[caption id="attachment_341642" align="aligncenter" width="320" caption="Ilustrasi (Sumber : http://sdpeacejustice.wordpress.com)"][/caption]
Seperti yang saya tulis dalam tulisan saya sebelumnya, bahwa beberapa pendeta Papua menolak kedatangan Jokowi untuk menghadiri Perayaan Natal Nasional di Papua. Ketiga pendeta tersebut adalah Pdt. Socratez Sofyan Yoman (Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Pdt. Dr. Benny Giay (Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Papua) dan Pendeta Selvi Titihalawa. Mereka menyampaikan bahwa penolakan mereka terkait hal tersebut dikarenakan adanya permasalahan terjadinya bentrok antara masyarakat sipil dengan aparat keamanan di Paniai.
Apakah benar seperti itu? Padahal kedatangan Jokowi ke Papua tidak menjadi sebab dari peristiwa Paniai. Bahkan menurut saya, dengan adanya permasalahan ini kedatangan Jokowi ke Papua menjadi sangat krusial dan penting karena sudah menjadi tugas seorang Jokowi sebagai presiden untuk memperhatikan permasalahan rakyatnya di Paniai. Selain itu, kedatangan Jokowi yang akan membawa para dubes negara sahabat akan menjadi pintu masuk jurnalis luar negeri ke Papua, seperti yang sering dituntut oleh Pdt. Socratez Sofyan Yoman sendiri.
Lalu, apa sebenarnya alasan penolakan para tokoh gereja Papua di atas? Apakah ketiga tokoh gereja ini membawa pesan pihak lain yang tersembunyi dalam pernyataannya tersebut?
Pdt. Socratez Sofyan Yoman, sebagai seorang pendeta, ia mempunyai hubungan dekat dengan Benny Wenda, salah satu aktivis Papua merdeka di luar negeri. Beberapa kali, Benny Wenda mengajak Pdt. Socratez Sofyan Yoman dalam safari politiknya di berbagai negara di Eropa untuk mendapatkan dukungan luar negeri dalam usahanya memisahkan Papua dari Indonesia. Bahkan Benny Wenda juga mengajak Socratez Yoman ke Inggris, untuk meminta dukungan parlemen Inggris yang tentu saja tidak ada hubungan sangkut pautnya dengan masalah ke-gerejaan yang menjadi kapasitas Socratez sebagai seorang pendeta.
[caption id="attachment_341643" align="aligncenter" width="450" caption="Benny Wenda (merah), Suriel Mofu (Berjas hitam) dan Socratez Yoman (berjas abu-abu) dalam safari politik Benny Wenda di Parlemen Inggris (sumber : https://thegreatwenda.wordpress.com/)"]
Oleh sebab itu, Socratez Sofyan Yoman, tidak bisa (hanya) disebut sebagai pendeta saja, tetapi juga sebagai seorang aktivis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Hal yang menyedihkan adalah ketika ia berbicara dalam kapasitasnya sebagai pendeta tetapi dengan membawa pesan-pesan seorang aktivis OPM. Akhirnya terjadilah politisasi gereja, Gereja dieksploitasi sedemikian rupa untuk meraup keuntungan politik dari oknum atau lembaga dengan kepentingan tertentu. Gereja hanya menjadi “kendaraan” mereka, ditunggangi kepentingan politis. Sungguh ironis…
Kedatangan Jokowi ke Papua dengan membawa para duta besar negara sahabat akan memperlihatkan pembangunan yang terjadi di Papua. Sekaligus akan menerangkan bahwa Jokowi sangat concern dalam permasalahan Papua kepada para dubes ini secara langsung. Dari hal tersebut, secara kasat mata terlihat bahwa Perayaan Natal Nasional di Papua nanti akan menghambat usaha OPM dalam diplomasinya di luar negeri untuk memisahkan Papua dari Indonesia yang selalu menggembor-gemborkan keterbelakangan Papua. Socratez, sebagai seorang pendeta dan juga aktivis Papua merdeka memiliki kewajiban untuk mencegah hal tersebut terjadi. Oleh sebab itu, kedatangan Jokowi ke Papua harus ia cegah.
Oleh sebab itu, ada atau tidaknya peristiwa Paniai, penolakan terhadap kedatangan Jokowi akan tetap dilakukan oleh para aktivis OPM. Terjadinya peristiwa Paniai hanya menjadi alasan dari penolakan kedatangan Jokowi, sedangkan gereja hanya menjadi pembungkus para aktivis OPM yang menyuarakan penolakan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H