Mohon tunggu...
Mika Riandita
Mika Riandita Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Just ordinary girl.. \r\nPeriang dan ingin menikmati irama hidup yang sebentar ini.. \r\n(^_^)\r\n\r\nwondermica.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cerminku...

16 Maret 2010   04:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:24 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_94754" align="alignleft" width="300" caption="Cerminku..."][/caption] Pada siapa kita bisa melihat bayangan diri? Melihat bahwa paras kita elok atau tidak. Melihat betapa mudanya kita. Melihat bahwa kita sudah tua. Melihat indahnya rambut yang kita miliki. Melihat mancungnya hidung ini. Melihat gigi yang berbaris rapi dengan senyum manis mengembang. Melihat mata yang berbinar atau sayu. Hanya dengan mata kita bisa bercermin. Bisakah bercermin tanpa melihat? Bukan bercermin itu namanya. Adakah cermin lain yang bisa kita lihat? Ada, bayangan yang dipantulkan air dalam baskom atau air danau yang tergenang mungkin bisa menjadi pilihan. Saya memiliki sebuah cermin di kamar tidur. Saya suka sekali bercermin. Ketika bangun dari tidur, saya selalu menyempatkan diri untuk bercermin. Bahkan ketika akan tidur, saya bercermin terlebih dahulu untuk memastikan bahwa muka saya sudah bersih. Hehehe... Saya selalu membutuhkan cermin. Tidak cuma untuk berkaca, juga untuk melihat segala perbuatan yang selama ini saya lakukan. Saya bisa tahu semua yang telah terjadi benar atau salah dengan bercermin. Sayang, cermin yang saya miliki mulai pudar. Saya hampir tidak bisa berkaca. Saya butuh sedikit kain untuk membersihkannya agar saya tetap bisa bercermin. Tapi, saya tidak pernah memikirkan, apakah cermin yang saya miliki menyukai saya. Apakah dia kesal karena melihat muka saya yang itu-itu saja. Yang seiring berjalannya waktu menjadi berubah. Dari kecil menjadi muda kemudian tua. Dan pada akhirnya saya tidak bisa bercermin lagi. Lalu pada siapa saya bisa bercermin? Tidak demikian cermin kehidupan saya, dia tak kasat mata namun selalu mengiringi setiap liku-liku hidup. Ingin tahu bentuknya? Yang pasti saya sendiri tidak bisa membayangkannya. Karena dia ada dalam hati saya, bukan dalam pikiran saya. Dan yang bisa menjelaskan adalah hati ini bagaimana cermin itu bekerja untuk saya. Saya merasakannya dengan hati. Bukan dengan logika saya, yang hanya bisa menerjemahkan dengan pikiran saya. Cukup dirasakan dan dinikmati saja. Saya bangga dan bahagia karena cermin itu. Semoga cermin itu selalu menunjukkan saya ke jalan yang benar. NB: Untuk teman saya yang memiliki dua sisi hitam dan putih, "Semoga kita bisa sama-sama bercermin..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun