[caption id="attachment_352650" align="aligncenter" width="318" caption="Benny Wenda, edited (http://www.ntnews.com.au/)"][/caption]
Salah satu kelompok faksi politik OPM (Organisasi Papua Merdeka), Free West Papua Campaign (FWPC) yang dipimpin salah satu aktifis OPM di luar negeri, Benny Wenda, membuka kantornya di Afrika Selatan. Sejak 19 Februari lalu, memang Benny Wenda melakukan safari politik di negara Afrika Selatan. Berbagai agenda ia lakukan mulai dari seminar hingga membuka kantor FWPC baru di Afrika Selatan. Dalam pidatonya di Centre for Civil Society, Memorial Tower, Durban tanggal 19 Februari lalu ia mengatakan bahwa ratusan orang Papua dibunuh setiap harinya oleh pemerintah Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa ia mendirikan kantor FWPC di Afrika Selatan karena terinspirasi oleh perjuangan tokoh-tokoh Afrika Selatan dalam perjuangannya dalam isu Apartheid yang ia klaim juga terjadi saat ini di Papua.
Walaupun sedikit terganggu dengan pendirian kantor baru FWPC di Afrika Selatan oleh Benny Wenda, tetapi hal yang benar-benar menyengat perhatian saya adalah ketika Benny mengatakan bahwa “ratusan Orang Papua dibunuh oleh Pemerintah Indonesia setiap harinya” dan “kasus Apartheid sedang terjadi di Papua saat ini”. Sebagai orang Papua, saya selalu merasa deg-deg an bila Benny Wenda mengeluarkan statemennya tentang Papua yang terkadang tidak dilandasi oleh fakta atau kata kasarnya “bohong”, karena Benny Wenda selalu mengatakan bahwa ia mewakili Orang Papua, yang selalu ia sebut sebagai “My People”. Bila perkataan-perkataan Benny Wenda tersebut ditemukan fakta sebenarnya, maka bukan hanya Benny Wenda yang dicap sebagai pembohong, Orang Papua lainnya juga bisa terkena dampak dari kebohongan-kebohongan tersebut.
Genosida Terjadi di Papua?
Isu ini sebenarnya kerap digunakan aktivis OPM dalam usahanya mendapatkan simpati dunia internasional. Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses Kalosil, salah satu sponsor utama pergerakan OPM di luar negeri pernah menuduh Indonesia melakukan Genosida di Papua dalam forum Sidang tahunan Dewan HAM PBB di Jenewa, maret 2014 lalu. Genosida dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras, apakah hal tersebut terjadi kepada orang Papua?
Forkorus Yaboisembut, tokoh OPM yang mengklaim menjabat sebagai Presiden NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat) mengatakan “Secara definisi mungkin Orang Asli Papua (OAP) belum bisa dikatakan mengalami genodisida, tetapi sesunguhnya OAP sedang menuju kearah sana”. Forkorus bersikeras berpendapat bahwa mestinya saat ini penduduk asli Papua berjumlah 6 juta jiwa. Data faktual dari BPS menyebutkan bahwa Jumlah penduduk Papua tahun 1971 versi BPS adalah 923.440 jiwa. Hasil sensus penduduk tahun 2000 tercatat 2.220.934 jiwa. Sepuluh tahun kemudian, sensus 2010 berjumlah 2.833.381 (di Papua) dan di Papua Barat 760.422 jiwa. Dari 2.833.381 penduduk Provinsi Papua tersebut, terdapat 674.063 warga non papua (pendatang), sedangkan warga asli Papua sebanyak 2.159.318. Berarti terjadi pertambahan penduduk asli Papua dalam 40 tahun (thn 1971 s.d 2010) sekitar 1,2 juta jiwa (lebih dari dua kali lipat). Bandingkan dengan Provinsi Sumatera Utara. Sensus penduduk tahun 1971 berjumlah 6.621.831 jiwa. Sensus penduduk thn 2010 berjumlah 12.982.204. Demikian juga di Nusa Tenggara Barat (NTB), tahun 1971 berjumlah 2.203.465 menjadi 4.500.212 pada tahun 2010. Maka pertumbuhan penduduk di Papua, Sumatera Utara dan NTB memiliki kecepatan yang rata-rata sama.
Data-data tersebut tidak akan penting bagi Benny Wenda dan para pendukungnya, karena isu genosida dianggap isu yang menarik dunia internasional maka digunakanlah isu tersebut, benar atau tidak benar, jujur ataupun bohong. Selama hal tersebut bermanfaat bagi kepentingannya maka akan dilakukan.
Apartheid Terjadi di Papua?
Apartheid (arti dari bahasa Afrikaans: apart memisah, heid sistem atau hukum) adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990. Praktek politik rasialis apartheid diawali sejak tahun 1930-an ketika Partai Nasional memenangkan pemilihan umum. Sejak saat itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Afrika Selatan cenderung melembagakan hal-hal yang berbau rasial di dalam hampir semua aspek kehidupan rakyatnya.
Kebijakan pertama apartheid secara resmi mengatur aspek pernilahan diantara kedua ras. Berdasarkan aturan Prohibition of Mixed Marriages Act, Act No 55 of 1949, pernikahan antara orang kulit hitam dan putih dilarang. Kemudian secara lebih mendalam, Immorality Amendment Act, Act No 21 of 1950; amended in 1957 (Act 23), hubungan dewasa antara kulit hitam dan putih ditetapkan. Dalam aspek kependudukan, Population Registration Act, Act No 30 of 1950 dikeluarkan untuk mendaftar setiap ras masyarakat. Lalu tidak lama setelah itu Group Areas Act, Act No 41 of 1950 dikeluarkan. Kebijakan ini menandakan bahwa akan ada pemisahan wilayah antara ras kulit putih dan ras kulit hitam. Satu tahun setelah kebijakan tersebut dibuat, untuk mengatur sektor sumber daya manusia kulit hitam, dikeluarkanlah Bantu Building Workers Act, Act No 27 of 1951. Berdasarkan kebijakan ini, orang-orang dari kulit hitam dapat dilatih menjadi pekerja bangunan dimana sebelumnya pekerjaan tersebut hanya diperuntukkan bagi orang-orang ras kulit putih. Namun perlu digarisbawahi bahwa pekerjaan tersebut bertempat di wilayah yang ditinggali ras kulit hitam. Jika mereka bekerja pada daerah kulit putih maka hal tersebut dianggap tindakan kriminal. Selanjutnya, dikeluarkan Prevention of Illegal Squatting Act, Act No 52 of 1951 yang memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menghilangkan ras kulit hitam dari tanah-tanah milik publik atau privat untuk selanjutnya ditempatkan pada camp-camp tertentu. Dalam aspek politis, kebijakan apartheid yang dikeuarkan seperti Separate Representation of Voters Act, Act No 46 of 1951 dan amandemennya mengatur bahwa orang-orang ras kulit hitam tidak memiliki hak suara dalam bidang politis.
Kebijakan seperti ini tidak pernah hadir di Papua, tidak ada perbedaan hukum antara orang asli Papua dan suku pendatang lainnya di Papua. Saya menduga bahwa isu ini digunakan oleh Benny Wenda untuk menarik dukungan tokoh-tokoh Afrika Selatan terhadap kepentingan Benny Wenda dan FWPC yang baru saja mendirikan kantor barunya di Afrika Selatan.
Benny Wenda selama ini selalu mengaku sebagai pemimpin orang Papua dalam berbagai safari politiknya di berbagai negara dalam usahanya memisahkan Papua dari Indonesia. Saya tidak akan mempedulikan hal tersebut, yang saya pedulikan adalah ketika Benny Wenda membawa berita-berita bohong mengenai Papua di luar negeri. Saya berfikir bahwa ketika usaha pemisahan Papua didasarkan pada kebohongan semata, maka usaha tersebut tidak akan mencapai keberhasilan. Benny Wenda boleh bicara di forum internasional dalam usahanya memisahkan Papua dari Indonesia, seperti saya juga boleh menentang usaha tersebut, karena setiap orang memiliki kebebasan untuk berekspresi. Tetapi sangat disayangkan kalau apa yang dibicarakan Benny Wenda tersebut hanya berlandaskan kepada kebohongan semata yang akan merusak namanya, dan nama orang Papua, yang ia klaim dipimpin olehnya.
Sumber :
http://www.southafrica.to/history/Apartheid/apartheid.php
http://en.wikipedia.org/wiki/Apartheid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H