeport kurang tepat, mari kita pilih pemimpin yang tepat untuk kampung halaman kita, Papua.
Pertanyaan terakhir adalah, wahai Capres 2014, Prabowo dan Jokowi, can we put our trust on you?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H