Mohon tunggu...
Kresna Wikananda
Kresna Wikananda Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswa jurusan administrasi bisnis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mysterium Tremendum dalam Tarian Calonarang

27 Agustus 2024   11:00 Diperbarui: 27 Agustus 2024   11:01 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tarian Calonarang, sebagai salah satu warisan budaya Bali, sarat akan makna simbolis, baik dari segi keagamaan maupun estetika. Tarian ini juga berasal dari sebuah cerita yang memikat perhatian para peneliti dan seniman selama berabad-abad. Sebuah tokoh dalam cerita rakyat, yaitu Calonarang sebagai sebuah janda sakti mandraguna yang hidup di desa Girah, yang kemudian berseteru dengan Mpu Baradah, seorang brahmana sakti menjadi latar belakang tarian ini. Melalui gerakan tubuh yang dinamis, iringan gamelan yang magis, dan kostum yang sarat simbolisme, Calonarang mendeskripsikan Kompleksitas dan kekayaan maknanya, yang mencakup aspek mitologis, spiritual, dan estetis. 

Di dalam kesakralan sebuah tarian di Bali, terdapat tiga hal, yaitu seni sakral (Wali), seni semi sakral (bebali), dan seni profan (balih-balihan) (Sumartini, Wisnawa, & Suwadnyana, 2019, hlm. 164). Calonarang sendiri sebagai sebuah tarian termasuk kedalam seni sakral atau Wali. 

Tarian tersebut dapat dikategorikan sebagai seni sakral karena sarat dengan unsur mistis, seperti ilmu hitam, kutukan, dan pertarungan antara kekuatan baik (dharma) dan jahat (adharma). Penggunaan mantra-mantra sakral, simbol-simbol keagamaan, dan penyertaan tokoh-tokoh spiritual seperti Rangda dan Barong dalam tarian ini mencerminkan kepercayaan masyarakat Bali terhadap dunia supranatural. 

Dari sudut pandang kesenian, Tarian Calonarang merupakan sebuah mahakarya dengan memadukan berbagai elemen seni. Koreografi yang rumit dan ekspresif menggambarkan perjalanan cerita dengan sangat dinamis. Iringan gamelan yang mengiringi tarian ini menambah suasana magis dan mendalam, dengan tempo yang bervariasi sesuai dengan alur cerita. 

Kostum yang dikenakan oleh para penari juga sarat dengan simbolisme, mulai dari penggunaan warna-warna cerah hingga ornamen-ornamen yang memiliki makna khusus. Contohnya yaitu ketika moksa, Calonarang menggunakan topeng berwujud leak dengan kuku-kukunya yang panjang menjuntai .Setiap elemen dalam Tarian Calonarang dirancang dengan detail dan penuh makna, menunjukkan tingkat keahlian dan kepekaan artistik yang tinggi dari para seniman Bali.

Teori sakral dan profan, yang dikemukakan oleh Mircea Eliade dalam The Sacred and the Profane (1957), membagi realitas menjadi dua domain yang berbeda namun saling terkait. Yang sakral merujuk pada hal-hal yang sui generis:memiliki aspek-aspek esensial yang otonom. Ini mencakup objek, tempat, atau praktik yang dianggap memiliki kekuatan spiritual atau religius. 

Di sisi lain, yang profan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang biasa dan duniawi. Dalam konteks keagamaan dan budaya, pembedaan antara yang sakral dan profan ini membantu memahami bagaimana masyarakat mengorganisir pengalaman religius mereka dan memberi makna pada ritual-ritual tertentu.

"Ketakjuban yang melampaui batas nalar, itulah esensi mysterium tremendum, sebuah pengalaman yang seringkali dikaitkan dengan pengalaman religius yang mendalam." Hal ini merupakan istilah dari sebuah teolog asal Jerman, yaitu Rudolf Otto. Adapun istilah ini sebenarnya penting untuk memaknai pengalaman dan spiritualitas dari manusia. Dengan memahami konsep ini, secara tidak langsung kita memberi makna dan tujuan hidup bagi banyak orang dari kacamata agama.

 

Sebagai sebuah tarian yang dapat dikategorikan sebagai tarian wali, ada beberapa dimensi sakral dalam Tarian Calonarang. Penggunaan topeng rangda sebagai contoh, yang merupakan inkarnasi dari sebuah kejahatan, sehingga perawakannya dapat menimbulkan rasa ketakutan maupun seram. Selain itu ada bangke matah, sebuah elemen yang menjadi ciri khas dalam tarian ini yang merupakan "korban" dalam ritual ini. (Ni Ketut dkk, 2022) 

Korban dari konteks ini maksudnya adalah melibatkan seseorang untuk menjadi watang atau "relawan" peran mati suri, yang menggambarkan korban dari ilmu leak. Resikonya pun tidak main-main, bahkan hingga meninggal dunia. Namun bagi pemeluk agama Hindu, kematian yang terjadi saat mengikuti sebuah tarian sakral dapat dianggap sebagai pengorbanan suci kepada Ida Sang Hyang Widhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun