Mohon tunggu...
Mika Riandita
Mika Riandita Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Just ordinary girl.. \r\nPeriang dan ingin menikmati irama hidup yang sebentar ini.. \r\n(^_^)\r\n\r\nwondermica.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Setengah Hatiku Bukan Untukmu...

17 Maret 2010   22:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:21 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendua, tidak selalu dalam urusan cinta. Membagi hati, tidak selalu sama dan seimbang. Kalau selingkuh? Baru deh yang ini terkait cinta-cintaan. Hehehe... Seorang teman bercerita tentang hatinya yang sedang mendua.. Teman (sudah memiliki kekasih) : Kalau saya menyukai wanita lain? Saya : Masih pacaran saja sudah tidak bisa menjaga hati.. Teman : Tapi hati ini tak kuasa, godaannya sangat luar biasa. Bagaimana saya menghadapinya? Kalau cerita teman saya ini tentang cinta. Jawabannya sebenarnya tergantung dari bagaimana dia memilih. Memilih untuk tetap mendua, memilih cinta lama, atau memilih cinta baru yang lebih menggoda. Bosan terhadap kekasih mungkin salah satu alasan mengapa seseorang berbuat demikian. Atau bisa jadi karena sudah tidak ada rasa geregetan yang mungkin timbul di masa awal hubungan. Katanya sih hambar. Dikasih gula atau garam saja. Hahaha... Tapi, penyebabnya tidak hanya di salah satu pihak. Kedua belah pihak yang seharusnya berkompromi mungkin sudah tidak peduli satu sama lain sehingga menimbulkan rasa bosan dan menghilangkan cinta yang ada. Kalau sudah begini, komunikasi menjadi faktor yang menentukan. Bicara dari hati ke hati menjadi salah satu cara mujarab. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini. Jujur deh, sebenarnya kita sangat tahu cara untuk mengembalikan rasa itu. Namun kebanyakan dari kita memungkirinya karena perasaan tidak ingin melakukannya lebih dominan. Mendapatkan sesuatu yang baru memang menarik. Apalagi kita belum pernah merasakannya. Rasanya selalu ingin tahu apa yang baru dari dia, dia dan dia. Sesuatu yang mengalihkan pandangan seseorang tentunya sesuatu yang lebih dari apa yang dimiliki sebelumnya. Kalau tidak ada kelebihan, mana mungkin dia mau untuk mengalihkan pandangan. Ingat lirik lagu Afgan nih, wajahmu mengalihkan duniaku...hahaha.. Asal jangan sampai tersandung yaa...  Ah, banyak sekali alasan mengapa kita tertarik pada sesuatu yang baru. Saya tidak perlu menyebutkan satu-persatu karena keinginan setiap orang berbeda. Mendua itu tidak mudah. Apalagi membagi hati. Pada akhirnya nanti, tetap saja harus memilih. Pilihan adalah sesuatu yang mengandung resiko. Setiap hari kita harus memilih, bahkan untuk hal-hal yang kita anggap sepele. Memilih untuk pakai baju yang mana, makan menggunakan lauk apa, berjalan kemana, tidur jam berapa, sholat pukul berapa, mandi atau tidak dan banyak pilihan lainnya. Sebuah pilihan dimana kita tidak pernah menyadarinya kalau kita sedang memilih. Dibutuhkan variasi setiap kita memilih sesuatu. Tapi, apakah sama kalau dalam urusan cinta? Rasanya kalau pilihan dalam cinta dianalogikan seperti itu, bisa-bisa asas monogami sudah kehilangan tempat dalam urusan cinta. Kesetiaan sudah tidak diperlukan lagi dan dianggap basi. Bukan hanya itu, konsekuensi dari pilihan itu yang membuat kita sangat berat untuk memilih. Suatu pilihan dibutuhkan keberanian untuk melakukannya. Kalau ada yang bilang, pilihan dalam urusan ini tidak segampang kita memilih makanan atau yang lainnya. Ah, siapa bilang... Cukup tanya saja pada hati, apakah pilihan itu sudah sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tapi, apakah benar memang pilihan kita cukup baik bagi kita. Kalau firman Tuhan dalam Al-Quran, "Boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu padahal bagi Allah SWT lebih baik bagimu, dan boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal buruk dalam pandangan Allah SWT" (Al Baqarah :216). Kalau begitu, serahkan pilihan kita pada Tuhan? Trus untuk apa ada shalat istikharah? Sang Khalik hanya bertindak sebagai invisible hand yang menuntun kita pada pilihan terbaik. Cepat atau lambat, kita harus berani mengambil sikap atas sebuah pilihan. Berat ataupun ringan, hanya persoalan bagaimana kita menyikapinya. Dan saya sudah memilih. Semoga pilihan saya diridhoi Sang Khalik. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun