Mohon tunggu...
Wonenuka Sampari
Wonenuka Sampari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

One People One Soul

Selanjutnya

Tutup

Politik

Episode Baru Pilpres 2014, Harga dari Sebuah Demokrasi

22 Juli 2014   23:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:32 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14060225071435589298

[caption id="attachment_316408" align="aligncenter" width="490" caption="Jokowi dan Prabowo dengan Topi Khas Papua. Sumber (Jokowi : Liputan6.com Prabowo : Tribunnews.com)"][/caption]

Siang ini saya kembali ke kost sekitar pukul 14.30 WIB, rencananya saya ingin berbaring sambil sejenak memejamkan mata karena sampai dini hari tadi, saya masih sibuk menyelesaikan tugas kuliah saya. Sambil menyalakan TV, karena ingin tahu hasil rekapitulasi provinsi Papua yang belum keluar, saya pilih saluran TV One, sambil terkantuk saya pilih sleep mode di TV saya. Belum hitungan menit indera penglihatan saya terpejam, indera saya yang lain, telinga, mendengarkan TV One menyiarkan pengunguman Prabowo untuk mundur dari proses Pilpres. “Baiklah, Prabowo berhasil membuat kantuk saya hilang” pikir saya sambil menyimak berita tersebut. Pidato menggelegar Prabowo dan kemudian dilanjutkan pernyataan saksi-saksi dari pasangan capres No. urut 1 untuk mundur dari rekapitulasi suara pilpres saya simak baik-baik dengan satu kalimat saya di akhir berita tersebut “Ya, seperti inilah demokrasi”.

Pemilu 2014 ini memang unik, dimana masyarakat Indonesia benar-benar terbagi menjadi 2 kubu, pendukung Prabowo-Hatta dan pendukung Jokowi-JK. Sejujurnya saya melihat pemilu 2014 ini sangat riskan untuk melahirkan konflik berkepanjangan setelah pengumuman hasil pilpres bahkan setelah Presiden nanti mulai menjabat. Karena bila melihat massif, besar, dan loyalnya pendukung kedua kubu, apabila ada yang kalah, baik dari Prabowo maupun dari Jokowi, akan berpotensi menggoyah kebijakan-kebijakan Presiden terpilih 5 tahun ke depan. Pemerintah Indonesia akan kembali sibuk dalam usaha penstabilan politik dalam 5 tahun ke depan bila hal itu terjadi, karena dualisme kepemimpinan.

Entah bagaimana, demi Indonesia, Presiden Indonesia 5 tahun ke depan, entah itu Prabowo ataupun Jokowi harus didukung oleh kubu lawan juga, sehingga dibelakang Presiden Indonesia ada rakyat Indonesia, dan juga anggota-anggota legislative tentunya, yang mendukungnya penuh. Sehingga tidak terjadi dualisme kepemimpinan Indonesia.

Bicara tentang dualisme kepemimpinan, ketidakberhasilan usaha-usaha OPM patut dijadikan contoh. Selama ini OPM baik sayap militer maupun sayap politik mengalami dualisme kepemimpinan, kalau tidak disebut belasisme kepemimpinan, yang artinya ada belasan tokoh yang mengklaim bahwa ialah yang menjadi “pemimpin” orang-orang Papua, dan antar tokoh dan organisasinya saling tikung-menikung usaha organisasi lainnya yang sama-sama mengklaim bahwa merekalah OPM yang sesungguhnya dan mewakili suara seluruh rakyat Papua.

Sebut saja Forkorus Yoboisembut, yang baru saja lepas dari penjara kemarin. Ia mengklaim sebagai Presiden Papua Barat (Negara Republik Federasi Papua Barat/NRFPB),berdasarkan Konferensi Rakyat Papua III yang dilaksanakan pada Oktober 2011 yang hanya dihadiri oleh kurang dari 700 masyarakat Papua. Padahal ketika itu rakyat papua lebih dari 2 juta jiwa. Akhirnya, seperti yang dapat diramalkan, organisasi-oraganisasi lain semacam Komite Nasional Papua Barat (KNPB), West Papua National Council Liberation (WPNCL), West Papua National Authority (WPNA), Otorita Nasional Papua Barat (ONPB), West Papua Liberation Organization (WPLO) dan organisasi-organisasi laiinya tidak patuh terhadap Forkorus. Akhirnya Presiden NRFPB hanya sebagai kata “presiden”, tidak pernah lebih dari itu.

Saya berharap, pemilu 2014 ini dapat melahirkan Presiden yang tidak hanya cakap bagi Indonesia, tapi juga didukung oleh seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya Presiden yang hanya terbatas kata “presiden” saja, tapi tidak didukung sepenuhnya oleh rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun