Menanggapi fenomena tulisan ataupun status-status di jejaring sosial (fb, twitter) yang menanyakan “Benarkah perempuan berjilbab itu orang yang taat dalam melaksanakan shalat”?
Pertama-tama, syukur Alhamdulillah, jika pertanyaan itu sering muncul. Dengan demikian, menunjukkan bahwa sampai kapanpun wanita berjilbab akan selalu menjadi bahan perhatian dan menduduki kedudukan yang tinggi. Bagaimana tidak?
Pertanyaan apakah wanita berjilbab shalatnya penuh. Seolah ingin menjelaskan bahwa wanita berjilbab itu mulia, dan shalat itu selayaknya hanya menjadi milik mereka. Padahal shalat itu kan milik semua orang khusus orang–orang yang beragama Islam.
Namun, dalam hal ini saya akan memberikan dua makna dalam pertanyaan tersebut:
Pertama, pertanyaan itu mengandung makna mengingatkan untuk kita semua khususnya yang berjilbab agar tidak melalaikan shalat (istimewa bukan?)
Kedua, pertanyaan itu ada indikasi mencela..yang seolah-olah mengatakan “percuma berjilbab tapi shalat tidak”, ujung-ujungnya “mending dibuka aja tuh jilbabnya”
Nah bagi perempuan yang mudah goyah serta sensitive, kalimat-kaliamat seperti ini dapat menjadi doktrin berbahaya sehingga pada akhirnya memungkinkan dibukanya jilbab. Wah, menyedihkan juga jika sampai terjadi yang demikian.
Tapi dengan menuangkan fikiran positif, semoga saja setiap pertanyaan yang muncul itu mengacu pada makna yang pertama saya sebutkan…
Pertanyaan di atas sebenarnya sama dengan apakah orang yang berpuasa di bulan Ramadhan itu juga mengerjakan shalat?
Padahal shalat dan puasa adalah kewajiban yang sama-sama dibebankan pada setiap muslim tanpa memandang gender. Artinya shalat dan puasa adalah butir-butir kewajiban yang berbeda. Maka demikian juga jilbab dan shalat adalah sesuatu yang berbeda satu sama lain.
Sekarang kita kembali ke pengertian umum dulu yang berkaitan dengan hal kewajiban:
Menggunakan Jilbab adalah perintah kewajiban yang ditujukan bagi setiap wanita muslimah,
Sedangkan shalat adalah kewajiban yang diberikan bagi setiap orang yang beragama Islam (perempuan dan laki-laki).
Dengan melihat kedua konsep di atas, maka selayaknya pertanyaan yang diajukan tersebut diganti dengan yang lebih general, seperti: Sudahkah kita melaksanakan shalat?
Dan jika memang harus mengenai gender, maka lontarkan saja pertanyaan yang sifatnya specifik seperti: Sudahkan anda (para akhwat) mengenakan jilbab? Atau yang lebih khusus lagi, sudah tepatkah gaya jilbab yang anda (para akhwat) kenakan?
Kajian seperti ini sebenarnya merupakan kajian yang “seksi” untuk dibahas. Bagaimana arus zaman menerbangkan nilai-nilai tradisional yang ada di masyarakat. Akan tetapi perihal jilbab akan selalu menjadi kewajiban yang tidak boleh dilayangkan karena arus zaman. Namun demikian, yang sebenarnya menjadi bahan intaian para oriental adalah bagaimana mengubah gaya muslimah yang berjilbab itu seolah “telanjang”. Hal inilah yang perlu dilihat secara mendalam. Kita harus jeli melihat perubahan-perubahan yang ada pada gaya ataupun mode pakaian berjilbab ala sekarang. Di toko-toko atau butik yang saya temui berseliweran pakaian-pakaian yang katanya long dress, gamis dan apalah namanya yang ternyata berbahan tipis dan ketat. Yang demikian itu malah dinamakan muslimah gaul. Padahal entah apa makna muslimah gaul itu sendiri jangan-jangan kita tidak paham. Karena itu kejelian kita amat dituntut untuk melihat produk pakaian yang marak sekarang. Jangan terlalu terlena dengan arus zaman yang kian edan yang “kakinya sudah berganti di kepala, sedangkan kepala sudah berganti menjadi kaki”. Harus pandai menyaring mana arus yang patut diikuti mana yang tidak patut. Di samping itu, harus diingat bahwa, mata-mata yang ingin membuat nama baik Islam menjadi buruk berkeliaran di mana-mana. Terkadang cara yang digunakan adalah cara-cara yang amat halus dan tidak kita sadari. Saya yakin kedepannya akan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan kritis bermunculan terutama yang mengait-ngaitkan degan agama Islam. Jika memang seperti itu adanya, semoga nantinya akan banyak juga bermunculan tanggapan-tanggapan yang bijak.
Dalam hal ini saya tidak berani menamakan bahwa saya adalah orang yang mengetahui banyak tentang agama Islam. Akan tetapi baik buruknya sesuatu, dapat kita lihat dan rasakan sendiri berikut dampak-dampaknya yang akan dimunculkan. Kasarnya, untuk berpendapat terhadap hal yang dianggap benar tidak perlu skeptis karena harus menunggu memakai jilbab yang menjuntai hingga tanah, tidak perlu menunggu hafal 30 juz, tidak perlu juga untuk menjadi ahli kitab dan lainnya. Niat yang baik semoga akan menjadi penuntun yang baik dari yang kita lakukan.
Artikel yang berisi hal sederhana ini sebenarnya bukan untuk terlalu jauh membahas sebuah syari’at, melainkan ingin mengajak para pembaca agar bijaksana dan positif dalam menyikapi berbagai kritikan yang akhir-akhir ini sering terjadi berkenaan dengan hal-hal sederhana seperti jilbab lah ujung-ujungnya Islam lagi. Hal lainnya, karena banyak pernyataan-pernyataan remeh sampai menimbulkan perdebatan, hingga saling mencaci maki. Menurut saya hal itu bukan karena pengetahuan yang kurang, namun karena tidak mau menempatkan pemikiran pada posisi yang positif. Terkait dengan ini, perlu digaris bawahi jika saya juga tidak berani menganggap bahwa saya orang yang selalu berfikir positif serta bijak. Akan tetapi dengan saling memberikan pendapat inilah dapat menjadi sebuah pembelajaran bermakna. Ayo berfikir positif dan bijak…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H