Mohon tunggu...
Wiwit Wahyu Hidayati
Wiwit Wahyu Hidayati Mohon Tunggu... -

mawar berduri itu seperti halnya jarum yang menancap di busa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menanti Senja di Alun-alunmu

12 Desember 2014   05:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:28 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tergambar ketika memandang gerbang nan menjulang tinggi dengan kegagahan namanya, sekejap hanya bisa diam. Pandanganku vertikal menuju taman beserta kerapiannya tepat pada tempat aku berdiri. Begitu megahnya gedung-gedung pencetak sosok-sosok berstatus sarjana. Belum lagi terbayang fasilitas lain yang bakal menunjang aku selama kuliah di sini. Akses wifi yang bisa aku andalkan, tidak seperti di rumah hampir semua sinyal beku karena kabut.

Sejenak setelah kawanku menepuk pundakku, aku semakin mendiam. Melototkan mata dengan bibir bertanya-tanya.

“Eloh, kok jadi kaya gini. Mana gedung tingkatnya?” Kataku bermuka beloon.

“Aduh eneng..... gedung yang mana? Ini kita sudah sampai di gedung Auditorium kampus baru kita. Kamu melamun ya?” Kata Via kawan baruku.

“Dari masuk gerbang tadi aku bayangin kalau kampus ini ya bakal gitu,” merendahkan suara.

“Gitu gimana?”

“Yang gede gitu Vi. Cuma korban SNMPTN ternyata aku, jadi ngelantur bayanginya ketinggian. Eh ini ternyata Cuma kaya gini hehehe”.

Sekian dari cerita konyol itu, sekarang memang harus memasuki kenyataan. Gedung yang terlihat sudah tua dengan cat tembok yang semakin pudar itu kini aku masuki. Tidak lama lagi kuliah umum akan dimulai.

“Mana kawan baruku? Mana kawan satu fakultasku? Mana kawan satu prodiku? Siapa kalian semua itu? Siapa? Mana? Siapa? Manaaaaaaa?” Itu sekadar jeritan orang yang kaget keadaan baru. Lagi-lagi di kampus baru aku juga harus punya kawan baru. Sahabat karibku sudah menyebar di penjuru Indonesia. Kami memang sahabat, tapi kami lebih memilih masa depan masing-masing.

Oh, tidak Tuhan. Ternyata aku harus beradaptasi lagi dengan manusia-manusia baru. Sambil memandang begitu banyaknya mahasiswa baru yang mengikuti kuliah umum pagi ini sesekali aku memperhatikan pencerahan yang katanya disampaikan oleh rektor kampus ini. tengok kanan tengok kiri, mataku memantau beberapa penjuru gedung itu, ternyata tidak ada yang aku kenal kecuali Via.

Via memang teman baru tetapi dia begitu loyal. Buktinya setelah acara kuliah umum selesai, dia mengajakku ke Alun-alun Magelang. Apa Alun-alun? Antara percaya atau tidak sebenarnya hari itu pertama kalinya aku ke Alun-alun. Bahkan Alun-alun tempat kelahiranku pelum pernah aku kunjungi.

Dia yang berlatar belakang orang asli Magelang begitu lincahnya menerangkan sejarah setiap sudut kota itu. Mulai dari kuliner yang berderet sepanjang Alun-alun, wisatanya, bahkan sampai kebiasaan-kebiasaan orang asli kota sejuta bunga ini. Entah mengapa dari celotehan Via sepanjang perjalanan itu tidak terlalu aku hiraukan. Yang akau tahu hanya tidak mengingikan berada di kota ini. Bukan karena membenci setiap sudut sejarah yang diceritakan Via, hanya saja ada suatu hal yang benar-benar tidak aku inginkan berada di kota ini.

Sepertinya Via menyadariku yang sedikit kelelahan setelah berjalan yang lumayan panjang. Akhirnya dia mengajakku menikmati jajanan khas kotanya tersebut. “Nasi goreng Magelangan,” kata Via aku harus mencoba nasi goreng khas Magelang ini. setelah menikmati sepiring nasi gorengyang terlalu sedikit porsinya itu Via mengajakku duduk diantara pohon beringin yang kokoh tumbuh di tengah Alun-alun tersebut.

“Apa indahnya kita berada di sini Vi?” Tanyaku yang judes.

“Dulu aku tidak menyukai berada di sini seperti kamu Yuk. Tapi setiap aku duduk di sini sore gini rasanya seneng banget ngeliat senja,” jawabnya sambil menatap langit-langit sore.

“Ahh kamu ini. Ngaco.”

“Coba saja, kalau kamu besok kalau suntuk, datang aja ke sini. Pasti kamu seneng ngeliat senja dari sini.”

Sampai senja lenyap tergantikan malam, aku masih sedikit penasaran tentag pernyataan Via yang sudah tadi dia katakan.

***

Senja hari selanjutnya aku duduk di tempat sama seperti hari sebelumnya. Hanya saja kali ini aku menyendiri. Menikmati pusat keramaian untuk sejenak menghilangkan kesepian. Di beberapa pojok Alun-alun terdengar suara beserta alunan musik klasik para musisi jalanan. Ada juga beberapa pedagang menjajakan dagangannya. Tetapi pandanganku tertuju pada pedagang mainan setengah baya. Pundaknya yang bungkuk itu harus terbebani barang dagangan yang dipikul. Belum lagi masih ketambahan barang-barang lain yang tercantel di bagian-bagian ujung pikulannya. Dia terlihat lesu, sesekali berhenti dan memegang lututnya. Mungkin faktor usia, suara yang menjadi modal untuk promosi sepertinya juga ia tampakkan. Suaranya terlalu kecil untuk menawarkan dagangannya. Aku perhatikan betul setiap gerak yang dia lakukan. Entah rasa iba, terenyuh, atau yang lain.

Kembali dia melanjutkan jalannya dengan langkah yang pelan. Seorang anak kecil tidak sengaja menyenggol lengan kirinya sehingga ia terpanting ke tanah. Anak kecil itu langsung lari tak menghiraukan apa yang dia perbuat. Tak sempat aku menolongnya, ternyata ibu dari anak tersebut membantu si kakek tua itu berdiri. Sedikit yang membuatku lebih kasihan, barang dagangannya ada yang patah.

Dengan wajah yang sedikit kaget, aku kembali memperhatikan alur jalan kakek itu. Aku pikir dia akan menuju jalan rumahnya, ternyata dia menuju masjid. Setelah itu aku baru sadar kalau sebentar lagi waktunya sholat magrib tiba.

***

Sore itu aku kembali menyusuri jalan Magelang. Kali ini bukan lagi dengan Via. Beberapa hari terakhir ini dia jarang kelihatan. Jarang pula bersapa dengan dia. Padahal aku masih membutuhkan dia untuk menyakinkan diriku bahwa aku tidak salah berada di kota ini. mendengar dari cerita teman sekelas Via, dia juga jarang masuk kuliah sekarang. Tapi kali ini aku diperkenalkan jalan-jalan kecil di kota Magelang ini bersama Mbak Rahma. Katanya sih dia suka menimati senja. Berhubung di Magelang tidak ada pantai katanya dia sering menikmati senja di Alun-alunya Magelang. Dengan rasa bingung aku terus mengamati setiap ruko yang berjejer di pasar Rejowinangun.

“Mbak kita sebenarnya mau ke mana sih?” Tanyaku pada Mbak Rahma yang sedang konsentrasi menyetir sepeda motor.

“Udah tenang aja Yuk. Aku bawa kamu keliling kota Magelang dulu biar kamu tau. Dulu aku juganggak tau kota ini. Tapi setelah aku tau asyik kok,” jawabya dengan suara yang agak keras karena takut kalah dengan desiran angin. Meskipun Mbak Rahma sudah menjawab dengan suara keras tetap saja aku tidak terlalu mendengar.

“Mbak kalu jalan ini ke mana? Ke situ samapai mana? Kalau ke Jogja arah mana Mbk?” Bawelku dari belakang Mbak Rahma.

“Udah deh ikut aja aku. Ini mall-nya Magelang yang gedhe banget ini. udah pernah ke sini belom?” Mbak Rahma sambil menunjuk mall yang berada di kiri jalan. Aku yang memang aslinya tidak tau menau tentang Magelang hanya bisa bergeleng-geleng kepala. Tidak lama dari jalan depan mall itu, Mbak Rahma membawaku ke Alun-alun. Sedikit menjerutu rasanya, sebab hampir teman yang aku kenal dia suka mengunjungi Alun-alun. Sedikit ramai, itu yang menjadi alasan aku tidak terlalu menyukainya. Sama seperti Via, Mbak Rahma juga suka duduk di pusat Alun-alun itu yang tumbuh pohon beringin besar nan rimbun. Tanpa menghiraukan aku yang berada di sampingnya dia terus melongok arah langit sore Magelang. Bahkan sesekali senyum simpul darinya terlihat. Sedangkan dia sedang menikmati sore bersama langit merah, aku justru tertunduk menghadap bumi. Bibir sedikit terlihat manyun, aku berbicara dengan alam batinku. “Kalau pada ngajak ke sini aku cuma didiemin gini. Pada ngeliatin apa sih. Nggak banget.”

Untuk mengalihkan lamunanku, aku lebih suka mengamati setiap musisi jalanan yang sedang menghibur para pengunjung lapak yang menjajakan makanan itu. Ada yang bersolo mania, ada juga yang menggaet beberapa kawannya dengan membawa alat musik yang berbeda-beda. Sedikit ada pemandangan yang bisa membuatku menarik senyum geli. Ada salah satu grup musisi jalanan itu dengan personil sedikit ngondek. Setelah puas memperhatikan satu per satu tingkah mereka, aku geser sembilan puluh derajat arah kiriku. Nggeekk!!! Ada beberapa penjual mainan sedang merasa lesu lantaran pembeli sedang sepi. di area itu, kembali aku lihat si kakek tua itu sedang memutarkan mainan yang aku sebut etkeh-ethek itu aku ambil dari nama di daerahku tinggal. Dia masih menunggu pembeli. Mainan yang kemarin rusak itu masih aku lihat diantara barang yang ia jajakan.

“Dek, sholat dulu yuk. Ngeliatin senja di sini kadang membuatku aku lupa waktu sholat,” ajakan Mbak Rahma mengagetkan aku saat lamunanku semakin dalam hingga aku menaikkan pundakku.

“Ah Mbak nih. Ngagetin aja deh.” Jawabku semakin memanyun.

“Hehehe. Kenapa? Mulai jatuh cinta ya sama situasi di sini?”

“Ah kamu ni Mbak yang ada di otak kamu senja mulu jadi ngelantur omongannya,” senyum kecil kami menyertai dalam melangkah menuju masjid.

Karena waktu sholat sudah agak lama, jadi kita tidak perlu mengantri sholatnya. Di serambi masjid yang lebar itu, kami berdua duduk sambil menghela nafas pendek. Entah kenapa Mbak Rahma masih saja melongok langit. Aku, duduk termenung dengan kebiasaan lamaku. Mengamati setiaap sudut, setiap gerak orang-orang yang ada di sana.

“Eh ini kasihkan kakek itu ya nak. Sana gih.”

“Iya Buk.” Suara itu aku dengar membisik dari sebelahku. Dengan rasa penasaran aku langsung menoleh ke arah kiriku. Ternyata di sana duduklah seorang kakek tua itu dengan ditemani pikulan yang berisi barang dagangannya.

“Ini kek. Ini buat kakek.” Dengan polosnya anak sekitar umur tujuh tahun mengulurkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan kepada si kakek. Dalam senyum letihnya si kakek masih berusaha mengucapkan terima kasih. Oh, tidak. Setiap aku melihat raut wajah si kakek penjual mainan itu, aku merasa iba. Aku membayangkan bila kakekku mengalami hal seperti itu. Usianya yang sudah setengah abad seharusnya menikmati masa tuanya datang ke masjid ini untuk khusyuk beribadah. Bukan hanya sekadar bersinggah ibadah diantara pekerjaannya.

“Ayuk, kamu besok aku tugasin buar feature ya untuk buletin edisi bulan depan.” Kebiasaan Mbak Rahma kembali terlihat. Mengagetkan aku ketika sedang menikmati suatu pemandangan. Sambil membalikkan badan ke arah Mbah Rahma aku saat ini benar-benar garang dengannya.

“Aggrrrhhhh (mengerutkan jidat) Mbak Rahmaaaaaaaa. Bisa nggak sih nggak ngagetin aku. Jatungku mau copot nih.” Dia hanya senyum tanpa salah sambil memandangku. “Iya aku buat. Sepertinya aku udah punya bahan. Itu kakek yang di belakangku tak buat feature sosok aja ya Mbak?” Dari wajah garangnya aku dengan cepat mengubahnya sambil tersenyum.

“Mana? Kok ggak ada.” Sedikit kaget dari penyataan Mbak Rahma. Setelah aku membalikkan badan ternyata si kakek itu sudah mengilang. Entah ke mana, aku kehilangan jejaknya. Tengok kanan, tengok kiri, ternyata dia benar-benar sudah pergi.

***

Sepulang kuliah aku bergegas mengunjungi kelas Via. Kita memang beda fakultas, tetapi terkadang sering pulang bersama. Ternyata dia juga sudah selesai kuliahnya. Belum sampai aku di kelasnya, teman-teman Via sudah berhamburan keluar. Aku lihat mahasiswa terakhir kelas itu keluar. Tapi, aku tak juga menemui sosok Via. Alhasil aku menghadang mahasiswa tersebut dan menanyai keberadaan Via. Sedikit mengecewakan kabar itu. Katanya beberapa hari terakhir ini Via tidak masuk kuliah. Tidak ada satu tean sekelas Via yang mengetahui alasan dia tidak masuk kuliah. Saat aku tanya rumah Via ternyata teman Via yang paling feminin di kelasnya itu tidak tahu keberadaanya. Padahal siang itu aku ingin mengajak Via menghabiskan setengah hariku bersama dia keliling Magelang.

Sedikit tergambar wajah sedih di wajahku saat mendengar Via sakit dan aku harus pergi sendiri ke Alun-alun itu. Tentu aku mengajak Via ada maksud lain, berharap dia mengenal si kakek tua penjual mainan yang akan aku jadikan objek featureku.

Kalau bukan karena tugas dari Mbak Rahma, tidak mungkin aku pergi ke tempat yang bagiku masih asing ini. Tengok kanan, tengok kiri, melihat itu, melihat ini, lebih tepatnya seperti orang hilang. Aku kembali duduk di tempat biasa ketika mereka mengajakku pergi ke Alun-alun. Setiap sudut di tempat itu terus aku amati betul, dengan penuh keyakinan aku akan menemui si kakek tua itu untuk aku wawancarai. Ini bukan hanya sekadar memberi jawaban atas rasa penasaranku, tetapi ada keyakinan dalam diriku bila ceritanya akan mendapatkan satu inspirasi.

Dua jam sudah mataku melototi atmosfir penuh mendung itu. Sesekali mataku lelah dan ingin terlelap dalam lamunan. Lagi-lagi sudah ketiga kalinya aku merasa kaget di tempat ini karena sesuatu.

“Zeet..zeettt...zeettt,” suara hp-ku bergetar. Aku buka pelan pesan singkat itu. “Jreng jreng”, seketika aku tersenyum melihat pesan dari Via. Berharap dia akan menghampiriku dalam kesendirian.

“Ayuk, maaf ya kalau akhir-akhir ini aku nggak bisa kamu temui. Mungkin aku nggak bakal kuliah lagi Yuk. Aku sekarang sakit.” Andai suara hati ini bisa berkata, saat itu juga terasa “Mak Jlep”. Tidak aku kira sebelumnya bahwa kabar ini akan aku terima. Singkat pula aku membalasnya,”Via kamu sakit apa? Rumah kamu di mana to? Aku pengen jenguk kamu.”

Selang satu jam kemudian balasan dari Via pun tak kunjung masuk. Apalagi si kakek tua itu yang sedari tadi aku tunggu ternyata tak menongolkan batang hidungnya. Semakin sore aku semakin mengerutkan dahiku. Mataku memandang diantara dua bagian. Memandang hp dan jam yang ada di dalamnya sesekali memandang mencari si kakek tua itu.

Senja kali ini tidak terlalu indah untukku. Dan memang tidak indah saat pertama kali aku datang kemari. Harapanku hari ini kosong. Kembali ke kos tanpa membawa hasil apapun. Yang ada aku mendapat kabar buryk dari kawan baruku. Terlebih sosok pedagang tua itu tak aku jumpai seperti senja-senja biasaanya saat aku berkunjung di Alun-alun dan tak mengharap kedatangannya.

***

Sudah satu minggu aku menjadi penghuni dadakan Alun-alun Magelang setiap sorenya. Mengaharapkan Via yang akan menghampiriku dalam kebiasaanya menikmati sore di sini. Ada satu lagi yang masih menjadi beban untukku, si kakek tua itu yang akan aku ulas habis kisah hidupnya untuk bahan buletin kali ini. Sepertinya aku juga mulai tak bosan atas suasana Alun-alun. Meskipun sendirian aku berusaha sabar atas penantian yang tak kunjung ada jawabnya.

Mbak Rahma yang juga seseorang mengenalkan aku tentang Alun-alun ini tak bisa lagi menemaniku lagi. Sebelum aku pergi tadi dia sempat memberika pesan. Akhir-akhir ini dia tidak akan bisa meninggalkan pekerjaannya. Dengan begitu aku harus menyelesaikan tugas ini sendiri. Tapi, ada satu perkataan Mbak Rahma yang membuat hatiku semakin penasaran,”Kamu ke sana sendirian nggak apa-apa ya Yuk. Aku yakin kalau kamu sering ke sana kamu bakal ketagihan.”

Langit-langit Magelang semakin merah. Suasana pun semakin ramai pengunjung. Belum lagi lampu-lampu kota yang sudah mulai menerangi jalan seiring gelapnya hari. Aku masih terpaku duduk sendiri tanpa menghiraukan angin menerpa ragaku yang layu. Ya, setengah hari ini memang waktuku habis di sini tanpa meluangkan waktu untuk makan. Hingga kumandang adzan magrib tiba aku mulai meletakkan hati ini akan rasa penantian. Seolah-olah ingin mengatakan,”Aku bosan menunggu lagi.”

Setelah berjamaah di masjid terdekat, aku tidak lantas meninggalkan tempat itu. Di serambi nan lebar itu aku masih duduk termenung. Di samping kanan aku duduk ada penjual mainan. Eiisstzz, tapi kali ini bukan si kakek tua itu. Ethek-ethek sepertinya masih menjadi mainan favorit yang dijual. Aku iseng melihat-lihat dagangannya. Aku spontan kaget ketika melihat mainan yang sedikit rusak yang dulu dibawa si kakek tua itu tercantel diantara dagangan ibu itu.

“Ibu sudah lama jualan mainan ini?” Tanyaku dengan rasa penasaran.

“Belum kok Mbak. Ini Cuma gantiin bapak saya saja.”

“Apa? Bapaknya yang sudah tua itu ya Bu? Yang sering dagang di Alun-alun ini kan?” Mukaku semakin penasaran.

“Iya Mbak. Bapak sudah meninggal satu minggu yang lalu setelah sakit. Kok Mbak tau?,” tanyanya sambil membenahi dagangannya.

“Jadi, bapaknya Ibuk sudah benar-benar meninggal?”

“Iya Mbak.”

Pertemuan tak sengaja itu memberi jawaban yang menyedihkan. Setidaknya dari cerita panjang lebar si ibu tadi memperjelas dari apa yang aku cari selama ini. Di serambi itu pula aku menundukkan bagian kepalaku. Sedikit kecewa, tapi apa daya ketika yang aku temui ternyata tidak seperti yang aku inginkan semua.

“Bu, lalu kamu tinggalnya di mana? Boleh aku ke sana?” Aku mengangk wajahku. Celangak-celinguk aku mencari ibu itu. Sekejap tanpa salam dia sudah menghilang begitu saja. Seperti saat aku menemui kakek itu, di serambi ini pula aku kehilangan jejaknya karena tiba-tiba menghilang.

Benar-benar aku nikmati sore dengan perpisahan. Senja raya yang aku temui kali ini. pergantian petang menuju malam dalam gelapnya. Seperti halnya bagiku, mereka semua adalah senja. Perpisahan tanpa suatu alasan setelah mereka mengenalkan keindahan itu kepadaku.

Ku tatap langit yang mulai gelap itu semakin tajam, aku amati lagi dalam geriak suara hati,”Ternyata ini senja yang mereka selalu indahkan. Keindahan senja yang sekejap tak lama menjadi malam. Via, Mbak Rahma, Kakek, kalian tidak beda dengan senja. Kalian menjelma seperti sore yang mengajariku memaknai idahmu, tetapi hal itu tidak lantas lama karena malam telah kau gambarkan untukku. Ya, malam itu perpisahan sementara tak bertemu kalian kembali.”

Magelang, senja dan langit selalu memerah walaupun mendung. Satu kesatuan yang memberikan aku kesan pertama untuk menikmati indahnya langit kotamu Mbak Rahma, Via dan kakek tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun