Mohon tunggu...
Wonenuka Sampari
Wonenuka Sampari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

One People One Soul

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papua Melawan Lupa

12 Mei 2014   19:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Won't you help to sing These songs of freedom?” lantunan lirik lagu “Redemption” milik Bob Marley masih terdengar di telinga saya, mengiringi penerbangan melelahkan menuju kampung halaman tercinta, Papua. Seorang pramugari cantik mencolek bahu saya, “persiapan mendarat pak” katanya sopan, kalimat halus yang serta merta mengangkat kepenatan berjam-jam di pesawat kelas ekonomi ini seakan sirna sudah. Bukan karena tutur kata yang halus atau kecantikan dari pramugari tapi bayangan saya terhadap kampung halaman yang saya tidak kunjungi selama hampir 2,5 tahun seakan membuncah. Ah, betapa saya rindukan kampung saya….

Saya hanya seorang mahasiswa dari pedalaman sebuah desa di Warsa, Yeruboi namanya. Sebagai mahasiswa Papua pas-pasan yang hidup di perantauan, bagi saya kembali ke Papua adalah seperti natal di bulan Mei. Dalam beberapa menit kemudian, pesawat mendarat dengan mulus, walaupun ketika itu Biak sedang diguyur hujan yang lumayan deras, samar-samar nama Bandara Frans Kaisiepo terlihat dari jendela pesawat saya. Ya…Frans Kaisiepo, seorang pejuang asli Papua yang namanya terkadang hanya diingat sebagai nama Gubernur Papua saja, atau yang lebih parah hanya dianggap sebagai nama Bandara di Biak oleh orang-orang Papua sendiri.

Frans Kaisiepo adalah anak asli Biak, perjuangannya terhadap Papua tergugah ketika ia mengikuti Papua Bestuur School (Kursus Kilat Pamong Praja Papua) buatan pemerintah kolonialis Belanda. Bersama Marthen Indey, Silas Papare, G Saweri, Albert Karubuy, Lodewijk, Barent Mandatjan, Samuel Damianus Kawab dan Joseph Djohari, Frans Kaisiepo sering melakukan diskusi-diskusi tersembunyi untuk memikirkan pembebasan Papua dari Kolonialis Belanda. Puncaknya, pada 17 Agustus 1945, para pemuda-pemuda pejuang papua tersebut melaksanakan upacara pengibaran Bendera Merah Putih di Jayapura, Akibat dari tindakan itu seluruh peserta Upacara harus meringkuk dalam tahanan polisi Belanda lebih dari tiga bulan.

Pada bulan Juli 1946 Frans menjadi anggota delegasi pada konferensi Malino di Sulawesi selatan yang dipelopori oleh Dr HJ Van Mook. Dialah putra asli Papua dalam konferensi Malino. Dalam pertemuan tersebut, Frans Kaisiepo termasuk anggota delegasi yang menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) sebab NIT tanpa Papua. Sehubungan hal itu ia mengusulkan Papua masuk karisedenanSulawesi Utara. Frans berpendapat bahwa NIT adalah usaha terakhir pemerintah kolonialis Belanda untuk memisahkan Papua dari Indonesia.

Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Frans menunujukan kembali perlawanannya terhadap kolonialis Belanda dengan tidak setuju untuk menjadi delegasi Nederlands New Guinea. Alasan Frans adalah karena tidak mau didikte dalam berbicara sesuai keinginan Belanda. Akibatnya Frans Kaisiepo dipenjarakan oleh Pemerintah Kolonialis Belanda dari tahun 1954 – 1961. Setelah meninggal pada 10 April 1979, atas jasa-jasanya melepaskan rakyat Papua dari cengkraman kolonialis Belanda, pada tahun 1984 namanya diabadikan menjadi nama Bandara Biak dan tahun 1993, Frans Kaiseipo dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.

Pesawat sudah berhenti, sebelum berkemas, sejenak saya sesuaikan waktu di jam KW saya dengan waktu Indonesia Timur. Selalu ada perasaan yang aneh ketika saya mencocokan jam saya, seakan pertanda bahwa saya, sebagai anak asli Papua seperti Frans Kaisiepo, sudah resmi kembali ke kampungnya, setelah berjuang menuntut ilmu di tanah perantauan. Sudah waktunya pemuda Papua bangkit membangun Papua dengan mengingat jasa pejuang Papua terdahulu, agar tidak hilang dari akarnya.

Sambil melewati pintu pesawat, sejenak saya melempar senyum kepada pramugari yang tadi mencolek bahu saya, seorang gadis Papua dengan senyum yang sangat menawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun