Mohon tunggu...
Agus Wahyu Hartanto
Agus Wahyu Hartanto Mohon Tunggu... -

lahir 22 tahun yang lalu saat membuat akun ini. sederhana, elegan, keren, menyukai mawar, dan yha.... suka menulis. ngeblog juga di http://warlockgunkid.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Dear Diary, Aku Tukang Parkir

2 Juli 2012   15:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:20 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada yang lain kecuali kujaga dan kurawat pohon itu. Sesekali kunikmati buahnya, hanya di saat dahaga, lelah dan haus telah membawaku hingga ke ujung jurang yang teramat dalam. Saat itu, maka aku akan menikmati sedikit kesegarannya, agar aku bisa berpegangan pada sisi-sisi jurang itu. Sekedar bertahan hidup lebih lama. Tak ada sentuhan, tak ada panjatan, tak ada apa pun. Aku takut sahabatku datang sewaktu-waktu. Aku takut sahabatku kecewa karena aku tidak bisa menjaga hadiahnya dengan baik.

Entah bagaimana mulanya, aku merasa ada burung lain yang mendekati pohonku. "Pohonku"? Entahlah, aku juga tidak pernah sadar, sejak kapan aku mulai menyebutnya "pohonku". Burung ini rupanya tertarik dengan kesegaran dan keranuman pohonku. Aku, pada mulanya, diam saja. Toh pohonku punya sistem pertahanan diri yang hebat.

Apa dinyana, sekali dua kali pertama, burung baru ini terkena durinya, Lama kelamaan dia mulai terbiasa. Namun, tetap dia masih merasakan tiap rengkah tusuk duri. Hingga datanglah burung berikutnya. Dengannya, duri demi duri diruntuhkannya. Aku mulai gerah, mulai memagari pohonku itu. Dengan apa yang aku bisa, tapi ternyata pagar yang kutanam melukai akar pohon itu. Satu tanganku tetap berpegangan ke tepi jurang tempatku berdiri, satu tanganku berusaha mengusir burung terakhir sambil berusaha memperbaiki pagar dan mengobati akar luka itu.

Semakin parah. Ya, luka di akar itu semakin parah dan pagar menancap terlalu dalam. Burung terakhir, menggunakan cakarnya dengan lembut. Menggunakan paruhnya dengan elegan. Ya, saat itu hujan deras. Teramat deras. Siapa pula yang peduli dengan seorang yang bertangan dan tungkai rapuh. Satu laras lengan lemah saja yang dia gunakan untuk pagar, obat, dan perlindungan. Satu laras lainnya, ia gunakan sebagai pegangan terkuatnya.

Maka sang pohon pun mulai terangkat, mulai condong ke burung baru itu. Longsor demi longsor membawanya semakin condong. Hingga tak kuasa, kulepaskan peganganku, kucabut pagarnya. Terbebaslah pohon itu dengan burung baru, dan tenggelamlah aku ke jurang bersama pagar itu.

------

"Belum, aku belum mati."

Kutemukan tubuhku di dasar jurang. Penuh luka. Lebam. Darah. Tak bisa dibedakan lagi. Pagar itu rupanya menyelamatkanku. Gesekannya dengan dinding jurang mengurangi kecepatan jatuhku. Hingga debam tak terlalu terdengar. Terdengar pun, masih kalah dengan riang tawa di atas sana.

-----

Maafkan aku sahabat, aku jatuh luka remuk. Aku tak tahu berapa lama yang kubutuhkan untuk naik ke puncak sana. Semoga hadiahmu baik-baik saja, dan berguna bagi siapapun. Berguna baik, tidak rusak dan termanfaatkan dengan ahsan.

***************************************************************************

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun