Beberapa hari yang lalu, sejenak aku lupa pada tempat ini. Tempat aku merayakan segala rasa yang bertandang di jalanku. Beberapa hari yang lalu, aku juga mendapat kabar bahwa naskah novel yang kukirimkan sebulan yang lalu masih belum layak untuk diterbitkan, artinya Tuhan ingin membuat aku lebih rajin untuk berbenah. Semua itu membuatku harus hadir hari ini, menjawab pertanyaan atas segala kejadian di beberapa hari yang lalu. Sebelumnya, aku ingin menuliskan cerita yang kudapatkan selama mengikuti YLI Forum I. Namun ada beberapa hal yang membuat aku mesti menunda cerita itu, salah satunya karena hari ini, Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei. Maka, kuputuskan untuk menulis sesuatu yang bisa bercerita tentang itu. Tapi keputusan itu sendiri yang membuat aku masih bingung atas tulisan yang ingin kuadakan, entah akan berkaitan dengan hari pendidikan atau tidak? Hari ini aku ingin bertemu seorang perempuan lalu di depannya aku ingin mengucapkan beberapa kalimat penjelas agar mengurangi kebimbangannya untuk melanjutkan studi; “Selamat Hari Pendidikan Nasional, semoga kau melanjutkan studi di bidang Pendidikan. Kau wajib berkontribusi untuk Indonesia hari ini. Sains itu akan jadi langkah yang keliru, kamu dasarnya pendidikan. Dan kuharap kau bisa gapai mimpimu di tempat pendidikan benar-benar menjadi pendidikan. Amiin” Semoga perempuan itu membaca tulisanku malam ini. “Maaf tidak menemuimu secara langsung”. * [Sumber:Pribadi] Duduk di depan Pete-Pete 07 Di kursi depan pete-pete 07, di tengah kemacetan, aku mendengarkan keluh dari pak supir atas demonstrasi hari ini. Aku melihat kejengkelan pak supir terhadap aksi mahasiswa yang dianggap tidak berguna. Supir pete-pete benci demonstrasi, dan mungkin kadang benci mahasiswa. “Makassar suhunya semakin panas, mungkin karena mahasiswa rajin bakar ban dan semua itu mencemari lingkungan” Aku pernah ikut demonstrasi sewaktu masih berstatus Mahasiswa Baru di Fakultas Psikologi. Ada keseruan tersendiri di area demonstrasi, di sana seorang mahasiswa Psikologi bisa belajar untuk mengamati kondisi Psikologi Massa, Psikologi Kelompok, bentuk Komunikasi Persuasif dan banyak lagi. “Apakah demonstrasi masih berguna?” “Adakah perubahan?” Aku punya beberapa teman yang senang melihat kondisi demonstrasi, punya teman yang pintar orasi dan suka menggendong pengeras suara. Mereka menjadikan demonstrasi sebagai jalan ampuh untuk membela rakyat, menciptakan perubahan, dan memantaskan dirinya untuk disebut sebagai mahasiswa yang peduli dengan kondisi sosial, tidak apatis. “Apakah itu benar?” Kemarin sewaktu aku singgah di warung mi pangsit, si Mas itu bertanya, “Kamu nggak ikut demo? Dapat uang tidak kalau ikut demo?” “Apakah demonstrasi hari ini seperti itu, atau cuma pertanyaan si Mas?” Ada banyak hal yang masih gentayangan di pikiranku. Benar menurut mereka, belum tentu benar menurut kita. Kacamata mereka mungkin berwarna hitam, dan kacamata kita berwarna merah. Ada perbedaan yang selalu membuat hidup bisa dikatakan hidup. Kupikir, di sanalah mereka belajar menumbuhkan niatnya untuk berbuat baik dan melakukan perubahan. Semoga! Pada akhirnya, Makassar pun terkenal dengan itu, aksi atau turun ke jalan. Setiap kali aku mengikuti kegiatan nasional, maka selalu ada pertanyaan tentang mahasiswa dan aksi demonstrasi. Aku jawab; itu adalah proses menemukan kebenaran, dari dalam diri mereka masing-masing. Mahasiswa Makassar berani. Beberapa hari yang lalu, aku mendengar jawaban Erwin Kalla di YLI Forum I. Menurutnya, aksi tersebut merupakan proses pembelajaran untuk belajar, dan pada akhirnya hari ini terbukti bahwa beberapa pemimpin parpol berasal dari Makassar. Entah jawaban apa yang paling tepat. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang! Bandung, 2012 Di salah satu diskusi Indonesian Youth Changemakers Summit (IYCS), aku mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Bapak Jokowi yang pada saat itu masih menjabat sebagai walikota Solo. “Para demonstran itu tidak pernah siap dengan tuntutannya” tutur Bapak Jokowi. Aku berpikir, bahwa apakah demonstrasi itu masih efektif? Jalan para aktivis yang rajin turun ke jalan kemudian blokir dan bakar ban adalah pilihan mereka. Itulah jalannya, tapi pertanyaan tentang perubahan itu, perubahan dari demonstrasi hari ini selalu gentayangan. Semoga esok aku bisa bertemu dengan orang yang bisa mengajarkanku untuk menemukan itu. Menemukan Jalan Meskipun awalnya aku mengira demonstrasi adalah tempat belajar psikologi yang baik, tapi pada akhirnya aku sadar bahwa itu bukan jalanku yang sebenarnya. Ada ruang yang sejak kecil kujadikan tempat bermain paling menyenangkan, yaitu menulis. Menulis adalah jalanku, yang kusadari setelah beberapa kali sempat keliru. Sejak SD aku menulis beberapa kalimat yang selalu kusebut puisi, padahal sebenarnya bukan puisi. Di SMP aku sempat ingin mengirimkan surat cinta pada seorang perempuan namun kubatalkan karena surat cinta itu kupikir tidak pantas untuknya. Di SMP aku sangat akrab dengan guru bahasa Indonesiaku yang menularkan minat baca dan menulis kepadaku, namanya Pak Malik. Di SMA aku bertemu beberapa orang yang karena menulis bisa ke mana-mana. Menulis menjadi pintu ke mana saja bagi mereka. Di SMA ku , aku bertemu dengan salah satu guru terbaik di Indonesia. Pak Andi Budiarman, yang juga melempariku BOM untuk meledakkan semangatku menulis. Beliau punya cerpen dengan judul BOM dan cerpen itu juara di salah satu lomba menulis nasional. Beliau juga mengajarkan aku bahwa lewat menulis, “kita bisa menjadi pembunuh yang tidak bersalah”. Sekarang, aku semakin sadar. Aku dipertemukan banyak penulis, dan berbagai karakter yang mendorong aku untuk lebih baik. Beberapa bulan yang lalu, aku mendapat surat dari Kak Aan Mansyur [@hurufkecil] yang menjadi pencerah untukku agar lebih giat menulis puisi. Aku takut masa SD itu kembali, menulis dan menganggap itu puisi, padahal masih belum puisi. Maka, jika aku ingin berdemonstrasi aku tidak akan turun ke jalan. Tapi menulis, mengirimkan opini di surat kabar. Alhamdulillah, lewat tulisan itu aku bisa melakukan perubahan. Alhasil, aku jadi sering mampir di sebuah tempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H