Setelah acara penguburan itu, malam itu Mamaku benar-benar merasakan kelelahan yang sangat. Sebagai seorang yang masih berumur delapan tahun, dalam pikirannya saat itu sudah muncul berbagai pertanyaan, seperti apa yang harus Ia lakukan esok tanpa kedua orangtuanya lagi di sisinya? Bagaimana Ia bisa hidup tanpa bimbingan kedua orangtuanya di sampingnya?
Namun ada satu tekad Mamaku yang sangat jelas saat itu, yakni bagaimana Ia bisa terus bersekolah. Itu pesan almarhum Bapaknya padanya dulu dan juga kepada saudara-saudaranya sesaat sebelum Bapaknya meninggal dunia.
Keluarga Mamaku hanyalah keluarga sederhana. Bapaknya dulu adalah seorang guru Sekolah Dasar. Kenangan Mamaku tentang Bapaknya yang paling membekas adalah beliau sangat senang "mendongeng" untuk Mamaku sebagai pengantar tidur tentang indahnya Tanah Suci Mekah dan Madinah meskipun beliau sendiri belum pernah sekali pun menginjakkan kakinya ke sana. Sedangkan Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang punya usaha kecil-kecilan, yaitu sebagai penjual penganan kecil. Terkadang Mamaku yang membantu menjualnya setelah pulang dari sekolah atau juga kakaknya, paman Ruwad atau bahkan tante Ria, adik Mamaku yang saat itu masih kanak-kanak.
Dan tak terasa waktu terus berjalan. Nasiblah yang menentukan hingga akhirnya Mamaku harus berpisah dengan kakak dan adiknya. Paman Ruwad dan tante Ria yang masih remaja memutuskan untuk mengikuti paman mereka ke Jakarta dengan menumpang pada sebuah kapal laut yang akan membawa beberapa penduduk kampung Raha untuk merantau ke pulau Jawa.
Kedua saudara Mamaku itu hanya bisa pasrah sebab mereka sendiri tak punya biaya untuk sekolah jika tetap tinggal di kampung. Mereka pun hanya bisa bertekad agar di tanah rantau nanti mereka bisa bersekolah atau paling tidak bisa bekerja sambil mengongkosi sekolah mereka.
Meski sangat sedih harus berpisah dengan kedua saudaranya, Mamaku sendiri akhirnya juga memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke pulau Buton dengan berlayar naik sebuah kapal kayu kecil karena memenuhi panggilan salah seorang pamannya yang bermukim di daerah itu. Kapal kayu itu akan menempuh empat jam perjalanan dari kampung Raha, tanah kelahirannya.
Mamaku yang saat itu adalah seorang yang berkekurangan tanpa bekal apa pun dan tanpa mengenakan alas kaki, berdiri mematung memandang redupnya lampu-lampu kampung tatkala kapal perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan. Usianya kini telah cukup dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya sendiri. Ya, di usianya yang ke-15 tahun, Mamaku sudah harus mengambil keputusan sendiri untuk pergi merantau seorang diri. Kenangan tentang kampung Raha, tanah leluhur dan tanah kelahirannya serta kegetiran hidup tanpa orangtua di sisinya, mengantarkan Mamaku berlayar malam itu dengan penuh kepasrahan.
***
Ternyata perjalanan ke perantauan Mamaku sebagai seorang yatim piatu tetap tak merubah khayalan dan mimpinya untuk mengunjungi Tanah Suci yang diam-diam telah disimpannya rapat-rapat dalam hati dan tekadnya. "Dongeng-dongeng" pengantar tidur dari Bapaknya tidak sedikit pun beranjak dari impian dan juga harapannya untuk bisa mewujudkannya suatu hari kelak.
Dan di situlah perjalanan ikhtiar menuju ke Tanah Suci itu bermula. Perencanaan tentang mempunyai tabungan haji adalah sebuah pilihan yang jitu bagi Mamaku sejak awal, ketika Mamaku akhirnya bisa berpenghasilan sendiri sebagai seorang pegawai negeri. Boleh dikata, gaji sebagai seorang pegawai negeri itu tidak banyak, apalagi Mama dan Bapakku mempunyai enam orang anak! Namun Mamaku adalah tipe seorang ibu yang hemat dan sangat rajin menabung!
Menurut penuturan Mamaku, perjalanan menabung dengan "Tabungan Haji" itu sangatlah seru. Mengapa tidak, di awal-awal kala itu tabungan haji Mamaku "hanyalah" Â uang sejumlah 3000-4000 Rupiah untuk disetorkan ke bank setiap bulannya!