Mohon tunggu...
Wonenuka Sampari
Wonenuka Sampari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

One People One Soul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stigma Buruk Mahasiswa Papua: Bagaimana Seharusnya Masyarakat Indonesia Melihat

18 Oktober 2014   01:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:37 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14135438392129492347

[caption id="attachment_329588" align="aligncenter" width="630" caption="ilustrasi (Sumber : http://culturalconflict.wordpress.com/2013/12/09/culture-stereotype/)"][/caption]

Manusia, selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhuk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, bermula dari ketidakmampuan manusia sebagai makhluk individu dalam memenuhi kebutuhannya. Dari sini manusia mulai membutuhkan bantuan orang lain, sehingga terjadilah interaksi antara manusia satu dengan lainnya. Dalam interaksi tersebut, manusia seringkali memberikan penilaian terhadap manusia lainya, untuk mengetahui apakah manusia ini secara individu cocok dengannya, sehingga interaksi sosial dapat berjalan dengan baik. Tetapi, proses penilaian ini begitu sulitnya sehingga terkadang manusia mengambil jalan pintas untuk menilai manusia lainnya. Antara lain dengan menilai hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Penilaian seperti ini bisa dikatakan sebagai Stereotype.

Stereotype ini tidak selalu berbau negative, sebagai contoh adalah peristiwa yang terjadi kepada teman saya. Budi, sebut saja seperti itu, adalah teman satu kampus saya ketika menempuh pendidikan Strata satu di salah satu universitas negeri di Surakarta. Setelah lulus kami menempuh jalan yang berbeda, saya melanjutkan pendidikan, sedangkan Budi menerima pekerjaan di salah satu perusahaan provider telekomunikasi di Jakarta. Ia berangkat ke Jakarta dengan membawa motor kesayangannya, Honda Impressa keluaran tahun 1996. Suatu hari, ia pulang dari kantor agak malam, ketika melewati terminal Manggarai, ia tiba-tiba diberhentikan oleh seorang wanita. Budi pun berhenti, agak terkejut ia bertanya “Ada apa bu?”. Si wanita, yang Budi taksir umurnya sekitar 50-an tahun ini berkata “Nak mau kemana? Saya boleh menumpang motornya?” Tanya si ibu sambil menunjukan daerah yang dituju, yang kebetulan satu arah dengan jalan Budi menuju kost-nya. Dengan agak heran, Budi membolehkan si ibu menumpang motornya.

Dalam perjalanan, Budi masih terheran-heran, kenapa si Ibu ini berani memberhentikan kemudian meminta tumpangan kepada dirinya, orang yang sama sekali tidak dikenal si ibu, apakah si ibu tidak takut kalau nanti ia rampok? Karena tidak tahan penasaran, si Budi pun memberanikan menanyakan hal tersebut kepada si ibu. Dan jawaban si ibu tambah membuat ia heran sekaligus sedikit bangga. Si ibu menjelaskan bahwa ia adalah orang betawi, punya seorang anak perempuan yang dinikahi oleh pria dari Surakarta. Keluarga menantunya ini begitu baik kepada si ibu ketika ia tinggal di rumah keluarga besannya itu, bahkan tetangga-tetangga keluarga menantunya juga bersikap baik kepada si ibu, hal ini begitu membekas kepada si ibu. Kebetulan si ibu tahu bahwa plat nomor polisi di Surakarta adalah “AD, kebetulan ia melihat motor yang dipakai Budi juga berplat nomor “AD”, si ibu pun memutuskan untuk meminta bantuan kepada Budi karena si ibu sangat lelah saat itu. Ia berpresepsi bahwa si Budi adalah orang Surakarta, dan seperti beberapa orang Surakarta yang si ibu kenal ini bersikap baik kepadanya, ia pun berpresepsi bahwa Budi juga akan bersikap baik kepadanya.

Bila dilihat dari contoh kisah di atas, terlihat si ibu mengambil jalan pintas dalam proses menilai Budi. Ia menilai Budi sebagai orang Surakarta yang ia kenal bersikap baik kepadanya. Si ibu beruntung, Budi memang pemuda yang baik, bahkan si ibu juga beruntung, orang yang naik motor berplat nomor “AD” itu orang Surakarta. Kisah Budi ini merupakan sisi positif dari stereotype, sedangkan Dalam bentuk negatif, Stereotipe bisa disebut Stigmatisasi. Menurut seorang tokoh sosiologi, Erving Goffman, Stigma adalah atribut negative yang dikaitkan dengan orang-orang yang dianggap “berbeda” oleh orang “normal”. Hal itu mengidentifikasi bahwa pelabelan tentang sesorang diakibatkan oleh adanya ketidaksamaannya dengan orang-orang yang dianggap sebagai orang normal atau dalam hal ini “orang-orang pada umumnya”. Stigma yang diberikan seseorang kepada orang lain seringkali menimbulkan proses pembentukan identitas bagi orang yang dianggap menyimpang atau tidak normal. Stigmatisasi ini terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk terjadi kepada mahasiswa Papua di perantauan.

Stigmatisasi Mahasiswa Papua di Perantauan

Papua, bila dilihat dari “bentuk” jauh berbeda dengan rakyat Indonesia pada “normalnya” atau “umumnya”. Kulit yang lebih hitam dan rambut yang lebih keriting dibandingkan yang lainnya. Oleh sebab itu, mau tidak mau akan hadir stigmatisasi terhadap orang-orang Papua yang berdasarkan kepada prasangka-prasangka berlandaskan pada sedikit informasi tentang orang papua tanpa berinteraksi langsung dengan orang Papua. Kurang terpelajar, etos kerja yang rendah, primitif, sex bebas, peminum minuman keras, temperamental, dan terbelakang serta termarjinalkan bahkan bagian dari kelompok saparatis kerap menjadi stigma orang-orang Papua, terutama mahasiswa Papua yang sedang belajar di berbagai daerah di Indonesia.

Setelah pemberlakuan Otsus Papua, kota-kota besar di Indonesia yang memiliki perguruan tinggi ternama dibanjiri oleh mahasiswa-mahasiswa asal Papua. Mahasiswa-mahasiswa Papua ini pun mempunyai 2 tantangan yang berat, yang pertama adalah belajar dengan baik, yang kedua adalah beradaptasi dengan masyarakat lokal tempat mahasiswa Papua menuntut ilmu. Ternyata 2 tantangan ini begitu berat, terutama beradaptasi dengan kehidupan masyarakat lokal karena berbagai perbedaan budaya. Kesulitan itu semakin bertambah dengan stigma-stigma yang menempel kepada mahasiswa-mahasiswa Papua seperti yang tertulis di atas.

Beberapa minggu yang lalu, saya menulis tentang pesan seorang tokoh Papua, Nikolas Kondomo kepada mahasiswa Papua di Yogyakarta (baca di sini). Tulisan tersebut mendapatkan tanggapan yang luar biasa dari para kompasianer, dalam kolom tanggapan bahkan beberapa kompasianer memaparkan pengalaman mereka dalam berinteraksi dengan mahasiswa Papua, yang rata-rata buruk. Dengan membaca tanggapan-tanggapan tersebut saya bisa menyimpulkan bahwa adanya stigma buruk masyarakat lokal terhadap mahasiswa Papua kemudian dibenarkan oleh prilaku beberapa mahasiswa Papua yang kemudian berimbas buruk kepada mahasiswa Papua lainnya. Stigma ini akan berpotensi merugikan mahasiswa Papua lainnya, yang benar-benar berniat untuk menuntut ilmu. Oleh sebab itu, saya sebagai salah satu mahasiswa Papua di perantauan, mencoba mencari jalan tengah terkait permasalahan ini.

Belajar dari Semen Padang dan Jackson Tiago

Bukan rahasia lagi, salah satu klub sepak bola Indonesia, Semen Padang, banyak menggunakan talenta-talenta Papua. Semen Padang mampu memoles talenta mentah anak-anak muda Papua menjadi pemain yang mengkilap. Mulai dari Pulalo bersaudara di pertengahan 90-an, Alexander Pulalo dan Herman Pulalo kemudian masuk pada generasi Erol Iba dan Ellie Aiboy di tahun 2000-an sampai Titus Bonai dan Vendry Mofu saat ini. Pemain-pemain ini dipoles di Semen Padang, dari pemain yang tidak dikenal sampai menjadi salah satu pemain yang terkenal talentanya di Indonesia.

Apa jurus Semen Padang “menjinakan” pemain-pemain Papua yang terkenal sulit untuk dijinakan ini? Ternyata kuncinya adalah Semen Padang menjaga hak-hak pemain sebaik mungkin. Jika hak sudah dibayarkan dan kesejahteraan sudah terjamin, manajemen tim hanya tinggal menuntut totalitas dan profesionalitas si pemain. Dengan cara ini, pemain-pemain Semen Padang termasuk yang berasal dari Papua pun takluk. Talenta dan skill mereka akan tereksplorasi dengan sempurna. Ditambah suasana kekeluargaan yang selalu dibangun di tengah tim, membuat pemain asal Papua siap menjadikan Semen Padang sebagai rumah mereka yang kedua.

Selain Semen Padang, urusan melunakan pemain Papua dan keberhasilan mengeluarkan potensi pemain Papua, kita harus belajar kepada Jackson Tiago, pelatih Persipura. Jackson Tiago menyampaikan bahwa yang ia lakukan adalah memberikan wawasan kepada pemain Papua. Ia tidak pernah melarang pemain untuk tidak melakukan hal apapun, tetapi ia memberi pengertian bahwa pemain harus bertanggungjawab bila mereka melakukan tindakan indisipliner, akan ada sanksinya. Selain itu, di Persipura setiap hari Minggu selalu dilakukan ibadah bersama, bahkan ketika mereka berada di luar Jayapura, mereka selalu melakukan ibadah bersama dengan mendatangkan pendeta. Bila ada pemain yang memilik persoalan, maka mereka melakukan doa khusus untuk pemain tersebut. Sehingga situasi kekeluargaan dan kebersamaan sangat terasa.

Dari kedua contoh di atas dapat terlihat bahwa bagaimana Semen Padang dan Jackson Tiago memperlakukan pemuda-pemuda Papua ini tidak special, seperti memanusiakan manusia pada umumnya. Semen Padang memberikan mereka suasana rumah kedua, dimana hak dan kewajiban diberikan secara seimbang. Siapa yang tidak butuh rumah kedua ketika kita jauh dari kampung halaman kita? Sedangkan Jackson Tiago memberikan mereka tanggung jawab sambil memberikan nilai-nilai kerohanian pada pemainnya. Siapa yang tidak tersentuh bila selalu dibina nilai-bilai rohaninya?

Penutup

Saya mungkin salah satu yang beruntung, lingkungan di sekitar saya mendukung perkembangan saya ketika jauh dari Papua. Gereja membantu saya untuk bertoleransi, orang tua asuh saya membantu saya untuk beradaptasi, teman main basket saya membantu saya bersosialisasi. Tetapi tidak semua mahasiswa Papua mendapatkan apa yang saya dapatkan. Tidak semua stigma-stigma itu berlaku untuk semua mahasiswa Papua, sebagai contoh tidak semua mahasiswa Papua mendukung OPM, dari 7300-an mahasiswa Papua di Yogyakarta hanya 30-50 orang saja yang ikut aksi-aksi yang mendukung OPM.

Stigmatisasi selalu terasa menyakitkan, terkadang bisa mematikan potensi seseorang. Sudah terlihat bahwa banyak pemuda-pemuda Papua yang sukses, mereka bisa seperti itu karena didukung lingkungan yang baik, lingkungan yang menerima dia. Papua adalah Indonesia, oleh karena itu, proses pembangunan di Papua dan penyelesaian konflik di Papua membutuhkan bantuan dari seluruh rakyat Indonesia juga. Bantuan itu salah satunya adalah memberikan lingkungan yang membantu mahasiswa Papua untuk berkembang. Untuk sodara-sodaraku mahasiswa Papua, kemajuan Papua di tangan generasi kita, jangan sia-siakan kesempatan untuk belajar ini yang belum tentu bisa didapat oleh pemuda dari daerah lain. Tunjukan kepada dunia bahwa kita bisa, tunjukan kepada dunia bahwa kita mampu, tunjukan kepada dunia bahwa kita layak untuk dipercaya.

Ritzer, George & Goodman, Douglas. (2011). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana

http://www.goal.com/id-ID/news/1391/indonesia-super-league/2014/10/08/5165560/spesial-kisah-kasih-pemain-papua-di-semen-padang

http://bola.kompas.com/read/2011/03/23/0747359/Jacksen.Pemain.Papua.Perlu.Pendekatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun